Ketamine Dosis Rendah untuk Nyeri Akut di Instalasi Gawat Darurat

Oleh :
dr. Sunita

Ketamin sebagai alternatif opioid telah banyak dipelajari manfaatnya untuk penanganan nyeri akut di instalasi gawat darurat (IGD). Nyeri akut masih menjadi keluhan utama yang menyebabkan pasien berkunjung ke IGD. Nyeri akut dapat ditemukan sebagai gejala penyerta pada 60‒80% pasien di IGD, tetapi hanya 40‒60% pasien IGD dengan nyeri yang menerima terapi analgesik.[1,2]

Pada artikel ini, akan dibahas tentang bukti ilmiah potensi penggunaan ketamin sebagai alternatif opioid untuk mengatasi nyeri akut pada pasien di IGD, serta manfaat dan risiko penggunaan ketamin sebagai analgesik di IGD.

IV injection

Pemberian Analgesik pada Kasus Nyeri Akut

Pada beberapa kasus nyeri akut, pemberian analgesik dapat mengalami penundaan hingga 90 menit sejak pasien datang ke IGD. Padahal, manajemen nyeri yang adekuat, cepat, dan efektif merupakan kunci keberhasilan pelayanan pasien yang baik. Untuk mencapai hal tersebut, penggunaan senyawa opioid dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri akut di IGD.[2]

Namun, penggunaan opioid perlu kewaspadaan efek samping akut, seperti mual dan depresi pernapasan, serta penyalahgunaan opioid oleh pasien, termasuk risiko penggunaan opioid jangka panjang pasca kepulangan dari rumah sakit. Salah satu langkah mitigasi risiko tersebut, dengan tetap mempertahankan penatalaksanaan nyeri secara adekuat, adalah pemberian analgesik golongan lain yang sebanding efisiensinya dengan senyawa opioid.[3]

Peran Ketamin untuk Penanganan Nyeri Akut

Peran ketamin untuk penanganan nyeri akut di IGD telah dipelajari dalam beberapa uji klinis dan tinjauan sistematis. Berbagai penelitian telah membandingkan efikasi, onset kerja, dan efek samping penggunaan injeksi ketamin dengan morfin, pada kasus nyeri akut.

Perbandingan Efikasi Ketamin vs Morfin

Uji klinis acak oleh Motov et al (2015) membandingkan efikasi dan keamanan analgesik ketamin dosis subdisosiatif dengan penggunaan morfin, pada pasien yang datang ke IGD.[3]

Sebanyak 90 pasien yang datang dengan keluhan nyeri akut pada perut, pinggang, atau otot dengan skala nyeri numerik >5 diacak untuk mendapat ketamin intravena 0,3 mg/kgBB atau morfin 0,1 mg/kgBB secara intravena. Kemudian, skala nyeri numerik dievaluasi ulang pada menit ke-15, 30, 60, 90, dan 120 pasca injeksi. Pemberian analgesik tambahan pada menit ke-30 dan 60 juga dicatat sebagai luaran sekunder.[3]

Hasil uji klinis tersebut menemukan perubahan skor nyeri pasca pemberian analgesik antara kelompok ketamin dan morfin tidak berbeda bermakna. Selain itu, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi pasien yang memerlukan analgesik tambahan pada menit ke-30 dan 60 pada kedua kelompok. Uji klinis ini menunjukkan potensi penggunaan ketamin untuk penanganan nyeri akut di IGD, tetapi jumlah subjek tidak banyak sehingga hasil uji ini masih lemah.[3]

Perbandingan Onset Kerja Ketamin vs Morfin

Uji klinis acak lain oleh Miller et al (2015), yang merekrut 45 pasien, juga  menunjukkan bahwa manfaat ketamin intravena 0,3 mg/kgBB tidak berbeda dibandingkan morfin intravena 0,1 mg/kgBB, dalam hal perubahan maksimal skala nyeri numerik. Namun, ketamin memerlukan waktu pencapaian perubahan maksimal skala nyeri yang lebih singkat daripada morfin (5 vs 100 menit).[4]

Uji tersebut mengungkap kuantitas perubahan maksimal skala nyeri numerik dan waktu tercepat yang dibutuhkan untuk mencapainya. Onset perubahan derajat nyeri yang dipicu ketamin lebih singkat, tetapi hanya bertahan selama 5‒10 menit. Sementara itu, onset pemberian morfin umumnya dalam waktu 100 menit.[4]

Hal ini mengisyaratkan bahwa ketamin unggul dalam onset kerja untuk meredakan nyeri akut, tetapi  memiliki kelemahan dalam mempertahankan efek analgesik selama rentang waktu normal yang diperlukan untuk observasi nyeri akut di IGD. Hal tersebut berpotensi menyebabkan pasien yang mendapat ketamin memerlukan pemberian dosis ketamin tambahan atau pemberian analgesik golongan lain untuk mempertahankan efek analgesik yang diharapkan.[4]

Meta Analisis Perbedaan Ketamin vs Morfin

Meta analisis oleh Balzer et al (2021) membandingkan efektivitas dan profil keamanan ketamin dosis rendah terhadap morfin untuk pengobatan nyeri akut di IGD.  Analisis terhadap 8 uji klinis acak (1.191 subjek) mengungkapkan bahwa ketamin dosis rendah dapat menjadi alternatif selain opioid, yang efektif dalam mengatasi nyeri akut di IGD.[7]

