Penatalaksanaan Epilepsi
Setelah pasien didiagnosis dengan epilepsi, jenis serangan epileptik harus diidentifikasi dengan tepat sehingga dapat menentukan penatalaksanaan yang efektif. Penilaian untuk pemberian profilaksis antikejang harus dilakukan dengan teliti. Kebanyakan serangan dapat terkontrol dengan pemberian obat tunggal. Namun apabila satu obat tidak dapat mengontrol serangan sampai mendekati dosis toksis, maka harus segera diganti dengan regimen lainnya. Pemberhentian penggunaan obat dianjurkan setelah 2 sampai 5 tahun sejak bebas serangan. Efek samping pengobatan yang paling sering muncul adalah sedasi, dapat juga pusing dan nyeri kepala. Tata laksana epilepsi dapat dilakukan berdasarkan panduan yang dikeluarkan NICE (The National Institute for Health and Care Excellence, United Kingdom).
Tata Laksana untuk Serangan Fokal
Tata laksana lini pertama untuk serangan fokal yang pertama kali didiagnosis adalah karbamazepin dan lamotigrin. Jika tidak efektif, dapat diberikan levetiracetam, oxkarbazepin, dan asam valproat. Levetiracetam tidak dijadikan sebagai terapi lini pertama karena tidak efektif dari segi biaya.
Bila masih tidak efektif, pertimbangkan pemberian terapi ajuvan berupa klobazam, atau gabapentin. Bila masih tetap tidak efektif, maka pasien perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk diberikan eslikarbazepin, lakosamid, fenobarbital, phenytoin, pregabalin, tiagabalin, vigabatrin, atau zonisamid. Pertimbangkan pemberian terapi ajuvan bila terapi antiepilepsi lini kedua tidak efektif.
Tata Laksana untuk Serangan Umum Tonik-Klonik
Pada serangan umum tonik-klonik yang pertama kali didiagnosis, obat lini pertama yang diberikan adalah asam valproat. Bila asam valproate tidak cocok, lamotigrin dapat diberikan namun perlu berhati-hati karena dapat mengeksaserbasi serangan mioklonik juvenil. Karbamazepin dan oxkarbazepin dapat digunakan dengan mempertimbangkan risiko eksaserbasi serangan mioklonik atau serangan absans.
Tata Laksana untuk Serangan Absans
Berikan etosuksimid atau asam valproat pada pasien anak dan dewasa muda. Bila ada risiko mengalami serangan tonik-klonik, berikan asam valproat terlebih dahulu. Berhati-hati dengan efek teratogenik asam valproat.[10,11]
Tindakan Bedah
Tindakan bedah diindikasikan untuk pasien yang resisten dengan obat antiepilepsi. Tindakan bedah dapat bersifat paliatif maupun kuratif. Tindakan bedah yang sering pada pasien epilepsi adalah lesionektomi dan lobektomi, yang bertujuan untuk membuang fokus epileptik. Tindakan bedah lain namun tidak secara luas tersedia adalah hemisferektomi dan implantasi neurostimulasi responsif.
Terapi bedah untuk epilepsi telah dilakukan di Indonesia sejak tiga dekade lalu dan semakin sering dilakukan dengan hasil yang secara signifikan lebih baik pada pasien muda.[8]
Rujukan
Pasien yang mengalami serangan epileptik untuk pertama kalinya harus dilakukan pemeriksaan yang mengarah ke epilepsi. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis anak atau dokter spesialis anak dengan keahlian epilepsi. Secepatnya dalam dua minggu seluruh pasien dengan serangan epileptik harus diperiksa oleh spesialis untuk diagnosis dini dan tatalaksana segera. Pasien dengan epilepsi harus rutin dilakukan pemantauan atau kontrol kondisi penyakitnya.[11]
Pasien dengan spasme infantil harus dirujuk ke spesialis di bidang epilepsi di fasilitas kesehatan tersier. Pasien yang tidak respon dengan obat antiepilepsi juga harus dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk diberikan diet ketogenik.[10]