Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik
Penatalaksanaan kehamilan ektopik (ectopic pregnancy) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tatalaksana expectant, medikamentosa, dan pembedahan.
Tatalaksana Expectant (Menunggu dan Waspada)
Selain bisa menyebabkan ruptur, kehamilan ektopik juga bisa berakhir dengan abortus tuba ataupun resorbsi. Tatalaksana expectant ini adalah tatalaksana tanpa intrevensi baik medikamentosa maupun intervensi bedah. Sesuai dengan namanya tatalaksana ini dilakukan dengan cara menunggu kehamilan ektopik berakhir sendiri tanpa terjadinya ruptur. Namun, tidak semua pasien dapat ditatalaksana seperti ini. Pasien yang dapat menjadi kandidat tatalaksana ini adalah pasien yang asimtomatis dan hemodinamik stabil tanpa adanya tanda-tanda ruptur. Selain itu, pasien juga harus memiliki bukti objektif terjadinya resolusi seperti kadar β-hCG yang menurun. Namun, pada tatalaksana ini perlu ditekankan bahwa pasien harus betul-betul patuh untuk melakukan follow-up rutin serta harus mau menerima bahwa risiko ruptur tetap ada.
Medikamentosa
Obat yang paling umum digunakan sebagai terapi pada kehamilan ektopik adalah methotrexate. Methotrexate merupakan antagonis asam folat yang menginhibisi sintesis DNA pada sel yang aktif membelah, temasuk trofoblas. Pemberian secara tepat pada pasien terpilih memiliki tingkat kesuksesan sampai 94%. Methotrexate telah lama diketahui efektif mengobati berbagai jenis kanker dan penyakit autoimun.
Keefektifan penggunaan methotrexate pada jaringan tropoblastik berasal dari pengalaman menggunakan obat ini pada mola hidatidosa dan koriokarsinoma. Dalam penggunaannya pada kehamilan ektopik, pemberian methotrexate dapat dilakukan dengan injeksi dosis tunggal ataupun multipel. Kehamilan ektopik yang berlokasi di serviks, ovarium, insterstisial, dan cornu tuba sangat diuntungkan dengan terapi methotrexate ini karena intervensi bedah pada kasus-kasus tersebut memiliki risiko perdarahan yang tinggi bahkan seringkali harus berakhir dengan histerektomi dan ooforektomi.
Seorang pasien dengan kehamilan ektopik yang akan memulai terapi methotrexate haruslah memiliki kadar β-hCG yang abnormal dan pada identifikasi dengan USG tidak ditemukan kantung kehamilan intrauterin. Selain itu pasien juga harus memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut ini:
- Pasien harus memiliki kondisi hemodinamik yang stabil tanpa tanda dan gejala perdarahan aktif atau hemoperitoneum
- Pasien harus dan bisa dipercaya untuk dapat datang kembali untuk follow-up
- Pada pengukuran USG, ukuran hasil konsepsi tidak boleh lebih besar dari 4 cm sebagai dimensi terbesarnya atau lebih dari 3.5cm jika dengan aktivitas jantung janin
- Tidak adanya aktivitas jantung janin
- Tidak adanya bukti terjadinya ruptur
- Kadar β-hCG ≤000 mIU/Ml
Beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi pemberian methotrexate adalah:
- Hipersensitivitas terhadap methotreaxte
- Menyusui
- Gangguan hepar, seperti pada liver alcohol disease, disfungsi hepar, dan tipe lainnya dari penyakit hepar
Blood disorder, seperti dyscrasia darah, leukopenia, trombositopenia, anemia, dan disfungsi hematologi
- Penyakit organ lain, seperti pada penyakit paru yang sedang aktif, ulkus peptikum, disfungsi renal, alkoholisme, dan imunodefisiensi
Terapi methoteraxate memiliki berbagai efek samping. Efek samping obat yang paling sering terjadi adalah mual, muntah, stomatitis, diare, distres lambung, pusing, dan peningkatan enzim hepar. Efek samping yang lebih jarang terjadi berupa nefrotoksisitas, pneumonitis interstisial, dan dermatitis alopesi. Pada penggunaan untuk kehamilan ektopi, efek samping yang dapat timbul adalah peningkatan nyeri abdomen, peningkatan kadar β-hCG selama hari ke 1 s.d 3 pengobatan, dan perdarahan pervaginam atau spotting.
Selama pemberian terapi dengan methotrexate, pasien juga harus diingatkan bahwa masih ada kemungkinan terjadinya ruptur sehingga pasien harus waspada jika mengalami gejala ruptur tuba seperti nyeri abdomen, perdarahan pervaginam yang memberat, pusing yang hebat, takikardia, atau penurunan kesadaran.
Risiko ruptur kehamilan ektopik pada pengobatan methotrexate berkisar 7-14%. Pada sebuah studi case control, dari 81 perempuan dengan kehamilan ektopik yang diobati dengan methotrexate, 62 di antaranya menunjukan resolusi sementara 19 orang mengalami ruptur tuba.
