Perbandingan Efikasi Dan Keamanan ACEI Dan ARB Pada Infark Miokard

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) banyak digunakan dalam tata laksana kasus kardiovaskular, termasuk infark miokard. Kedua golongan obat tersebut memiliki mekanisme aksi yang hampir sama, yaitu modifikasi pada sistem renin-angiotensin-aldosteron yang mengatur keseimbangan cairan ekstraseluler dan tekanan darah.[1,2]

Hingga saat ini ACEI dan ARB banyak digunakan dalam tata laksana hipertensi, gagal jantung, infark miokard, dan penyakit jantung koroner. Contoh obat golongan ACEI adalah captopril dan lisinopril. Sedangkan, contoh obat golongan ARB adalah losartan dan valsartan.

infarkmiokarcomp

Efikasi dan Keamanan Penggunaan ACEI dan ARB pada Infark Miokard

Walaupun ACEI dan ARB memiliki mekanisme aksi yang mirip, perbandingan efikasi dan keamanan antara keduanya telah lama menjadi perdebatan. Hal ini terutama setelah pada tahun 2004 sebuah studi melaporkan bahwa pemakaian valsartan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard.[3,4]

Sehingga paradigma saat ini menganggap bahwa penggunaan ACEI lebih efektif dibandingkan dengan ARB pada pasien yang memiliki berbagai komorbid kardiovaskular. ARB juga dianggap tidak aman diberikan pada pasien dengan infark miokard, karena dapat meningkatkan risiko infark.[5]

Hingga saat, berbagai penelitian lain dilakukan untuk memastikan rentang keamanan dan superioritas antara ACEI dan ARB.

Studi Kohort

Sebuah studi kohort tahun 2019 yang melibatkan hampir 60 ribu subjek dilakukan oleh Ko et al untuk membandingkan efikasi klinis antara ACEI dan ARB. Studi ini dilakukan di Kanada pada pasien berusia lebih dari 65 tahun dengan riwayat infark miokard. Hasil studi menunjukkan bahwa luaran klinis kardiovaskular yang tidak diinginkan (adverse clinical cardiovascular outcomes) ditemukan lebih rendah pada pasien usia lanjut yang mendapat ARB dibandingkan ACEI.[1]

Dari temuan Ko et al, dapat disimpulkan bahwa ARB memiliki efikasi yang baik sebagai pencegahan sekunder pada pasien pasca serangan infark miokard, terutama untuk populasi usia lanjut (>65 tahun) dan jenis kelamin perempuan. Penurunan tekanan darah pada perempuan yang mengonsumsi ARB, dilaporkan lebih baik daripada pasien laki-laki.[1]

Hasil studi ini tentu dapat dijadikan pertimbangan untuk merubah atau menyesuaikan pedoman klinis yang ada, termasuk menyesuaikan pedoman berdasarkan jenis kelamin dan usia dan bukan hanya memukul rata tata laksana. Namun, studi lebih lanjut masih diperlukan, terutama pada populasi dengan usia lebih muda. [1]

Tinjauan Sistemik dan Meta Analisis

Studi meta analisis oleh Ohtsubo et al tahun 2019 meninjau 6 uji klinis acak dan 3 meta analisis untuk membandingkan efek ACEI dan ARB pada pasien infark miokard dan gagal jantung. Dari semua subjek, +36% mengidap hipertensi.[7]

Luaran yang dinilai adalah kekambuhan atau onset baru infark miokard, rawat inap akibat gagal jantung, kematian kardiovaskular atau total, kejadian kardiovaskular atau stroke, dan efek samping obat. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ACEI dan ARB untuk semua luaran, kecuali efek samping.[7]

Penghentian uji klinis karena efek samping secara signifikan lebih umum terjadi pada uji ACEI daripada uji ARB.[7]

Belum Ada Uji Klinis Langsung antara ACEI dan ARB

Bila ditelaah lebih lanjut, Messerli dan Bangalore menyatakan bahwa anggapan ini hanya didasarkan pada hasil studi dengan perbandingan yang tidak langsung. Anggapan ini mengabaikan hasil dari uji klinis head-to-head antara ACEI dan ARB, yang menunjukkan bahwa ARB sama efektifnya dalam menurunkan risiko kejadian kardiovaskular, termasuk infark miokard.[5]

Implikasi di Indonesia

Saat ini, di Indonesia penggunaan ACEI diindikasikan untuk menurunkan risiko mortalitas pasca infark miokard dengan gangguan sistolik jantung, baik yang disertai atau tanpa gagal jantung. Hal ini karena ACEI dilaporkan mampu mengurangi remodeling otot jantung. Pada pedoman tatalaksana sindrom koroner akut tahun 2018, penggunaan ARB dimasukkan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap ACEI.[6]

Pemberian ACEI dapat dilakukan dalam 24 jam pertama pada pasien dengan gangguan fungsi sistolik jantung (fraksi ejeksi <40%) dan pasien dengan faktor komorbid, seperti diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronis, dengan dosis optimal seperti yang tertera pada Tabel 1.[6]

Tabel 1. Jenis dan Dosis ACEI pada Pasien Infark Miokard

Jenis obat Dosis
Captopril 6,25‒50 mg diberikan 1‒3 kali sehari
Ramipril 2,5‒10 mg/hari dalam 1‒2 dosis
Lisinopril 2,5--20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5‒20 mg/hari dalam 1‒2 dosis

Sumber: Hendra, 2020.[6]

Kesimpulan

Selama ini, penggunaan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) pada pasien infark miokard dianggap tidak sama efektif dan kurang aman bila dibandingkan dengan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI). Contoh obat golongan ACEI adalah captopril, ramipril, enalapril, dan lisinopril. Sedangkan, contoh obat golongan ARB adalah losartan dan valsartan.

Namun, sebuah studi kohort tahun 2019 dengan kekuatan bukti yang baik menunjukkan bahwa ARB sama efektif dan aman untuk digunakan pada pasien infark miokard, terutama yang berusia >65 tahun dan berjenis kelamin perempuan.

 

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi