Pengembangan Vaksin COVID-19

Oleh :
Sunita

Pengembangan vaksin COVID-19 menjadi salah satu pendekatan yang dipertimbangkan untuk mengatasi wabah SARS-CoV-2. Serupa dengan teknik pengembangan vaksin MERS (Middle East Respiratory Syndrome) dan SARS, sejumlah teknik pengembangan vaksin coronavirus menggunakan DNA, mRNA, protein rekombinan, dan vektor adenovirus kini sedang banyak dipelajari. Penggunaan teknik yang menargetkan protein S dan protein lain yang terkait (misalnya, protein N, S1, S2, dan RBD) juga dapat dipertimbangkan sebab protein semacam ini juga menjadi target dalam pengembangan vaksin MERS dan SARS.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Sejak penyebaran informasi tentang urutan genetik SARS-CoV-2 pada pertengahan Januari 2020, berbagai institusi akademik dan perusahaan farmasi di seluruh dunia telah terlibat dalam pengembangan vaksin penyakit COVID-19 dan beberapa kandidat vaksin telah mencapai tahap evaluasi efikasi pada uji pada hewan coba serta uji klinis. Dalam artikel ini akan dibahas tentang gambaran umum pengembangan vaksin COVID-19, penelitian in vivo terkait vaksin COVID-19, dan potensi penggunaan vaksin lain sebagai vaksin COVID-19.

Gambaran Umum Pengembangan Vaksin COVID-19

Jenis-jenis vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan saat ini:

Vaksin Asam Nukleat (Vaksin DNA)

Teknologi pengembangan vaksin menggunakan asam nukleat (vaksin DNA) untuk SARS-CoV-2 telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan di seluruh dunia. IVI (Innovation and Value Initiative), Inovio, dan KNIH (The Korea National Institute of Health) bekerja sama dengan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations) untuk menguji keamanan dan imunogenisitas vaksin DNA INO-4800 dalam sebuah uji klinis di Korea Selatan (nomor uji klinis: NCT04336410). Sementara itu, CureVac dan Moderna/NIH mengembangkan vaksin menggunakan mRNA dan kandidat vaksin mRNA-1273 dari Moderna sedang dalam tahap perekrutan partisipan sejak Maret 2020 (nomor uji klinis: NCT04283461).

shutterstock_1657259530

Vaksin Subunit

Vaksin subunit dengan menggunakan protein rekombinan SARS-CoV dan MERS-CoV menunjukkan hasil yang efektif dalam beberapa penelitian[1,2]. Clover Biopharmaceutical sedang mengembangkan vaksin yang terdiri dari protein S trimmer SARS-CoV-2. Domain pengikat reseptor (receptor binding domain/RBD) pada protein S dalam SARS-CoV-2 telah diketahui dan menunjukkan afinitas ikatan yang lebih tinggi terhadap reseptor ACE-2 (angiotensin converting enzyme-2) dibandingkan ikatan antara RBD SARS-CoV terhadap reseptor ACE2.[2] Temuan ini mengisyaratkan bahwa vaksin SARS-CoV-2 berbasis RBD memiliki potensi dalam mencegah infeksi SARS-CoV-2. Vaksin berbasis RBD kini sedang dalam tahap pengembangan melalui sebuah kolaborasi internasional.

Vaksin Inaktif atau Virus Hidup yang Dilemahkan

Vaksin inaktif utuh maupun vaksin virus hidup yang dilemahkan merupakan salah satu strategi pengembangan vaksin klasik yang dapat dipertimbangkan pada pengembangan vaksin COVID-19. Peneliti dari Universitas Hong Kong telah mengembangkan vaksin virus influenza hidup yang mampu memproduksi protein SARS-CoV-2. Teknologi deoptimasi kodon yang dimiliki Codagenix membantu dalam melemahkan virus dan meningkatkan kemungkinan pengembangan vaksin COVID-19.

