Patofisiologi Myasthenia Gravis
Patofisiologi myasthenia gravis (MG) atau miastenia gravis adalah melalui mekanisme autoimun pada neuromuskular junction (NMJ).
Gejala-gejala yang khas pada myasthenia gravis diketahui berasal dari kegagalan efektivitas transmisi neuromuskular pada postsinaps. Penurunan jumlah reseptor dan aktivitas kompetitif dari anti-AChR (acetylcholine receptor) antibodi menyebabkan insufisiensi amplitudo potensial postsinaps untuk menginervasi otot. Sekitar 20% pasien dengan generalized myasthenia gravis menunjukkan seronegatif pada deteksi AChR antibodi. Akan tetapi, 30% dari pasien tersebut menunjukkan autoantibodi terhadap Muscle-Specific Kinase (MuSK). MuSK berperan penting pada diferensiasi dan perkembangan postsinaps dan mengelompokkan AChR. AchR protein antibodi dapat ditemukan pada lebih dari 85% pasien dengan generalized myasthenia dan 60% pasien dengan myasthenia okuler. Gejala muncul apabila jumlah AChR berkurang kira-kira 30% dari normal.[2,3,7,8]
Transmisi neuromuskular bisa terganggu dalam beberapa cara, yaitu:
- Antibodi yang memblokade reseptor tempat asetilkolin gagal berikatan
- Serum IgG pasien MG menyebabkan peningkatan degradasi AChR yang disebabkan oleh kapasitas antibodi untuk breaksi silang dengan reseptor
- Antibodi menyebabkan jalur penghancuran melalui aktivasi komplemen pada lipatan postsinaps.
Transmisi yang terhambat ini kemudian berujung pada penurunan kekuatan kontraksi otot. Defisiensi pertama kali terkena pada otot okuler dan otot kranial karena otot-otot inilah yang dipakai secara aktif dan berkepanjangan serta memiliki jumlah AChR yang paling sedikit per unit motor. [2,3,7,8]
Reaksi Sistem Imun
Destruksi komplemen dimediasi oleh aktivasi fragmen C3, C9, dan kompleks yang menyerang membran. Target utama serangan komplemen adalah permukaan sel postsinaps. Komplemen melisiskan membran sel postsinaps karena adanya defisiensi pada kontrol protein (decay accelerating factor, membrane cofactor protein, dan membrane inhibitor of reactive lysis). Produksi autoantibodi pada myasthenia gravis juga melibatkan sel T dependen dengan destruksi antigen pada tubuh.[2,3,7,8]
Sel CD4+ T-helper yang adalah AChR-specific sangat krusial dalam aktivasi sel B untuk mensintesis high-affinity IgG autoantibodi. Reseptor sel T-Helper merespon antigen yang telah diproses oleh Antigen-Presenting Cell (APC) dengan asosiasinya terhadap Major Histocompatibility Complex (MHC) molekul kelas II. Epitop Subunit alpha pada AChR sangat mudah dikenal sel T sehingga reaksi imunitas yang saling kait-mengait dengan cepat terjadi.
Sitokin juga berperan dalam patofisiologi myasthenia gravis. Sitokin yang disekresikan CD4+ setelah distimulasi antigen, memediasi komunikasi interseluler yang berakibat pada reaksi lokal dan sistemik sistem imun. Myasthenia gravis melibatkan aktivasi Th1 dan Th2. Sitokin yang dikeluarkan Th1 berupa interferon gamma, interleukin 2, dan Tumor Necrosis Factor (TNF) yang bersifat proinflamatori. Th2 memproduksi sitokin seperti interleukin 4 dan interleukin 10 yang bersifat anti-inflamasi.[2,3,7,8]
Kelainan Timus
Hiperplasi limfofolikuler nonneoplastik pada medulla timus terjadi pada 65% atau lebih kasus myasthenia gravis, sedangkan tumor timus terjadi pada 10 sampai 15% pasien. Presentase ini menunjukkan adanya hubungan antara organ timus dan terjadinya myasthenia gravis. Secara struktural, kelainan pada timus mengakibatkan kelainan pada motor endplate. Luas permukaan membran postsinaptik mengalami reduksi dan synaptic cleft terkesan melebar tanpa adanya alterasi jumlah dan ukuran vesikel presinaps serta jumlah neurotransmiter asetilkolin. [2,3,7,8]