Monoterapi Ticagrelor untuk Pasien Berisiko Tinggi Perdarahan yang Menjalani Percutaneous Coronary Intervention – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Ticagrelor Monotherapy in Patients at High Bleeding Risk Undergoing Percutaneous Coronary Intervention: TWILIGHT-HBR

Escaned J, Cao D, Baber U, et al. Ticagrelor monotherapy in patients at high bleeding risk undergoing percutaneous coronary intervention: TWILIGHT-HBR. European Heart Journal. 2021 Dec 1;42(45):4624-4634. doi: 10.1093/eurheartj/ehab702.

Abstrak

Tujuan: pasien berisiko tinggi perdarahan (high bleeding risk atau HBR) merupakan salah satu subgrup pasien yang sering menjalani kateterisasi jantung atau percutaneous coronary intervention (PCI). Penghentian aspirin dini setelah durasi singkat pemberian terapi dual antiplatelet (DAPT) telah menjadi salah satu strategi untuk menghindari perdarahan. Tujuan studi ini adalah untuk memeriksa dampak monoterapi ticagrelor setelah pemberian DAPT selama 3 bulan pada populasi HBR kontemporer.

Metode dan Hasil: analisis uji TWILIGHT ini mengevaluasi efek penghentian dini aspirin yang diikuti oleh monoterapi ticagrelor pada pasien HBR yang menjalani PCI dengan drug-eluting stent. Setelah 3 bulan DAPT (ticagrelor beserta aspirin), pasien yang event-free diacak untuk tetap mendapat ticagrelor beserta aspirin atau mendapat ticagrelor beserta plasebo, semuanya selama 12 bulan.

Total 1.064 partisipan (17,2%) memenuhi definisi HBR menurut Academic Research Consortium (ARC). Monoterapi ticagrelor dilaporkan lebih unggul untuk mengurangi insidensi luaran primer perdarahan BARC (Bleeding Academic Research Consortium) tipe 2, 3, atau 5 jika dibandingkan dengan ticagrelor beserta aspirin, baik pada pasien HBR (6,3% vs 11,4%; HR 0,53; 95%CI 0,35–0,82) maupun pada pasien non-HBR (3,5% vs 5,9%; HR 0,59; 95%CI 0,46–0,77).

Hasil tersebut tampak dengan similar relative (Pinteraction=0,67) tetapi dengan tren reduksi risiko absolut yang lebih baik pada grup monoterapi ticagrelor daripada grup ticagrelor beserta aspirin (-5,1% vs -2,3%; perbedaan ARD atau absolute risk differences -2,8%; 95%CI -6,45 hingga 0,8%; p=0,130).

Pola serupa ditemukan pula pada perdarahan berat BARC 3 atau 5 dengan reduksi risiko absolut yang lebih besar pada populasi pasien HBR (-3,5% vs -0,5%; perbedaan ARD -3,0%; 95%CI -5,2% hingga -0,8%; p=0,008). Tidak ditemukan perbedaan statistik yang signifikan pada luaran sekunder, yang meliputi kematian, infark miokard, ataupun stroke di antara kedua grup intervensi, terlepas dari status HBR.

Kesimpulan: pada populasi pasien HBR yang menjalani PCI dan melengkapi DAPT selama 3 bulan tanpa mengalami kejadian merugikan yang mayor, penghentian aspirin yang diikuti oleh monoterapi ticagrelor mampu mengurangi perdarahan secara signifikan tanpa meningkatkan kejadian iskemia, jika dibandingkan dengan dual therapy ticagrelor beserta aspirin. Reduksi risiko absolut perdarahan mayor lebih besar pada populasi pasien HBR daripada pasien non-HBR.