Kelebihan dari vaksin virus utuh adalah properti imunogenisitas dan kemampuan vaksin ini dalam memicu toll-like receptors (misalnya, TLR 3, 7, 8, atau 9). Namun, vaksin yang berasal dari virus hidup memerlukan pengujian yang lebih banyak sebelum dapat dinyatakan aman untuk digunakan pada suatu populasi. Faktor ini menjadi sangat penting mengingat adanya temuan peningkatan infektivitas pasca imunisasi dengan menggunakan virus SARS utuh yang mati maupun hidup.[3]

Vaksin Berbasis Vektor Virus

Vaksin berbasis vektor virus dikembangkan menggunakan vektor yang telah terbukti profil keamanannya sehingga mampu menghasilkan dan melepaskan antigen imunogenik dari sel yang terinfeksi selama periode tertentu. Vektor merupakan virus yang berasal dari famili berbeda (contoh: poxvirus, adenovirus, measles, dan togavirus) dan telah diteliti dalam pengembangan vaksin coronavirus. Pada MERS-CoV, kandidat yang cukup menjanjikan berasal dari virus vaksinia Ankara modifikasi (MVA) yang tidak akan bereplikasi di dalam sel mamalia.[4,5] Dengan menggunakan vektor ini, fragmen protein S dengan panjang rantai protein yang berbeda-beda berhasil diekspresikan. Terlepas dari jenis fragmen protein S yang dihasilkan, antibodi penetral dan respons sel T terhadap MERS-CoV berhasil dipicu.[6]

Terkait vaksin SARS-CoV-2,  grup Chen Wei telah memulai uji klinis pada manusia (NCT04313127) dengan menggunakan vaksin berbasis vektor adenovirus sejak pertengahan Maret 2020. Selain itu, peneliti lain di Wuhan juga sedang melakukan uji keamanan vaksin menggunakan kandidat vaksin berbasis vektor adenovirus rekombinan Ad5-nCoV. Selain adenovirus, lentivirus juga menjadi kandidat vektor vaksin (COVID-19/aAPC dan LV-SMENP-DC) yang sedang diteliti oleh sebuah institusi di Shenzhen. COVID-19/aAPC dikembangkan dengan cara modifikasi lentivirus, gen mini SARS-CoV-2 dan gen modulator imun ke dalam APC (antigen presenting cell) buatan. Di sisi lain, LV-SMENP-DC dikembangkan dengan teknik modifikasi sel dendritik menggunakan vektor lentivirus yang menghasilkan minigen SARS-CoV-2 SMENP dan sejumlah gen imunomodulatorik. Kedua vaksin ini sedang dalam tahap uji klinis fase 1 sejak pertengahan Februari 2020 dan diharapkan selesai pada akhir Desember 2024.[7,8]

Penelitian In Vivo Vaksin COVID-19

Penelitian in vivo vaksin COVID-19 dengan menggunakan hewan coba model yang tepat bagi SARS-CoV-2 merupakan salah satu kunci dalam menilai efektivitas dan keamanan kandidat vaksin COVID-19. Sejumlah hewan sedang diteliti terkait kemungkinan untuk menjadi hewan coba model bagi patogenesis SARS-CoV-2, seperti hamster, musang, tikus transgenik-ACE2, dan primata non manusia. WHO (World Health Organization) mengungkapkan bahwa sejumlah laboratorium telah menunjukkan bahwa primata Rhesus dan musang[9] memiliki kerentanan terhadap infeksi SARS-CoV-2 dan terdapat bukti replikasi virus serta peluruhan virus pada pemeriksaan usap hidung.[10]

Penelitian tentang vaksin COVID-19 pada hewan coba masih menunjukkan hasil yang terbatas. Penelitian pada Rhesus mengungkap bahwa primata ini menunjukkan respons proteksi terhadap reinfeksi SARS-CoV-2.[11] Sementara itu, pada penelitian sebelumnya terkait SARS-CoV-1 dan MERS-CoV, model hewan coba menunjukkan bahwa vaksin terhadap kedua virus ini dapat melindungi primata non manusia.[12] Namun, pada kasus tertentu yang melibatkan vaksin dari virus hidup, sejumlah komplikasi pasca vaksinasi seperti kerusakan jaringan serta infiltrasi eosinofil di paru-paru tampak terjadi pada model tikus sedangkan kerusakan sel hati dialami pada model musang.

