Etiologi Intoleransi Makanan
Secara umum, etiologi intoleransi makanan dapat timbul dari jenis makanan apapun. Akan tetapi, ada beberapa jenis makanan yang lebih banyak menimbulkan gejala, seperti makanan yang mengandung laktosa, fruktosa, bahan aditif, dan karbohidrat rantai pendek.
Karbohidrat rantai pendek ini tidak banyak diabsorpsi oleh tubuh sehingga akan menumpuk di kolon dan difermentasi oleh mikrobiota. Kelompok ini disebut dengan FODMAP (fermentable oligo-, di-, mono-saccharides and polyols).[1] Berikut adalah kelompok makanan yang tergolong dalam FODMAP.
Tabel 2. Makanan yang Dikategorikan sebagai FODMAP (Fermentable Oligo-, Di-, Mono-saccharides and Polyols)
Jenis Karbohidrat Rantai Pendek | Karakteristik | Sumber Makanan |
Fruktan (contoh: inulin, oligofruktosa, frukto-oligosakarida) | Hanya diabsorpsi < 5% di tubuh karena kurangnya enzim untuk memecah ikatan glikosida | Sereal gandum, sayur-sayuran (bawang putih, bawang bombai, daun bawang) |
Galakto-oligosakarida (contoh: raffinose, stachyose) | Tidak dihidrolisasi di saluran pencernaan karena kurangnya enzim α-galaktosidase | ASI, kacang-kacangan, biji-bijian |
Polyol (contoh: sorbitol, manitol, silitol) | Diabsorpsi secara pasif pada saluran pencernaan. Absorpsi bergantung dari ukuran molekul polyol, waktu transit di saluran pencernaan dan adanya penyakit gastrointestinal | Buah-buahan (apel, pir, ceri, persik, aprikot), sayur-sayuran (jamur, kembang kol), pemanis buatan pada berbagai produk makanan dan obat |
Sumber: dr. Shofa, 2019.
Bahan aditif juga dapat menimbulkan intoleransi makanan. Contoh bahan aditif yang menimbulkan intoleransi adalah pewarna makanan dan bahan pengawet. Zat aditif lain seperti antioksidan, zat stabilisasi, penambah rasa, atau pemanis buatan belum dibuktikan menimbulkan gejala intoleransi pada uji acak ganda terkontrol dengan plasebo. Mekanisme timbulnya gejala intoleransi dari pewarna makanan sampai saat ini belum diketahui. [4]
Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko terkait intoleransi makanan, terutama intoleransi laktosa. Prematuritas merupakan salah satu faktor risiko defisiensi laktase primer. Populasi Asia, termasuk Indonesia juga merupakan faktor risiko terjadinya defisiensi laktase primer. Hal ini diakibatkan karena hampir seluruh orang Asia memiliki defisiensi enzim laktase. Walau demikian, hal ini tidak selalu bermanifestasi menjadi intoleransi laktosa. [6,7]
Kondisi lain yang menjadi faktor risiko intoleransi laktosa adalah malnutrisi berat dan adanya penyakit gastrointestinal yang kronik, seperti GERD, penyakit inflamasi saluran cerna, konstipasi fungsional, sindrom usus iritabel, dan sindrom malabsorpsi. Malnutrisi berat dapat menyebabkan atrofi ada vili-vili usus. [13,14]