Secara khusus, tidak ada perbedaan signifikan skor nyeri rerata yang dilaporkan pada 60 menit pertama setelah pemberian analgesik, dan hanya sedikit perbedaan yang menunjukkan morfin lebih unggul daripada ketamin setelah pemberian 60‒120 menit. Perbedaan skor nyeri setelah 60 menit cukup kecil dan tidak menggambarkan perbedaan yang signifikan secara klinis.[7]

Selain itu, tidak ditemukan perbedaan proporsi pasien yang signifikan terkait kebutuhan analgesik tambahan. Dengan demikian, hasil analisis turut mendukung penggunaan ketamin dosis rendah sebagai alternatif yang efektif untuk opioid dalam mengendalikan nyeri akut di IGD, terutama pada 1 jam pertama.[7]

Risiko Pemberian Ketamin untuk Penanganan Nyeri Akut

Kendati telah lama digunakan, bukti klinis terkait prevalensi efek samping ketamin dalam penanganan nyeri akut masih terbatas. Ketamin sebagai analgesik nyeri akut jauh lebih rendah daripada penggunaan dalam anestetik.

Penelitian oleh Motov et al mengungkapkan bahwa ketamin dosis rendah memiliki risiko efek samping yang unik, seperti pusing, gangguan realitas, rasa tidak nyaman, dan mual. Penelitian ini juga tidak menemukan efek samping serius atau mengancam jiwa pasca pemberian ketamin dosis rendah, di mana tidak ditemukan distres pernapasan, kejang, dan henti jantung.[3,6]

Emergence Reaction

Emergence reaction atau emergence phenomenon (EP) ditandai dengan euphoria, mimpi yang terasa nyata, ilusi, delirium, dan halusinasi. Fenomena ini dapat terjadi pada 5‒30% pasien pasca pemberian ketamin, pada dosis anestesi yang jauh lebih tinggi dari dosis yang dibutuhkan untuk analgesik.[7-9]

Meta analisis oleh Balzer et al hanya menemukan dua studi yang melaporkan efek samping ketamin. Salah satu studi melaporkan 9,5% pasien yang mendapatkan ketamin dosis rendah mengalami EP, sedangkan studi lainnya tidak menemukan reaksi tersebut.[7]

EP ketamin berpotensi meningkatkan risiko cedera pada pasien, pemanjangan masa rawat, dan penurunan tingkat kepuasan terhadap layanan. Namun, sejumlah terapi, seperti midazolam dan propofol, telah dipelajari untuk mengatasi EP. Namun, hingga kini belum terdapat terapi definitif atau sistem prediksi untuk membantu identifikasi pasien yang berisiko mengalami EP.[8,9]

Efek Simpatomimetik

Risiko pemberian ketamin pada pasien dapat dikaitkan dengan farmakologis obat. Ketamin memberikan efek simpatomimetik tidak langsung yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan curah jantung, sehingga obat ini berpotensi memberikan manfaat pada kondisi hemodinamik tidak stabil. Namun, dalam situasi gawat darurat, ketamin sebaiknya tidak diberikan ke pasien dengan takikardi dan hipertensi berat.[10]

Muntah

Muntah yang dipicu ketamin sering terjadi pasca penghentian suntikan ketamin, dan pada pasien remaja. Namun, belum diketahui apakah ada kaitan antara peningkatan dosis ketamin dengan kejadian muntah.[10]

Kesimpulan

Penggunaan ketamin dosis rendah (0,3 mg/kgBB) intravena memiliki potensi dalam meredakan nyeri akut derajat sedang-berat (skala nyeri numerik >5). Bukti dari uji klinis acak maupun meta analisis menunjukkan bahwa ketamin dosis rendah tidak lebih inferior dibandingkan golongan opioid, dalam mengurangi nyeri akut pada pasien di IGD.

Ketamin memiliki karakteristik onset analgesik yang lebih cepat daripada morfin, tetapi durasi kerja ketamin lebih singkat daripada morfin. Dengan demikian, mungkin dibutuhkan pemberian dosis ulang, atau kombinasi dengan obat analgesik lainnya. Penggunaan ketamin intravena dengan dosis >0,3 mg/kgBB memiliki risiko peningkatan efek simpatomimetik dan kejadian muntah pasca penghentian suntikan ketamin.

Namun, tidak seperti morfin, keunggulan ketamin adalah tidak menyebabkan depresi pernapasan. Risiko emergence phenomenon termasuk halusinasi, yang kadang-kadang terjadi dengan dosis anestesi ketamin, jauh lebih jarang pada penggunaan ketamin dosis subdisosiatif untuk analgesik.

Ketamin pada dosis subdisosiatif untuk analgesik telah masuk dalam beberapa pedoman di Amerika Serikat maupun Inggris untuk digunakan di IGD. Walaupun tidak diadopsi secara luas di Indonesia, ketamin dapat digunakan secara intravena atau intramuskular, bahkan intranasal untuk analgesik pasien anak atau pasien dewasa dalam kondisi keadaan darurat sebelum tiba di rumah sakit. Ketamin juga dapat diberikan secara bukal dan oral.

Referensi