Monoterapi Ticagrelor untuk Pasien Berisiko Tinggi Perdarahan yang Menjalani Percutaneous Coronary Intervention-min

Ulasan Alomedika

Selama lebih dari 2 dekade, kombinasi aspirin dan golongan obat inhibitor P2Y12 (clopidogrel, ticagrelor, atau prasugrel) telah digunakan sebagai strategi antitrombotik pada pasien yang menjalani PCI. Namun, DAPT bisa meningkatkan risiko perdarahan, terutama pada pasien yang berisiko tinggi perdarahan (high bleeding risk atau HBR).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek penghentian dini aspirin yang diikuti dengan monoterapi ticagrelor untuk pasien-pasien HBR yang menjalani PCI.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian TWILIGHT ini merupakan uji klinis acak terkontrol-plasebo yang dilakukan pada 187 tempat yang tersebar di 11 negara. Penelitian ini hanya merekrut partisipan yang telah sukses menjalani PCI dengan drug-eluting stent yang memenuhi salah satu kriteria klinis maupun kriteria angiografi yang berhubungan dengan risiko tinggi iskemia atau perdarahan.

Kriteria klinis mencakup pasien dengan usia ≥65 tahun, jenis kelamin perempuan, troponin positif, riwayat atherosclerotic vascular disease (infark miokard, revaskularisasi koroner, atau penyakit arteri perifer), diabetes mellitus, dan penyakit ginjal kronis.

Sementara itu, kriteria angiografi meliputi penyakit arteri koroner multivessel, panjang total stent >30 mm, thrombotic target lesion, lesi bifurkasi yang membutuhkan dua stent, lesi obstruksi pada pembuluh darah koroner utama kiri atau proximal left anterior descending, atau calcified target lesion yang membutuhkan debulking device.

Kriteria eksklusi adalah presentasi akut infark miokard ST-elevasi, syok kardiogenik, riwayat stroke sebelumnya atau riwayat menggunakan antikoagulasi oral.

Semua partisipan yang memenuhi kriteria inklusi mendapatkan DAPT yang terdiri atas open-label ticagrelor (90 mg dua kali/hari) dan enteric-coated aspirin (80–100 mg/hari) setelah PCI. Tiga bulan kemudian, hanya pasien yang patuh terhadap DAPT dan tidak mengalami kejadian iskemia atau perdarahan mayor yang menjalani pengacakan 1:1 buta-ganda ke dua grup intervensi, yakni grup aspirin beserta ticagrelor atau grup ticagrelor beserta plasebo selama 12 bulan.

Pasien dikategorikan sebagai HBR jika memenuhi salah satu kriteria mayor dan dua kriteria minor menurut definisi konsensus ARC-HBR. Kriteria mayor meliputi penyakit ginjal kronis tahap akhir (eGFR <30 mL/menit/1,73 m2 atau sudah dialisis), hemoglobin <11 g/dL, trombositopenia (trombosit <100x109/L), perdarahan mayor sebelumnya, dan penyakit liver.

Sementara itu, kriteria minor meliputi umur ≥75 tahun, penyakit ginjal kronis moderat (eGFR ≥30 sampai <60 mL/menit/1,73 m2), hemoglobin ≥11 dan <13 g/dL untuk pria dan <12 g/dL untuk wanita, dan pengguna obat antiinflamasi nonsteroid.

Dari total 9.006 pasien PCI yang direkrut, hanya 6.178 pasien memenuhi kriteria inklusi. Lalu, 1.604 pasien (17,2%) dari jumlah tersebut masuk ke golongan HBR.

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran primer studi ini adalah perdarahan BARC tipe 2, 3, atau 5 yang terjadi hingga 1 tahun setelah pengacakan. BARC tipe 2 membutuhkan terapi medikamentosa tetapi tidak memerlukan pembedahan. BARC tipe 3a menunjukkan penurunan hemoglobin sebesar 3–5 g/dL (perlu transfusi), sedangkan tipe 3b menunjukkan penurunan hemoglobin sebesar 5 g/dL (perlu pembedahan dan/atau vasopressor). Sementara itu, tipe 5 merupakan perdarahan fatal yang probable atau definitif.

Luaran sekunder mencakup komposit semua penyebab kematian, infark miokard (MI), atau stroke. Insiden kumulatif dari luaran primer maupun sekunder diestimasi dengan metode Kaplan-Meier.

