Penatalaksanaan Ruptur ACL
Penatalaksanaan ruptur anterior cruciate ligament atau ACL terdiri atas dua pendekatan utama, yaitu pendekatan konservatif dan operatif. Pemilihan terapi bergantung pada usia pasien, tingkat aktivitas, stabilitas lutut, serta ada-tidaknya cedera tambahan, seperti cedera meniskus.
Pendekatan konservatif berupa rehabilitasi terstruktur dan penguatan otot periartikular terutama dipertimbangkan pada pasien non-atlet atau berusia lebih tua yang tidak mengalami instabilitas signifikan. Namun, perlu diketahui bahwa pendekatan konservatif memiliki risiko kurang adekuatnya pengembalian stabilitas dinamis lutut, khususnya pada individu aktif, sehingga risiko cedera ulang dan progresi ke osteoartritis meningkat.
Sebaliknya, rekonstruksi ACL lebih disukai pada populasi atlet dan pasien aktif secara fungsional karena dapat mengembalikan stabilitas lutut secara anatomi dan fungsional lebih baik, serta memungkinkan kembalinya performa olahraga lebih optimal. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan autograft maupun allograft.
Teknik rekonstruksi terbagi menjadi single-bundle dan double-bundle, dengan beberapa studi menunjukkan bahwa teknik double-bundle memberikan stabilitas rotasional yang lebih baik, meskipun hasil klinisnya bisa sebanding. Keputusan waktu operasi sangat krusial karena rekonstruksi yang terlalu dini meningkatkan risiko arthrofibrosis, sementara penundaan berisiko menyebabkan cedera meniskus atau kerusakan kartilago.[1-4]
Pendekatan Konservatif
Pemilihan antara pendekatan konservatif dan operatif pada ruptur ACL perlu mempertimbangkan berbagai faktor. Penanganan konservatif ruptur ACL umumnya ditujukan bagi pasien dengan tingkat aktivitas rendah hingga sedang, lansia, atau mereka yang tidak mengalami instabilitas lutut signifikan. Pendekatan ini mengutamakan rehabilitasi fungsional yang fokus pada penguatan otot, stabilisasi sendi, serta peningkatan kontrol neuromuskular.
Evaluasi awal pada pasien yang akan menjalani terapi konservatif perlu mencakup derajat instabilitas klinis, kebutuhan aktivitas pasien, serta keberadaan cedera ligamen atau meniskus lain yang mungkin menjadi kontraindikasi untuk penanganan non-operatif. Program rehabilitasi dibagi menjadi beberapa fase.[1-4]
Fase-Fase Rehabilitasi Ruptur ACL
Fase awal (akut-subakut) bertujuan untuk mengurangi nyeri dan efusi, memulihkan rentang gerak, serta mencegah atropi otot, khususnya quadriceps dan hamstring. Modalitas yang digunakan meliputi cryotherapy, latihan isometrik, dan terapi manual.
Fase berikutnya adalah penguatan progresif otot-otot ekstremitas bawah, terutama otot hamstring untuk mengimbangi defisiensi ACL, serta latihan proprioseptif dan neuromuskular untuk meningkatkan stabilitas dinamis.
Setelah fase penguatan, pasien memasuki fase latihan fungsional yang lebih kompleks, seperti latihan keseimbangan, agility, dan aktivitas spesifik sesuai kebutuhan fungsional pasien. Penilaian berkala terhadap stabilitas lutut, kekuatan otot, dan performa fungsional akan penting untuk menentukan kemajuan rehabilitasi. Penggunaan brace fungsional dapat dipertimbangkan, meskipun bukti ilmiah tidak menunjukkan manfaat jangka panjang signifikan.[1-4]
Risiko Pendekatan Konservatif
Meskipun sebagian besar pasien dengan penanganan konservatif dapat kembali ke aktivitas harian normal, penting untuk menekankan bahwa risiko instabilitas kronik dan cedera meniskus sekunder tetap ada. Oleh karena itu, pasien harus dimonitor secara berkala.
Apabila terdapat kegagalan berupa instabilitas yang menetap atau gangguan fungsional yang signifikan, maka indikasi untuk rekonstruksi ACL perlu dipertimbangkan kembali.[1-4]
Pendekatan Operatif
Penanganan operatif pada ruptur ACL mayoritas dilakukan melalui prosedur rekonstruksi ligamen. Indikasi operasi mencakup pasien muda atau aktif secara atletik, adanya instabilitas lutut yang mengganggu fungsi, serta ruptur ACL yang disertai cedera meniskus atau struktur intraartikular lain yang memerlukan stabilitas lutut optimal.
Waktu operasi ideal adalah dalam 3 bulan pertama setelah cedera untuk mencegah kerusakan meniskus dan kartilago sekunder. Meski demikian, operasi sebaiknya dilakukan setelah fase inflamasi akut mereda dan rentang gerak lutut sudah optimal guna mengurangi risiko arthrofibrosis pascaoperasi.[1-4]
Teknik Operasi
Teknik rekonstruksi ACL yang paling umum adalah rekonstruksi single-bundle menggunakan graft autologus, meskipun teknik double-bundle juga dapat dipertimbangkan karena luaran klinis keduanya telah dilaporkan sebanding. Autograft (dari patellar tendon atau hamstring) umumnya lebih disarankan dibandingkan allograft, terutama pada pasien muda dan aktif karena risiko kegagalan graft lebih rendah.
