Patofisiologi Croup
Patofisiologi croup dimulai dari masuknya virus melalui inhalasi langsung dari batuk dan/atau bersin, atau dengan kontaminasi tangan dari kontak melalui menyentuh mukosa mata, hidung, dan/atau mulut berikutnya. Etiologi virus yang paling umum adalah virus parainfluenza. Jenis virus parainfluenza (1, 2, dan 3) yang menyebabkan wabah croup bervariasi setiap tahunnya. Port d’ entri utama virus adalah hidung dan nasofaring. Infeksi menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan trakea. Saluran pernapasan bagian bawah juga seperti bronkus mungkin terkena.
Peradangan dan edema laring subglotis dan trakea, terutama di dekat tulang rawan krikoid, paling signifikan secara klinis. Secara histologis, area yang terlibat adalah infiltrasi seluler yang terletak di lamina propria, submukosa, dan adventitia. Infiltrat mengandung limfosit, histiosit, neutrofil dan sel plasma. Virus parainfluenza mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat penyerapan natrium di epitel trakea, berkontribusi pada edema jalan nafas. Dengan demikian, pembengkakan secara signifikan dapat mengurangi diameter saluran napas, membatasi aliran udara. Penyempitan ini mengakibatkan gejala klinis berupa, aliran udara turbulen, stridor, dan retraksi dinding dada. Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari nasofaring atau oropharing yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2-8 hari. Peradangan yang menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran pernapasan. Area subglotis adalah bagian tersempit pada saluran pernafasan atas anak usia <10 tahun, yang membuatnya sangat rentan untuk terjadinya obstruksi.
Kerusakan endothelial dan hilangnya fungsi siliaris juga terjadi. Eksudat mukoid atau fibrinous sebagian menutup lumen trakea. Berkurangnya mobilitas pita suara karena edema menyebabkan suara serak. Adanya faktor infeksi (virus, bakteri, jamur), mekanis dan/atau alergi dapat menyebabkan terjadinya inflamasi, eritema dan edema pada laring dan trakea, sehingga mengganggu gerakan plica vocalis. Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewat.
Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds, akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan terdengar juga saat ekspirasi. Edema pada plika vokalis akan mengakibatkan suara parau. Kelainan dapat berlanjut hingga mencapai brokus dan alveoli, sehingga terjadi laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis. Pada spasmodic croup terjadi edema jaringan tanpa proses inflamasi. Reaksi yang terjadi terutama disebabkan oleh reaksi alergi terhadap antigen virus dan bukan akibat langsung infeksi virus.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan 75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan gejala sesak napas. Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas. [2,3]