Pemberian vaksin inaktif SARS-CoV-1 pada primata non manusia juga dapat menimbulkan perburukan manifestasi penyakit.[13] Walaupun terdapat variasi respons terhadap pemberian vaksin coronavirus pada berbagai model hewan coba, vaksinasi berkaitan dengan kesintasan yang lebih baik, penurunan titer virus, dan morbiditas dibandingkan hewan yang tidak mendapatkan vaksin.

Penelitian Fase III Vaksin COVID-19 di Indonesia

Saat ini, sedang berlangsung penelitian fase III vaksin COVID-19 di Indonesia. Fase ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan melibatkan fakultas kedokteran Universitas Padjajaran bersama dengan Sinovac biotech yang berasalah dari Cina. [14] Hasil penelitian secara perklinik menunjukan bahwa vaksin PiCoVacc menunjukan perlindungan terhadap SARS-CoV-2 oleh monyet macaque. Penelitian ini menunjukan dosis terkecil vaksin terbukti memberikan kontrol pada infeksi COVID-19 dan sampel yang mendapatkan dosis tertinggi tidak lagi ditemukan viral load pada faring atau paru-paru 7 hari setelah infeksi.  [15]

Tabel 1. Nama, Jenis, dan Karakteristik Vaksin Coronavirus yang Sedang dalam Tahap Uji Coba Klinis

Nama Kandidat Vaksin Jenis Vaksin Pengembang Status Uji Coba
mRNA-1273 Vaksin mRNA yang mengkode protein S berkapsul nanopartikel lipid Moderna Phase I (NCT04283461)
Ad5-nCoV Vaksin vektor adenovirus tipe 5 yang mengekspresikan protein S CanSino Biologicals Phase I (NCT04313127)
INO-4800 Plasmid DNA yang mengkode protein S melalui elektroporasi Inovio Pharmaceuticals Phase I (NCT04336410)
LV-SMENP-DC Sel dendritik yang dimodifikasi menggunakan vektor lentivirus yang mengekspresikan minigen sintetik berdasarkan domain pada protein virus tertentu; mengandung limfosit T sitotoksik dengan antigen spesifik Shenzhen Geno-Immune Medical Institute Phase I (NCT04276896)
Pathogen-specific aAPC aAPCs modified with lentiviral vector expressing synthetic minigene based on domains of selected viral proteins Shenzhen Geno-Immune Medical Institute Phase I (NCT04299724)

Sumber: dr. Sunita, 2020.[8,14]

Penggunaan Vaksin Lain sebagai Vaksin COVID-19

Penggunaan vaksin lain yang telah masuk dalam program vaksinasi rutin sebagai vaksinasi untuk mencegah COVID-19 masih belum dapat dipastikan manfaat dan risikonya. Pemikiran tentang penggunaan vaksin lain dalam menekan risiko COVID-19 sebagian didasarkan pada tinjauan epidemiologi tentang perbedaan dampak COVID-19 terhadap populasi yang berbeda di beberapa negara. Miller et al menduga bahwa perbedaan morbiditas dan mortalitas COVID-19 antar negara mungkin berkaitan dengan kebijakan pemberian vaksin BCG nasional.[16]

Dengan membandingkan kebijakan vaksinasi BCG nasional terhadap mortalitas dan morbiditas COVID-19 di berbagai negara, Miller et al menemukan bahwa terdapat pengaruh kebijakan pemberian vaksin BCG terhadap dampak COVID-19. Pada penelitian tersebut, Miller et al menemukan bahwa negara yang tidak memiliki kebijakan vaksinasi BCG universal (contoh: Itali, Belanda, Amerika Serikat) mengalami dampak epidemiologi COVID-19 yang lebih berat dibandingkan negara dengan kebijakan vaksinasi BCG universal yang telah berlangsung lama. Vaksinasi BCG juga tampaknya mengurangi angka pelaporan kasus COVID-19 pada suatu negara[16]. Namun, studi Miller et al memiliki sejumlah keterbatasan seperti desain non-acak tanpa kelompok kontrol sehingga hubungan sebab-akibat antara pemberian vaksin BCG dan perbedaan mortalitas serta morbiditas COVID-19 sulit ditentukan.

