Epidemiologi Ruptur ACL
Data epidemiologi menunjukkan bahwa ruptur anterior cruciate ligament atau ACL merupakan cedera ligamen lutut yang paling banyak terjadi. Beberapa studi epidemiologi memperkirakan bahwa hampir separuh dari cedera sendi lutut adalah cedera ACL.[4]
Global
Cedera ACL merupakan salah satu cedera lutut yang paling umum ditemukan, terutama dalam konteks olahraga dan aktivitas fisik intens. Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat antara 200.000 hingga 250.000 kasus ruptur ACL setiap tahunnya, dengan mayoritas kasus terjadi akibat mekanisme non-kontak, seperti saat melakukan perubahan arah mendadak atau pendaratan dari lompatan dalam posisi lutut sedikit fleksi dan valgus.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa ruptur ACL lebih sering terjadi pada usia produktif. Di Swedia, insiden cedera ACL diperkirakan mencapai 78 per 100.000 penduduk, dengan usia rerata pasien sekitar 32 tahun. Di Amerika Serikat, insiden mencapai 85 per 100.000 pada populasi usia 16–39 tahun.
Perbedaan insiden juga ditemukan berdasarkan jenis kelamin. Beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko 2-8 kali lebih tinggi mengalami cedera ACL dibandingkan laki-laki, meskipun terlibat dalam aktivitas atau olahraga yang serupa. Hal ini dikaitkan dengan perbedaan biomekanika, neuromuskular, dan hormonal.[2,3,5,9]
Indonesia
Sampai saat ini angka kejadian nasional ruptur ACL di Indonesia belum diketahui secara pasti. Sebuah studi kecil lokal di RSUD Siti Fatimah Sumatera Selatan mengindikasikan bahwa ruptur ACL di Indonesia juga paling banyak dialami oleh individu usia produktif.[10]
Mortalitas
Ruptur ACL tidak berhubungan secara langsung dengan mortalitas, mengingat cedera ini bukan kondisi yang mengancam jiwa. Namun, dampak morbiditas jangka panjang bisa signifikan, terutama terkait instabilitas sendi lutut, gangguan fungsional, dan penurunan kualitas hidup pasien atau atlet.
Pada individu aktif, instabilitas akibat defisiensi ACL dapat mengganggu performa fisik, membatasi partisipasi dalam aktivitas olahraga atau kerja, serta meningkatkan risiko cedera ulang. Pasien yang mengalami ruptur ACL juga lebih berisiko mengembangkan osteoartritis pascatrauma, yang dapat muncul bahkan setelah dilakukan rekonstruksi ACL. Selain itu, komplikasi pascabedah seperti kaku sendi, nyeri kronik, dan kegagalan graft juga berkontribusi terhadap morbiditas.[1-5]