Ketamine Intranasal untuk Manajemen Nyeri pada Anak – Telaah Jurnal

Oleh :
Sunita

Effect of Intranasal Ketamine vs Fentanyl on Pain Reduction for Extremity Injuries in Children – The PRIME Randomized Clinical Trial

Frey TM, Florin TA, Caruso M, Zhang N, Zhang Y, Mittiga MR. Effect of Intranasal Ketamine vs Fentanyl on Pain Reduction for Extremity Injuries in Children: The PRIME Randomized Clinical Trial. Journal of the American Medical Association Pediatrics. 2019;173(2):140–146. PMID: 30592476. doi:10.1001/jamapediatrics.2018.4582

Abstrak

Latar Belakang: Pemberian obat analgesik pada waktu yang tepat merupakan hal yang penting bagi anak yang datang ke Instalasi Gawat Darurat akibat cedera, namun usaha untuk mengendalikan nyeri sering kali kurang adekuat. Pemberian obat analgesik secara intranasal dapat memberikan respons analgesik dengan efek tidak nyaman yang minimal. Secara historis, opioid digunakan pada nyeri berat akibat trauma, namun memiliki efek samping yang mengkhawatirkan. Ketamine intranasal dapat menjadi alternatif yang efektif pada kondisi tersebut.

Tujuan: Mengevaluasi apakah ketamine intranasal sama baiknya dibandingkan dengan fentanyl intranasal dalam mengurangi rasa nyeri pada anak yang mengalami cedera ekstremitas akut.

Desain: Uji klinis acak, noninferior, buta-ganda, kelompok kontrol aktif pada pusat trauma pediatrik tersier tingkat 1. Partisipan dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia 8-17 tahun yang datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan nyeri sedang hingga berat akibat trauma ekstremitas pada Maret 2016 sampai dengan Februari 2017. Analisis dilakukan dengan intention to treat dan dimulai pada bulan Mei 2017.

Intervensi: Ketamine intranasal (1.5 mg/kg) atau fentanyl intranasal (2 μg/kg).

Parameter: Luaran primer yang dinilai adalah penurunan skor visual analog scale (VAS) 30 menit setelah intervensi. Ambang noninferioritas untuk luaran ini adalah 10.

Hasil: Dari 90 anak yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 45 (50%) anak dialokasikan ke dalam kelompok ketamine (mean [SD] umur, 12.2 [2.3] tahun; 31 laki-laki [74%]. Tiga puluh menit setelah diberikan obat, penurunan rerata skala analog visual (visual analog scale/VAS) adalah 30.6 mm (95% CI, 25.4-35.8) untuk ketamine dan 31.9 mm (95% CI, 26.6-37.2) untuk fentanyl.

Ketamine tidak lebih inferior dibandingkan dengan fentanyl dalam mengurangi nyeri berdasarkan uji satu sisi terhadap perbedaan di bawah ambang noninferioritas antar kelompok, sebab CI melewati 0 tetapi tidak melebihi ambang noninferioritas yang telah ditetapkan (perbedaan rerata penurunan nyeri antar kelompok, 1.3: 90% CI, -6.2 sampai 8.7). Risiko efek samping lebih tinggi pada kelompok ketamine (risiko relatif, 2.5; 95% CI, 1.5-4.0), namun hanya bersifat minor dan sementara. Penggunaan analgesik penyelamat (rescue analgesia) antara kedua kelompok sebanding (risiko relatif, 0.89; 95% CI, 0.5-1.6).

Kesimpulan: Ketamine memberikan efek analgesik yang noninferior dibandingkan dengan fentanyl, walaupun partisipan yang mendapat ketamine mengalami peningkatan efek samping yang minor dan sementara. Ketamine intranasal dapat menjadi alternatif yang baik terhadap fentanyl intranasal untuk mengatasi nyeri akibat cedera ekstremitas akut. Ketamine harus dipertimbangkan dalam manajemen nyeri pediatrik pada kondisi darurat, terutama jika opioid mengakibatkan peningkatan risiko.

Sumber: Psychonaught, Wikimedia commons. Sumber: Psychonaught, Wikimedia commons.

Ulasan Alomedika

Jurnal ini membandingkan respons pengurangan nyeri dengan pemberian dua obat analgesik intranasal pada anak yang datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan nyeri sedang hingga berat akibat cedera ekstremitas akut. Tujuan dari uji klinis ini adalah untuk menilai noninferioritas ketamine intranasal dibandingkan dengan fentanyl intranasal sebagai obat pereda nyeri pada anak dengan cedera ekstremitas akut. Ketamine diharapkan dapat menjadi alternatif analgesik dibandingkan opioid seperti fentanyl yang memiliki efek samping yang berat, misalnya hipotensi dan perubahan status mental.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memberikan kedua obat tersebut secara intranasal bersamaan dengan ibuprofen atau paracetamol dan menggabungkan skala nyeri, uji klinis ini mengevaluasi noninferioritas ketamine dibandingkan dengan fentanyl tanpa pemberian ibuprofen atau paracetamol dan menggunakan penilaian satu skala nyeri yang sudah divalidasi penggunaannya untuk anak-anak.