Sejumlah penelitian sedang berlangsung untuk menentukan efek vaksinasi BCG terhadap luaran COVID-19, khususnya pada populasi risiko tinggi. Uji klinis di Australia, Belanda, dan Amerika Serikat dirancang untuk menguji apakah vaksinasi BCG terhadap petugas kesehatan mampu melindungi mereka dari COVID-19. Selain itu, penelitian lain juga sedang berlangsung terkait efek vaksinasi BCG dalam mencegah infeksi COVID-19 berat pada lansia. Sebuah studi di Jerman juga sedang berjalan untuk menguji apakah VPM1002 (vaksin rekombinan turunan BCG) dapat mencegah COVID-19 pada petugas kesehatan maupun pasien lansia.[17]

Kesimpulan

Pengembangan vaksin COVID-19 dilakukan untuk mengatasi wabah SARS-CoV-2 sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat COVID-19. Sejumlah kandidat vaksin telah ditemukan dan penelitian untuk pengembangan vaksin sedang dilakukan dengan menggunakan vaksin berbasis asam nukleat, protein subunit, virus hidup yang dilemahkan, virus inaktif, dan vektor virus lainnya.

Penelitian lampau mengisyaratkan bahwa model hewan coba menunjukkan respons yang bervariasi terhadap pemberian vaksin SARS-CoV-1 maupun MERS-CoV sehingga penggunaan model hewan multipel dalam pengembangan vaksin SARS-CoV-2 sangat penting sebelum vaksin COVID-19 dinyatakan aman untuk populasi manusia. Di sisi lain, bukti epidemiologi mengisyaratkan bahwa kebijakan vaksinasi BCG universal mungkin berkaitan dengan variasi dampak COVID-19 antar negara. Namun, bukti ini perlu didukung dengan hasil uji klinis acak terkontrol agar hubungan sebab akibat antara penerapan vaksinasi BCG pada populasi berisiko terhadap perbedaan mortalitas dan morbiditas COVID-19 dapat ditentukan.

Saat ini, beberapa uji klinis sedang berjalan untuk menguji efektivitas dan keamanan kandidat vaksin seperti mRNA-1273 (NCT04283461), INO-4800 (NCT04336410), Ad5-nCOV (NCT04313127). Berbeda dengan tahap pengembangan vaksin tradisional seperti pada vaksin dengue, RSV (respiratory syncytial virus), dan influenza, tahap pengembangan vaksin coronavirus pada era pandemi melalui uji klinis berjalan beriringan atau bahkan mendahului penelitian mengenai sifat biologis virus dan respons imun pejamu terhadap infeksi coronavirus. Di satu sisi, kurangnya informasi dari uji coba mengenai sifat biologis dan respons imun terhadap SARS-CoV-2 menimbulkan banyak pertanyaan terkait cara dan kemampuan setiap kandidat vaksin dalam memberikan proteksi terhadap infeksi SARS-CoV-2. Hal ini dapat berdampak pada penelitian lanjutan yang mungkin akan berkembang untuk menjawab vaksin jenis mana yang kelak dianggap paling efektif untuk pencegahan infeksi SARS-CoV-2.

Berbagai uji klinis kandidat vaksin yang sedang berjalan tersebut dirancang dengan mempertimbangkan berbagai hasil penelitian coronavirus patogenik jenis lain di masa lampau. Melalui strategi ini, aspek efektivitas, durasi proteksi, dan keamanan kandidat vaksin coronavirus diharapkan dapat dipantau dengan baik dan pertanyaan tentang mekanisme kerja kandidat vaksin dalam memicu imunitas terhadap infeksi SARS-CoV-2 maupun coronavirus patogen lainnya di masa mendatang dapat terjawab. Vaksinasi di masa depan diharapkan dapat membantu mencapai herd immunity.

Referensi