Saat ini terdapat kalkulator untuk menghitung risiko bagi pasien diabetes yang hendak berpuasa di bulan Ramadan. Berdasarkan studi epidemiologi diabetes dan data dari bulan Ramadan, sekitar 79% pasien diabetes tipe 2 dan 43% pasien diabetes tipe 1 di seluruh dunia diperkirakan melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Oleh karena itu, dokter perlu memahami cara menilai keamanan berpuasa pada pasien diabetes.[1,2]
Puasa dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis diabetik, dehidrasi, dan trombosis. Namun, adanya risiko-risiko tersebut bukan berarti semua pasien diabetes tidak boleh berpuasa di bulan Ramadan. Berbagai faktor dapat dijadikan pedoman untuk membantu menilai kondisi pasien apakah layak atau tidak untuk berpuasa.[3,4]
Kalkulator IDF-DAR untuk Menilai Kelayakan Pasien Diabetes Berpuasa
International Diabetes Federation (IDF) bekerja sama dengan Diabetes and Ramadan International Alliance (DAR) membuat kalkulator risiko sebelum puasa. Kalkulator ini mengukur 16 poin risiko, mulai dari tipe diabetes (tipe 1 atau tipe 2), durasi diabetes, jenis terapi, komplikasi, kehamilan, hingga durasi puasa yang akan dijalankan.[2]
Tabel 1. Perhitungan Risiko untuk Pasien Diabetes yang Hendak Berpuasa
| Elemen Risiko | Skor |
| 1. Klasifikasi diabetes | |
| ● Diabetes tipe 1 | 1 |
| ● Diabetes tipe 2 | 0 |
| 2. Durasi diabetes (tahun) | |
| ● Durasi ≥10 tahun | 1 |
| ● Durasi <10 tahun | 0 |
| 3. Ada tidaknya hipoglikemia | |
| ● Tidak tahu tentang hipoglikemia | 6.5 |
| ● Hipoglikemia parah baru-baru ini | 5.5 |
| ● Hipoglikemia beberapa kali per minggu | 3.5 |
| ● Hipoglikemia <1 kali per minggu | 1 |
| ● Tidak ada hipoglikemia | 0 |
| 4. Level manajemen glikemik | |
| ● A1C >9% (>75 mmol/mol) | 2 |
| ● A1C 7.5–9% (59–75 mmol/mol) | 1 |
| ● A1C <7.5% (<59 mmol/mol) | 0 |
| 5. Tipe terapi | |
| ● Injeksi insulin mixed multipel setiap hari | 3 |
| ● Basal bolus/insulin pump | 2.5 |
| ● Insulin mixed sekali sehari | 2 |
| ● Insulin basal | 1.5 |
| ● Glibenclamide/glyburide | 1 |
| ● Gliclazide modified release atau glimepiride atau repaglinide | 0.5 |
| ● Terapi lain tidak termasuk sulfonilurea atau insulin | 0 |
| 6. Self-monitoring glukosa | |
| ● Terindikasi tetapi tidak dilakukan | 2 |
| ● Terindikasi tetapi dilakukan secara suboptimal | 1 |
| ● Dilakukan sesuai indikasi | 0 |
| 7. Komplikasi akut | |
| ● DKA atau HHS dalam 3 bulan terakhir | 3 |
| ● DKA atau HHS dalam 6 bulan terakhir | 2 |
| ● DKA atau HHS dalam 12 bulan terakhir | 1 |
| ● Tidak ada DKA atau HHS | 0 |
| 8. Komplikasi MVD dan komorbiditas | |
| ● MVD tidak stabil | 6.5 |
| ● MVD stabil | 2 |
| ● Tidak ada MVD | 0 |
| 9. Komplikasi ginjal dan komorbiditas | |
| ● eGFR <30 mL/menit/1.73 m2 | 6.5 |
| ● eGFR 30–45 mL/menit/1.73 m2 | 4 |
| ● eGFR 45–60 mL/menit/1.73 m2 | 3 |
| ● eGFR >60 mL/menit/1.73 m2 | 0 |
| 10. Kehamilan | |
| ● Hamil dan tidak dalam rentang gol glikemik | 6.5 |
| ● Hamil dan dalam rentang gol glikemik | 3.5 |
| ● Tidak hamil | 0 |
| 11. Kerapuhan (frailty) dan fungsi kognitif | |
| ● Gangguan fungsi kognitif atau rapuh | 6.5 |
| ● >70 tahun tanpa home support | 3.5 |
| ● Tidak ada kerapuhan atau kehilangan fungsi kognitif | 0 |
| 12. Aktivitas fisik | |
| ● Aktivitas fisik sangat intens | 4 |
| ● Aktivitas fisik intens moderat | 2 |
| ● Tidak ada aktivitas fisik | 0 |
| 13. Pengalaman Ramadan sebelumnya | |
| ● Secara umum pengalaman negatif | 1 |
| ● Tidak ada pengalaman negatif atau positif | 0 |
| 14. Berapa jam puasa (bervariasi tergantung area geografis) | |
| ● ≥16 jam | 1 |
| ● <16 jam | 0 |
Sumber: American Diabetes Association Professional Practice Committee. 2025.
DKA: diabetic ketoacidosis
eGFR: estimated glomerular filtration rate
HHS: hyperglycemic hyperosmolar state
MVD: macrovascular disease
Hasil penilaian tersebut selanjutnya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
- Skor 0–3 (risiko rendah): berpuasa kemungkinan aman
- Skor 3.5–6 (risiko sedang): keamanan berpuasa belum pasti
- Skor >6 (risiko tinggi): berpuasa kemungkinan tidak aman[2]
Akurasi Kalkulator IDF-DAR untuk Menilai Kelayakan Pasien Diabetes Berpuasa
Kalkulator risiko IDF-DAR merupakan metode skoring yang paling luas digunakan dan diterima di seluruh dunia. Berbagai studi menunjukkan bahwa skoring ini dapat secara sensitif memperkirakan luaran pasien yang berpuasa. Seperti dalam studi Alfadhli et al., pasien risiko tinggi jauh lebih sering jatuh pada kondisi hipoglikemia atau hiperglikemia daripada pasien dengan kategori risiko sedang dan rendah.[2,5]
Studi lain juga menunjukkan hasil serupa. Bahkan pasien dengan kategori risiko rendah memiliki risiko 70% lebih kecil untuk mengalami efek yang tidak diinginkan saat puasa bila dibandingkan dengan pasien yang tergolong risiko sedang dan tinggi.[6]
Namun, terlepas dari rekomendasi tenaga medis, kecenderungan pasien yang berisiko sedang hingga tinggi untuk tetap melaksanakan ibadah puasa persentasenya sangat tinggi, sehingga perlu edukasi dan intervensi yang adekuat untuk mencegah timbulnya kegawatan saat pasien memaksa melakukan ibadah puasa.[7]
Edukasi dan Intervensi untuk Pasien Diabetes yang Hendak Berpuasa
Edukasi bagi pasien diabetes yang akan melaksanakan ibadah puasa sangat penting, karena saat berpuasa akan terjadi perubahan pola asupan nutrisi, konsumsi cairan, dan penggunaan obat-obatan. Studi Salih et al. menunjukkan bahwa kadar HbA1C dapat menurun atau meningkat >0,5% pada pasien diabetes yang berpuasa karena adanya perubahan pola diet saat puasa.[3,8]
Saat berbuka puasa, pasien cenderung mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dan minuman manis. Kebiasaan ini sangat memengaruhi kadar glukosa darah, sehingga pasien harus diedukasi untuk menghindari hal ini. Pasien juga harus dianjurkan untuk menghindari latihan fisik berlebihan, terutama beberapa jam sebelum berbuka puasa, karena hal ini dapat meningkatkan risiko hipoglikemia dan dehidrasi.[3,8]
Selain edukasi, intervensi medikamentosa juga dapat diberikan jika perlu. Umumnya, pasien diabetes tipe 2 yang mendapat terapi insulin atau insulin secretagogue (seperti sulfonilurea) memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia saat berpuasa. Oleh karena itu, pengalihan jenis farmakoterapi atau pengurangan dosis insulin dapat dilakukan untuk menurunkan risiko hipoglikemia.[1,3]
Obat yang memiliki profil risiko hipoglikemia lebih rendah seperti dipeptidyl‐peptidase‐4 (DPP‐4) dengan jenis vildagliptin atau sitagliptin, dan glucagon‐like peptide 1 (GLP‐1) analogues dengan jenis exenatide atau liraglutide, dapat menjadi alternatif pilihan bagi pasien diabetes tipe 2 yang berpuasa. Studi lain juga menunjukkan bahwa penggunaan short‐acting insulin secretagogues seperti repaglinide dapat dipertimbangkan karena durasi aksinya pendek, sehingga risiko hipoglikemia cukup rendah.[1,3]
Bila obat-obat tersebut tidak tersedia, metformin dan thiazolidinediones dapat menjadi alternatif pilihan bila dibandingkan dengan insulin secretagogues, karena profil risiko hipoglikemianya lebih rendah.[1,9]
Rekomendasi untuk Pasien Diabetes yang Hendak Berpuasa
Pasien diabetes yang tidak terkontrol sebaiknya tidak melakukan puasa karena akan meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi terkait hiperglikemia. Pada pasien diabetes yang terkontrol dengan diet ketat, puasa umumnya bisa dilakukan dengan aman.[1,9]
Pasien harus melakukan pemantauan kadar glukosa secara rutin. Terkait diet, pasien dianjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman manis secara berlebihan saat berbuka puasa karena akan meningkatkan glukosa postprandial secara tidak terkontrol.[1,9]
Konseling terkait manajemen nutrisi dan pengaturan waktu serta dosis farmakoterapi harus dilakukan sebelum bulan puasa. Pasien harus melakukan pemeriksaan glukosa darah secara mandiri di rumah dan memahami tanda dan gejala hipoglikemia maupun hiperglikemia. Selain itu, jelaskan kemungkinan timbulnya dehidrasi dan gejalanya.[4]
Kesimpulan
Pasien diabetes dapat melaksanakan ibadah puasa secara aman bila mengikuti anjuran tenaga medis. Kondisi yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia dan dehidrasi saat berpuasa adalah hal yang bisa dicegah. Penggunaan metode skoring seperti kalkulator IDF-DAR terbukti bermanfaat untuk memprediksi kemungkinan bahaya pada pasien diabetes yang akan melaksanakan ibadah puasa.