Reparasi ACL lebih dipilih pada populasi anak-anak. Beberapa teknik yang biasa digunakan antara lain dynamic intra-ligamentary stabilization (DIS), internal brace ligament augmentation (IBLA), dan peningkatan biologis, seperti bridge-enhanced ACL repair (BEAR).[1-4]
Pemilihan Graft
Pemilihan graft untuk rekonstruksi ACL merupakan topik yang luas dengan pro dan kontra untuk setiap jenis graft. Saat ini tersedia berbagai teknik graft untuk rekonstruksi ACL. Graft ideal untuk rekonstruksi ACL adalah graft yang secara biomekanis mirip dengan ligamen asli, lebih mudah diekstraksi, memiliki morbiditas lokasi ekstraksi paling sedikit, dan menyatu dengan baik dengan tulang.[15]
Autograft hamstring sering digunakan pada pasien anak dengan lempeng fiseal terbuka, pasien yang lebih tua, dan mereka yang memiliki aktivitas yang tidak terlalu menuntut. Kekurangan autograft hamstring meliputi penyembuhan awal yang lebih lambat, peningkatan kelonggaran pascaoperasi, dan penurunan kekuatan fleksi lutut.[16]
Autograft tulang-tendon-tulang patela (BPTB) adalah jenis graft lain yang umum digunakan. Graft jenis ini memiliki keuntungan yang sama karena bersifat autologus seperti pada graft hamstring, tetapi graft ini memiliki insiden nyeri lutut anterior pascaoperasi tertinggi, terutama saat berlutut.[4,16]
Autograft tendon quadriceps dilaporkan menyebabkan lebih sedikit nyeri lutut anterior saat berlutut tanpa mengurangi stabilitas jika dibandingkan dengan graft BPTB. Graft ini memiliki kekurangan relatif sama dengan tipe hamstring.[16]
Allograft sangat bermanfaat saat operasi ulang untuk revisi graft. Namun, allograft lebih mahal, memerlukan waktu lebih lama untuk menyatu, dan memiliki risiko penularan penyakit seperti infeksi HIV. Metode ini juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya ruptur ulang, terutama pada atlet muda, yakni sebanyak 4 kali lipat lebih tinggi daripada autograft.[4]
Perawatan Pascaoperasi
Setelah tindakan operatif, pasien perlu menjalani rehabilitasi yang terdiri dari beberapa fase, mencakup pengurangan nyeri dan efusi, pemulihan rentang gerak, penguatan otot, latihan proprioseptif, hingga latihan fungsional. Mobilisasi dini dan latihan terbimbing penting untuk mencegah komplikasi seperti kekakuan sendi atau penurunan massa otot.
Penggunaan brace pascaoperasi tidak direkomendasikan secara rutin karena tidak terbukti meningkatkan luaran klinis. Pemantauan progres terapi dilakukan secara berkala dengan penilaian fungsional dan stabilitas lutut.[1-4]
Penentuan Return to Sport
Penentuan waktu return to sport (RTS) setelah ruptur ACL memerlukan pendekatan multidimensional, melibatkan evaluasi kesiapan fisik, kesiapan psikologis, dan status penyembuhan biologis pascaterapi. Pendekatan ini tidak dapat diseragamkan untuk semua pasien karena tiap jenis olahraga, bahkan tiap posisi atau peran dalam satu cabang olahraga, memiliki tuntutan yang berbeda terhadap stabilitas, kekuatan, dan ketahanan lutut.[1-4]
Penentuan Kesiapan Fisik
Kesiapan fisik dievaluasi melalui serangkaian tes fungsional yang telah terbukti menurunkan risiko cedera ulang bila dipenuhi. Kriteria ini meliputi:
- Kekuatan otot quadriceps minimal 90% dari sisi kontralateral (diukur isokinetik)
- Uji lompatan satu kaki (single-legged hop test) dengan performa minimal 90%
- Nilai subjektif ≥90 pada skala global fungsi dan Knee Outcome Survey – Activities of Daily Living Scale
Beberapa protokol tata laksana juga menambahkan uji kelincahan (≤11 detik) dan latihan sport-specific sebagai bagian dari penilaian. Pasien yang tidak memenuhi kriteria ini terbukti memiliki risiko cedera ulang atau ruptur graft yang lebih tinggi secara signifikan.[1-4]
Penentuan Kesiapan Psikologis
Kesiapan psikologis memainkan peran penting yang seringkali terabaikan dalam praktik klinis. Hambatan psikologis, seperti ketakutan terhadap cedera ulang (fear of re-injury), rendahnya motivasi, dan kepercayaan diri yang minim dapat menghalangi kembalinya pasien ke level performa optimal, bahkan setelah pulih secara fisik.
Instrumen seperti ACL-Return to Sport after Injury (ACL-RSI) scale berguna untuk mengevaluasi aspek psikologis pasien dan menentukan RTS. Bila ditemukan hambatan signifikan, pendekatan tambahan seperti teknik relaksasi, mental imagery, perencanaan target yang realistis, atau rujukan ke psikolog olahraga dapat dipertimbangkan.[1-4]
Penentuan Kesiapan Biologis
Penyembuhan biologis juga menjadi determinan krusial dalam penentuan waktu RTS, terutama pada pasien yang menjalani rekonstruksi ACL menggunakan autograft. Studi menunjukkan bahwa proses ligamentization pada graft dapat berlangsung lebih dari 12 bulan, dan kualitas kartilago belum sepenuhnya pulih bahkan setelah 6 bulan pascaoperasi.
Kembali berolahraga terlalu dini, khususnya pada olahraga dengan gerakan pivoting, berisiko menyebabkan gangguan pemulihan kartilago dan meningkatkan kejadian osteoartritis pascatrauma. Penundaan RTS minimal hingga 9 bulan setelah operasi dikaitkan dengan penurunan risiko cedera ulang hingga 51% per bulan keterlambatan.[1-4]