Patofisiologi Restless Legs Syndrome
Patofisiologi restless legs syndrome (RLS) terjadi dengan adanya gangguan neurologi dan gangguan tidur. RLS dibedakan menjadi RLS primer bersifat idiopatik berkaitan dengan herediter dan RLS sekunder yang berkaitan dengan multipel faktor misalnya gangguan saraf, defisiensi besi, kehamilan dan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, rheumatoid arthritis hingga multiple sklerosis.
Restless Leg Syndrome Primer
Restless legs syndrome primer bersifat idiopatik, dimana berkorelasi juga dengan herediter. Penyakit RLS terjadi gangguan pada sistem saraf pusat meskipun pada kenyataannya tidak ditemukan adanya lesi spesifik yang dapat dikaitkan dengan kejadian ini.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) pasien yang menderita RLS akan menunjukkan adanya perubahan morfologi pada korteks somatosensori, kortek motorik dan thalamic gray matter. Selain itu juga didapatkan adanya aktivasi abnormal pada bilateral serebral dan talamus pada saat ada rangsangan sensoris. Sedangkan pada pemeriksaan single photon emission computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) menunjukkan terjadinya disfungsi pada pusat sistem dopaminergik (sistem limbik opioid).
Selain itu terdapat studi yang menunjukkan bahwa varian genetik MEIS1 (Meis homeobox 1) dan BTBD9 (BTB Domain containing 9) memiliki korelasi dengan rendahnya kadar zat besi, rendahnya reseptor dopamin D2 di putamen dan tingginya kadar tyrosine hydroxylase di substantia nigra. Akan tetapi hasil analisis pemeriksaan tersebut masih kontroversial dan masih diperdebatkan hingga saat ini.[1-3,10-12]
Restless Leg Syndrome Sekunder
Restless legs syndrome sekunder umumnya terjadi pertama kali pada usia 40 tahun keatas, dimana berkaitan dengan multifaktor diantaranya gangguan saraf, kehamilan, defisiensi zat besi, penyakit ginjal kronis, diabetes peripheral neuropathy, multiple sclerosis, penyakit tiroid, poliomyelitis, rheumatoid arthritis dan penggunaan obat psikotropik seperti antidepresan dan obat dopaminergik yang biasanya digunakan pada pengobatan pasien dengan Parkinson dalam jangka panjang (drug induced RLS). Terdapat hipotesa mengenai patofisiologi RLS sekunder yang disebabkan defisiensi zat besi, terjadinya gangguan sistem dopaminergik akibat kurangnya zat besi di otak. Patofisiologi RLS sekunder secara pasti hingga saat ini masih kontroversial dan masih menjadi bahan perdebatan, akan tetapi terjadinya disfungsi proses pada pusat sistem dopaminergik memegang peranan penting pada terjadinya RLS sekunder ini.[2,4,6-8,12]