Epidemiologi Sifilis
Sejak adanya penicillin, epidemiologi sifilis di Amerika Serikat dilaporkan menurun dari 66,4 kasus per 100.000 orang, menjadi 3,9 kasus per 100.000 orang. Namun, secara umum epidemiologi sifilis dilaporkan fluktuatif. [1]
Global
Insiden sifilis menurun pada sekitar tahun 1940 setelah ditemukan penicillin. Pada tahun 1990, insiden penyakit ini menurun pada banyak negara karena tata laksana penyakit menular seksual yang baik, perubahan gaya hidup, dan laporan kematian akibat AIDS. Setelah ditemukan pengobatan antiretroviral untuk HIV, insiden penyakit ini kembali meningkat dan sering ditemukan infeksi konkuren dengan HIVs. Peningkatan ini diperkirakan karena memburuknya perilaku dan gaya hidup seksual. [9,10]
Pada negara maju dilaporkan prevalensi sifilis meningkat pada kelompok tertentu, seperti pria homoseksual, wanita transgender, dan pekerja seks. [1, 9] Data CDC tahun 2017, melaporkan distribusi kasus sifilis primer dan sekunder terjadi 52% pada pria yang berhubungan seksual dengan pria saja, 6% pada pria yang berhubungan seksual dengan pria dan wanita, dan 15% pada pria yang berhubungan seksual dengan wanita saja. Berdasarkan data dari WHO tahun 2012, didapatkan sekitar 900.000 wanita hamil terinfeksi sifilis dengan jumlah kelainan kongenital yang diakibatkan adalah 350.000 dan jumlah kematian sekitar 200.000. [10-12]
Indonesia
Di Indonesia, pada tahun 2011 prevalensi sifilis pada wanita pekerja seks yang terinfeksi HIV adalah 16,7% dan yang tidak terinfeksi HIV adalah 9,47%. Pada populasi pria yang berhubungan seksual dengan pria yang terinfeksi HIV adalah 23,8% dan yang tidak terinfeksi HIV sebesar 16,67%. [13]
Mortalitas
Pada orang dewasa, mortalitas umumnya ditemukan akibat komplikasi sifilis tersier. Sifilis kongenital hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama abortus dan kematian bayi intrauterin di dunia. Oleh karena itu, dokter juga perlu memahami cara skrining sifilis kongenital.[14]