Hazard ratio (HR) dan 95%CI dihitung dengan menggunakan model Cox proportional hazard. Absolute risk differences (ARDs) dan 95%CI untuk kejadian iskemia dan perdarahan dihitung dengan estimasi Kaplan-Meier dan Greenwood standard error. Interaction P-values dikalkulasi dengan tes Z untuk memeriksa apakah perbedaaan ARDs di antara populasi pasien HBR dan non-HBR signifikan.

Analisis luaran perdarahan diperiksa dengan kohort intention-to treat, sedangkan analisis luaran iskemia diperiksa dengan kohort per protocol. Studi ini turut melakukan analisis sensitivitas pada luaran perdarahan. Semua analisis dilakukan dengan perangkat lunak Stata versi 16.0.

Untuk luaran primer kejadian perdarahan, hasil analisis menemukan bahwa perdarahan BARC tipe 2, 3, atau 5 terjadi pada 93 (8,9%) pasien di populasi HBR dan 237 pasien (4,7%) di populasi non-HBR (HR 1,95; 95% CI 1,54–2,48; P< 0,001). Ada reduksi signifikan insiden perdarahan BARC 2, 3, atau 5 pada pasien HBR yang mendapatkan monoterapi ticagrelor jika dibandingkan dengan ticagrelor beserta aspirin.

Efek terapi terhadap perdarahan BARC 2, 3, atau 5 tetap konsisten pula pada populasi pasien non-HBR (3,5% vs 5,9%) tanpa adanya bukti heterogenitas.

Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan pada luaran sekunder yang meliputi kematian oleh semua sebab, infark miokard, ataupun stroke di antara kedua grup intervensi pada populasi pasien HBR. Hasil juga konsisten pada populasi non-HBR.

Kelebihan Penelitian

Metode penelitian ini telah melakukan analisis sensitivitas (baik analisis dengan kohort per-protocol maupun kohort intention-to-treat). Selain itu, penelitian ini menganalisis perbandingan luaran untuk populasi pasien HBR maupun non-HBR, dengan hasil yang konsisten antara kedua populasi tersebut. Analisis eksplorasi pada stratifikasi pasien menurut kriteria ARC-HBR untuk menguji konsistensi luaran juga telah dilakukan.

Limitasi Penelitian

Limitasi penelitian ini terletak pada beberapa hal. Pertama, penetapan golongan HBR dilakukan menurut definisi ARC-HBR yang memiliki dichotomous nature, sehingga bisa membatasi kemampuan stratifikasi semua spektrum pasien HBR dengan akurat.

Kedua, studi ini masih underpowered untuk mendeteksi perbedaan klinis pada kejadian iskemia. Selain itu, hasil analisis studi ini memiliki rentang CI (confidence interval) yang “lebar”, sehingga belum mampu menyingkirkan potensi harm dari strategi intervensi yang diuji pada pasien HBR.

Hasil studi ini lebih cocok dipandang sebagai bahan untuk membuat hipotesis dan mempertimbangkan perlunya konfirmasi prospektif pada studi lanjutan yang memakai kriteria ARC-HBR.

Ketiga, hasil studi ini belum dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien yang termasuk dalam kriteria eksklusinya, terutama pada pasien sindrom koroner akut dengan ST-elevasi. Dua pertiga pasien partisipan dalam studi TWILIGHT ini didominasi oleh pasien sindrom koroner akut non-ST elevasi. Selain itu, hasil studi ini belum tentu dapat diterapkan untuk obat inhibitor P2Y12 lain selain ticagrelor.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil studi ini mungkin dapat diterapkan pada kelompok pasien yang memiliki kondisi sama dengan kriteria inklusi dalam studi ini. Namun, obat golongan inhibitor P2Y12  yang sering tersedia secara luas di berbagai wilayah Indonesia adalah clopidogrel. Oleh karena itu, hasil penelitian ini mungkin tidak bisa diterapkan di mana ticagrelor tidak tersedia.

Referensi