Informed Consent Bukanlah Sekadar Lembar Persetujuan Medis

Oleh :
dr. Jocelyn Prima Utami

Informed consent atau persetujuan untuk tindakan medis bukanlah formalitas lembar persetujuan medis saja. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia nomor 290/Menkes/PER/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) diberikan oleh pasien atau keluarga yang telah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan.

Informed consent sendiri merupakan prosedur etik yang diatur oleh hukum dan berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan sehari-hari. Komponen penting yang diperlukan dalam informed consent adalah persetujuan/penolakan pasien/keluarga yang kompeten, informasi yang jelas dan rinci mengenai tindakan medis yang akan dilakukan, serta keterangan bahwa persetujuan diberikan tanpa paksaan.[1,2,16]

informed consent, memberikan informed consent, memberikan lembar persetujuan medis, alomedika

Tujuan Informed Consent

Informed consent merupakan pernyataan persetujuan tindakan medis yang diberikan pasien kepada dokter. Selain itu, informed consent sendiri merupakan bentuk komunikasi antara pasien dan dokter, dengan tujuan memberikan informasi mengenai prosedur dan/atau pengobatan yang direncanakan, risiko tindakan, manfaat tindakan, prognosis penyakit, dan alternatif terapi lain.

Dengan begitu, bisa dikatakan informed consent bertujuan memberikan kenyamanan dan dukungan bagi pasien untuk mengambil pilihan bagi dirinya. Informed consent juga meningkatkan komunikasi dan kepercayaan dalam hubungan dokter dan pasien.[3,16–18]

Selain itu, informed consent juga bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien dan dokter. Dengan adanya informed consent, pasien terlindungi dari kemungkinan tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau yang tidak diperlukan. Sedangkan bagi dokter, informed consent bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap risiko tuntutan terkait kegagalan tindakan medis walaupun pelayanan maksimal sudah diberikan.[4,5,16–18]

Informed Consent dari Aspek Hukum dan Etika

Dalam aspek etika, informed consent berkaitan erat dengan prinsip etika biomedis dalam bidang kedokteran. Terdapat 4 prinsip etika biomedis, yaitu berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non maleficence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan adil (justice).

Informed consent merupakan salah satu prosedur yang sesuai dengan prinsip autonomy, yaitu seseorang memiliki hak dan kebebasan untuk bertindak dan mengambil keputusan medis untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, seseorang harus berkompeten dalam memilih tindakan dan mengambil keputusan terhadap dirinya agar dapat dikatakan sebagai otonomi individu.[6–8]

Kode Etik Kedokteran memuat aspek yang berkaitan dengan prinsip otonomi dan informed consent. Pada pasal 5 Kode Etik Indonesia, tercantum bahwa “tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut”.

Oleh karena itu, dokter wajib memberikan informasi yang lengkap dan benar mengenai rencana tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan pada pasien, dengan segala risiko dan efek samping yang mungkin terjadi. Selain itu, dokter juga wajib menghormati keputusan pasien yang menolak pengobatan atau tindakan setelah informasi diberikan.[8]

Dalam aspek hukum, informed consent diatur dalam Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, yang menyatakan bahwa ”setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Dijelaskan juga dalam Undang-Undang bahwa sebelum pasien memberikan persetujuan, penjelasan lengkap perlu diberikan kepada pasien mengenai diagnosis, prosedur, tujuan tindakan, risiko dan komplikasi tindakan, serta prognosis penyakit dengan/tanpa tindakan. UU no. 29 tahun 2004 dan Permenkes no.290 tahun 2008 juga menjelaskan mengenai tata cara dan pengaturan informed consent.[2,9]

Bentuk dan Jenis Informed Consent

Berdasarkan bentuknya, informed consent terdiri dari 2 jenis, yaitu implied consent dan expressed consent.

Implied Consent

Implied consent atau persetujuan secara tersirat umumnya diberikan saat kondisi gawat darurat. Pada kondisi ini, tindakan medis perlu dilakukan tetapi pasien atau keluarga tidak dapat memberikan persetujuan lisan atau tertulis pada saat itu.