Ulasan Metode Penelitian

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi skor VAS awal yang tidak dimasukkan dalam bagian kriteria eksklusi penelitian.

Pertama, penggunaan analgesik jenis apapun semestinya menjadi aspek yang dinilai pada setiap partisipan sebab hal tersebut sangat mungkin mempengaruhi perubahan skor VAS pada saat partisipan tiba di RS.

Kedua, tindakan umum pertolongan pertama pada trauma yang mungkin telah dilakukan oleh penolong awam kepada partisipan (misalnya, kompres dingin pada area yang terkilir) juga dapat meringankan tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Hal tersebut tentu dapat mempengaruhi skor VAS awal sebelum pemberian salah satu obat intervensi.

Ulasan Hasil Penelitian

Pemantauan melalui panggilan telepon 30 hari setelah pemberian intervensi dapat menjadi pilihan yang praktis dalam mengevaluasi efek samping tambahan terkait masing-masing obat yang diuji (fentanyl vs ketamine). Namun, panggilan telepon lebih mungkin menyebabkan bias ingatan dibandingkan evaluasi melalui kunjungan ke klinik. Selain itu, proporsi partisipan yang tidak dapat dilakukan follow up melalui panggilan telepon tersebut dalam penelitian ini cukup besar (16%).

Hal tersebut dapat berpotensi terhadap adanya efek samping yang tidak terekam dan dapat mengaburkan persepsi klinisi terhadap tingkat keamanan fentanyl maupun ketamine dalam mengurangi nyeri akibat trauma ekstremitas.

Sementara itu, mayoritas diagnosis partisipan dalam penelitian ini adalah fraktur (>80% pada kedua grup intervensi). Sayangnya, hasil penelitian tersebut tidak mencantumkan persebaran tingkat nyeri pada subgrup diagnosis yang menjadi efek dari trauma ekstremitas. Bila analisis skor VAS dasar menurut subgrup diagnosis tersebut dilakukan oleh para peneliti, hal itu akan menjadi informasi berharga dalam menyingkap kelompok diagnosis mana yang paling signifikan perubahan nyerinya akibat pemberian analgesik ketamin maupun fentanyl.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak, buta-ganda yang bersifat prospektif yang merupakan desain studi yang sesuai untuk menilai efek intervensi pemberian obat. Penelitian ini dilakukan untuk menilai efek analgesik ketamine dan fentanyl yang diberikan secara intranasal tanpa memberikan obat analgesik umum lainnya, seperti ibuprofen atau paracetamol. Hal ini memungkinkan penilaian efek analgesik yang lebih objektif, dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengevaluasi efek pereda nyeri pada kedua obat tersebut, namun juga memberikan ibuprofen atau paracetamol yang juga memiliki efek analgesik.

Selain itu, uji klinis ini hanya menggunakan satu skala nyeri untuk menilai respons sebelum dan sesudah pemberian ketamine atau fentanyl intranasal. Skala nyeri yang digunakan pada penelitian ini telah divalidasi penggunaannya pada populasi anak-anak dan ambang batas yang digunakan adalah yang telah dilaporkan signifikan dalam literatur.

Limitasi Penelitian

Salah satu limitasi penelitian ini adalah perekrutan partisipan yang dilakukan di hanya satu pusat trauma. Hal ini membuat hasil penelitian lebih sulit untuk diaplikasikan secara lebih luas karena adanya potensi bias. Penelitian yang bersifat multisenter akan lebih memberikan gambaran hasil penelitian dan intervensi yang dilakukan dibandingkan dengan yang dilakukan di hanya satu tempat.

Di sisi lain, adanya batasan kapasitas volume atomizer yang digunakan untuk tujuan penyamaran intervensi dalam penelitian membatasi jumlah dosis total obat yang dapat dilarutkan dalam wadah penampungnya (fentanyl 100 μg atau ketamine 100 mg). Akibatnya, hanya partisipan dengan berat maksimal 50 kg dapat mendapat dosis optimal fentanyl dan partisipan dengan berat maksimal 60 kg yang dapat menerima dosis optimal ketamine. Peneliti mengungkap bahwa tidak terdapat perbedaan perubahan nyeri yang bermakna antar kelompok akibat keterbatasan ini. Namun, data yang mengungkap hal tersebut tidak tercantum dalam artikel yang dipublikasi.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Replikasi penelitian serupa di Indonesia diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih baik untuk dapat diaplikasikan secara lokal.

Secara umum, ketamine intranasal dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi untuk meredakan nyeri akut akibat cedera ekstremitas pada anak-anak terutama pada kondisi di mana opioid bukan merupakan pilihan yang tepat. Walau ketamine memiliki risiko efek samping minor yang lebih tinggi, secara umum obat ini memiliki profil keamanan yang lebih baik untuk pasien anak dengan trauma karena tidak menyebabkan hipotensi dan menjaga respons jalan napas pasien.

Referensi