Selain peringatan mengenai kemungkinan terjadinya ruptur, tidak lupa juga diingatkan kepada pasien untuk sementara menghindari minuman beralkohol, vitamin yang mengandung asam folat, dan obat-obatan golongan NSAID, serta berhubungan seksual sampai diperbolehkan kembali.
Regimen dosis Multipel
Pemberian regimen methotrexate dosis multipel pada kehamilan ektopik harus disertai pemberian leucovorin. Leucovorin adalah asam folat yang merupakan produk akhir dari reaksi yang dikatalisasi oleh dihidrofolat reduktase. Normalnya, sel yang membelah mengabsorbsi leucovorin sehingga dapat menrunkan aksi methotreaxate, dengan kata lain menurunkan efek samping sistemik methotrexate. Dosis regimen methotrexate pada pemberian dengan cara ini adalah 1 mg/kg IM, diberikan pada hari ke 0, 2, 4, dan 6 diikuti dengan pemberian regimen leucovorin dengan dosis 0.1 mg/kg pada hari ke 1, 3, 5, dan 7. Karena insidens efek samping yang cukup tinggi dan masalah kepatuhan pasien untuk berobat, pemberian methotrexate dosis multipel mulai ditinggalkan.
Regimen Dosis Tunggal
Pemberian methotrexate dengan cara injeksi dosis tunggal lebih populer dilakukan saat ini. Sebuah studi menunjukan bahwa pemberian methotrexate baik dengan dosis multipel maupun dosis tunggal memiliki efektivitas yang serupa. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/m2 IM. Secara umum, wanita dengan tinggi 160 cm dan berat badan 60 kg, biasanya membutuhkan dosis 80 mg. Dengan metode ini, efek samping menjadi lebih rendah sehingga penggunaan leucovorin tidak diperlukan.
Pada pemberian dosis tunggal, follow up yang dilakukan adalah sebagai berikut:
- Pada hari ke-0 (satu hari sebelum pemberian obat) dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG, USG, dan dengan atau tanpa D&C
- Pada hari ke-1 (hari pemberian obat) dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG, SGOT, SGPT, BUN, dan kreatinin darah
- Pada hari ke-4, dilakukan pemeriksaan β-hCG
- Pada hari ke-7 perubahan kadar β-Hcg diamati, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan darah lengkap.
Jika kadar β-hCG telah turun 15% atau lebih sejak hari ke-4, dilakukan pemeriksaan kadar β-hCG mingguan sampai kadarnya menjadi negatif
Jika kadar mingguan menjadi mendatar atau meningkat, pemberian methotrexate kedua dengan dosis sama dengan dosis pertama dapat dilakukan
Jika kadar β-hCG tidak turun sekurang-kurangnya 15% dari hari ke-4, berikan methorexate kedua dengan dosis yang sama dengan yang pertama, dan observasi bisa dilakukan terhadap pasien dengan langkah yang sama dengan pemberian methotrexate pertama.
Jika kadar β-hCG tidak menurun sampai hari ke-14, terapi bedah menjadi pilihan selanjutnya
Jika pasien mengalami peningkatan nyeri abdomen setelah pemberian methotrexate, ulangi USG transvaginal untuk mengavaluasi kemungkinan terjadinya ruptur
Rata-rata tingkat keberhasilan regimen methotrexate dosis tunggal dilaporkan 88-94%. Sebuah studi kohort prospektif melaporkan bahwa dari 113 pasien yang diobati menggunakan methotrexate dosis tunggal, hanya 4 (3.3%) di antaranya yang membutuhkan dosis kedua, waktu resolusi adalah 35.5±11.8 hari. Lebih jauh lagi, 87.2% dari pasien ini berhasil memiliki kehamilan intrauterin pada kehamilan berikutnya sementara 12.8% mengalami kehamilan ektopik ulangan. [12] Walaupun tingkat keberhasilan regimen ini cukup tinggi, namun pasien tetap harus diedukasi mengenai kemungkinan terjadinya ruptur, serta tanda dan gejala kegawatdaruratan yang akan timbul.
Pembedahan
Intervensi bedah yang dapat dilakukan sebagai terapi pada kehamilan ektopik adalah salpingektomi dan salpingostomi. Salpingektomi adalah pembedahan untuk menyingkirkan/membuang Tuba Fallopi. Sementara salpingostomi adalah metode membuka Tuba Fallopi, tetapi tanpa menyingkirkan tuba. Salpingostomi dikenal juga dengan sebutan neosalpingostomi atau fimbrioplasti. Disebut demikian karena prosedur ini merupakan prosedur rekonstruksi tuba dengan cara membuka fimbriae tuba dan memperbaikinya. Pada perempuan tanpa faktor risiko infertilitas atau sudah tidak berkeinginan untuk memiliki anak lagi, salpingektomi lebih dianjurkan. Kedua metode pembedahan ini dapat dilakukan baik secara laparoskopi maupun laparotomi. Namun, saat ini laparoskopi lebih sering digunakan karena lebih cepat dan cenderung memiliki efek samping yang lebih rendah. [7,8,13-18]