Expressed Consent

Expressed consent merupakan bentuk persetujuan yang dinyatakan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Informed consent lisan umumnya dilakukan pada prosedur atau pengobatan tanpa risiko, seperti phlebotomy, pemeriksaan fisik abdomen, atau rontgen toraks. Persetujuan secara lisan dapat berupa bentuk ucapan setuju atau gerakan mengangguk kepala.

Sedangkan informed consent tertulis, umumnya diperlukan untuk prosedur atau pengobatan yang lebih rumit dan risiko yang lebih tinggi, seperti sectio caesarea dan intubasi.[1,2,5,10,16]

Berdasarkan tujuannya, informed consent terdiri dari 3 jenis, yaitu untuk penelitian, untuk menegakkan diagnosis, dan untuk terapi.

Informed Consent untuk Penelitian

Pada penelitian yang melibatkan partisipasi individu dan intervensi, informed consent harus diperoleh sebagai bentuk persetujuan partisipan terlibat secara volunter dalam penelitian.

Informed Consent untuk Menegakkan Diagnosis

Informed consent juga diperlukan saat dokter akan melakukan prosedur yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, seperti tindakan fine needle aspiration biopsy dan coronary computed tomography angiography (CCTA).

Informed Consent untuk Terapi

Sebelum pemberian terapi khusus, seperti sedasi dan analgesik jenis narkotika, informed consent perlu diperoleh dari pasien/keluarga setelah penjelasan mengenai efek samping, komplikasi, dan alternatif terapi lainnya.[5,11]

Informed Consent pada Kondisi Tertentu

Secara umum, informed consent dapat diberikan secara langsung oleh pasien yang kompeten, yaitu pasien memiliki kapasitas untuk mengerti akan penjelasan yang diberikan dan menggunakan informasi tersebut untuk berpikir secara rasional dalam mencapai suatu kesimpulan.

Berdasarkan Permenkes nomor 290 tahun 2008, pasien yang kompeten berarti pasien dewasa di atas usia 21 tahun atau telah/pernah menikah, atau pasien berusia 21 tahun yang tidak dikategorikan sebagai anak berdasarkan perundang-undangan. Pasien juga dikatakan kompeten apabila kesadarannya tidak terganggu dan tidak mengalami gangguan atau kemunduran kesehatan mental.[2,9]

Pada kondisi pasien tertentu, seperti kategori usia anak-anak, gangguan kesadaran, gangguan mental, atau sedang dalam kondisi gawat darurat, informed consent dapat diberikan oleh orang tua, suami/istri, anak kandung, saudara kandung, keluarga terdekat, atau orang yang mengantarkan pasien.

Persetujuan yang diberikan oleh wali yang menggantikan pasien ini harus memenuhi tujuan utama untuk kepentingan terbaik pasien dan memaksimalkan manfaat yang baik untuk pasien.

Pada kondisi gawat darurat, informed consent secara tersirat dari pasien umumnya dapat diterima sebagai persetujuan tindakan. Selain itu, pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi keluarga/wali, tindakan tetap boleh dilakukan walaupun informed consent belum ada. Informed consent dapat dibuat setelah pasien sadar atau keluarga/wali hadir.[12–16]

Kesimpulan

Informed consent adalah persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien atau keluarga, setelah informasi yang jelas dan rinci mengenai prosedur atau pengobatan diberikan.

Tujuan informed consent adalah meningkatkan komunikasi antara dokter dan pasien dalam shared decision making untuk mendukung pasien mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri. Selain itu, informed consent juga memberikan perlindungan hukum untuk dokter dan pasien.

Informed consent dapat diberikan secara tersirat, tertulis, atau lisan tergantung pada situasi yang ada. Pada kondisi pasien tidak kompeten, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga, wali, atau saudara terdekat dengan tetap memenuhi prinsip tujuan tindakan/terapi, yaitu memberikan manfaat terbaik untuk pasien.

Dalam situasi gawat darurat, tindakan untuk mencegah kecacatan dan menyelamatkan nyawa boleh dilakukan sebelum informed consent dibuat.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi