Insidensi Stres Kardiomiopati selama Pandemi Coronavirus Disease 2019 – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Incidence of Stress Cardiomyopathy During the Coronavirus Disease 2019 Pandemic

Jabri A, Kalra A, Kumar A, Alameh A, Adroja S, Bashir H, et al. Incidence of stress cardiomyopathy during the coronavirus disease 2019 pandemi. Jama Network. 2020;3(7):e2014780.

Abstrak

Pendahuluan: Pandemi COVID-19 dapat menyebabkan stres secara fisiologis, sosial, dan ekonomi pada kehidupan semua orang. Saat ini, belum diketahui apakah stres akibat pandemi berhubungan dengan peningkatan insidensi stres kardiomiopati.

Tujuan: Untuk menentukan insidensi dan luaran stres kardiomiopati selama pandemi COVID-19 dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Desain, Pengaturan, dan Partisipan: Studi kohort retrospektif ini dilakukan pada laboratorium kateterisasi jantung dengan kapabilitas percutaneous coronary interevention (PCI) di 2 rumah sakit yang termasuk dalam sistem kesehatan Klinik Cleveland di Ohio Timur Laut. Studi ini menentukan insidensi stres kardiomiopati (disebut juga sindrom Takotsubo) pada pasien yag mengalami sindrom koroner akut yang menjalani arteriografi koroner. Pasien yang datang selama pandemi COVID-19, antara 1 Maret sampai 30 April 2020, dibandingkan dengan 4 grup kontrol pasien dengan sindrom koroner akut yang terjadi sebelum pandemi, melewati 4 periode waktu yang berbeda, yaitu Maret sampai April 2019, Januari sampai Februari 2019, Maret sampai April 2019, dan Januari sampai Februari 2020. Data dianalisis pada bulan Mei 2020.

Pajanan: Pasien dibagi menjadi 5 grup berdasarkan waktu dari presentasi klinis yang terjadi yang berhubungan dengan pandemi COVID-19.

Luaran Utama dan Pengukuran: kejadian stres kardiomiopati

Hasil: Dari 1.914 pasien yang mengalami sindrom koroner akut, 1.656 pasien (usia median 67 [59–74] dan 1.094 [66,1%] adalah laki-laki) mengalami sindrom koroner akut selama periode pre-COVID-19 (390 pasien pada Maret–April 2018, 309 pasien pada Januari–Februari 2019), 679 pasien pada Maret–April 2019, 278 pasien pada Januari–Februari 2020, dan 258 pasien (usia median 67 [57-75];175 [67,8%] adalah laki-laki]) mengalami keluhan pada saat periode pandemi COVID-19 (Maret–April 2020).

Penelitian ini  menunjukkan peningkatan insidensi kardiomiopati yang signifikan selama COVID-19, dengan total 20 pasien dengan stres kardiomiopati (proporsi insidensi 7,8%) dibandingkan dengan waktu sebelum pandemi, yaitu sekitar 5–12 pasien yang mengalami stres kardiomiopati (kisaran proporsi insidens, 1,5-1,8%). Rasio perbandingan antara periode pandemi COVID-19 dan periode prepandemi adalah 4,56 (95% CI, 4,11-5,11;p<0,001). Semua pasien selama pandemi COVID-19 memiliki hasil pemeriksaan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) negatif pada uji reaksi COVID-19.

Pasien dengan stres kardiomiopati selama masa pandemi COVID-19 memiliki waktu hospitalisasi yang lebih lama daripada pasien yang dirawat inap sebelum masa pandemi (periode COVID-19 8[6–9]hari, Maret–April 2018: 4[3–4] hari, Januari–Februari 2019: 5[3–6] hari, Maret–April 2019: 4[4–8] hari, Januari–Februari: 5[4–5] hari; p = 0,006). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada mortalitas antara periode COVID-19 dan periode pre-COVID-19 (1 pasien [5,0%] vs 1 pasien [3,6%]; p =0,81) atau 30-hari rehospitalisasi) 4 pasien [22,2%] vs 6 pasien [21,4%], p=0,90).

Konklusi dan Relevansi: Studi ini menemukan bahwa ada peningkatan yang signifikan pada insidensi stres kardiomiopati selama pandemi COVID-19 jika dibandingkan dengan periode prepandemi.

shutterstock_1747636952-min

Ulasan Alomedika

Pandemi Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 yang melanda dunia sejak akhir tahun 2019 menyebabkan stres dan kekhawatiran bagi banyak orang. Beberapa waktu terakhir, banyak klinisi yang melaporkan peningkatan kejadian stres kardiomiopati atau sindrom Takotsubo selama pandemi COVID-19. Hal ini bisa saja berkaitan dengan peningkatan stres fisiologis, sosial, dan ekonomi pada masa karantina. Tujuan penelitian ini jelas, yaitu untuk menentukan apakah terdapat peningkatan insidensi stres kardiomiopati pada masa pandemi COVID-19 jika dibandingkan dengan masa prepandemi.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di Klinik Cleveland. Peneliti melakukan analisis retrospektif pada rekam medis pasien yang mengalami sindrom koroner akut (SKA) selama bulan Maret–April 2019, Januari–Februari 2019, Maret–April 2019, dan Januari–Februari 2020) pada grup kontrol. Pada grup studi, data diambil dari bulan Maret–April 2020. Penelitian dilakukan pada 2 rumah sakit di daerah Ohio Timur Laut. Kejadian stres kardiomiopati akan dinilai dan dibandingkan dengan masing-masing periode waktu.

Kriteria diagnosis stres kardiomiopati ditentukan berdasarkan kriteria diagnosis sindrom Takotsubo internasional, yaitu disfungsi ventrikel kiri transien yang dapat muncul melalui ballooning pada apeks atau anomali pada midventrikular, basal, atau gerakan dinding fokal; faktor pencetus emosional, fisik, atau kombinasi keduanya yang dapat memicu onset penyakit (tidak wajib); gangguan neurologis maupun feokromositoma dapat menjadi pemicu; anomali pada EKG (elevasi atau depresi segmen ST, inversi gelombang T, dan pemanjangan QTc); elevasi moderat pada kadar biomarker jantung (peningkatan kreatinin kinase dan troponin) dan peningkatan brain natriuretic peptide (BNP) yang signifikan; tidak adanya miokarditis; dan penyakit jantung koroner yang signifikan dapat terjadi.

Luaran klinis yang terekam pada pasien stres kardiomiopati adalah aritmia jantung, lama rawat inap, 30-hari rehospitalisasi (dirawat kembali dalam 30 hari), dan mortalitas.

Semua pasien pada grup pandemi COVID-19 menjalani pemeriksaan uji RT-PCR dengan sampel yang diambil dari nasofaringeal dan faring.

Data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam bentuk median dan data nominal disajikan dalam bentuk proporsi. Data berkelanjutan dari seluruh grup dibandingkan dengan uji Kruskal-Wallis dan data kategorikal diuji dengan Pearson X2.

Ulasan Hasil Penelitian

Terdapat 1.656 pasien yang terdiagnosis SKA pada masa prepandemi selama 4 periode waktu, yaitu 290 pasien pada Maret–April 2019, 309 pasien pada Januari–Februari 2019, 679 pasien pada Maret–April 2019, dan 278 pasien pada Januari–Februari 2020. Sedangkan, pada grup pandemi didapatkan 258 pasien yang masuk pada Maret–April 2020. Semua pasien dalam grup pandemi mempunyai hasil RT-PCR COVID-19 yang negatif.

Jika dibandingkan dengan grup kontrol, yaitu 5–12 pasien (kisaran proporsi insidensi sebesar 1,5–1,8%), terdapat peningkatan insidensi stres kardiomiopati yang signifikan pada pasien SKA selama masa pandemi COVID-19, dengan total 20 pasien (proporsi insidensi sebesar 7,8%). Rasio perbandingan antara grup pandemi dan grup kontrol mencapai 4,58 (95% CI, 4,11–5,11; p<0,001). Jika dibandingkan dengan masing-masing waktu prepandemi, rasionya berkisar 4,31–5,04.

Pasien dengan stres kardiomiopati selama pandemi COVID-19 membutuhkan waktu yang lebih lama untuk hospitalisasi daripada grup kontrol. Namun, tidak didapatkan peningkatan yang signifikan pada angka mortalitas dan 30-hari rehospitalisasi antara grup pandemi dan grup kontrol.

Hubungan antara stres kardiomiopati dan distres fisiologis, sosial, serta ekonomi selama masa karantina dinilai lebih berpengaruh pada peningkatan kejadian stres kardiomiopati daripada keterlibatan langsung dengan infeksi virus. Hal ini didukung dari hasil RT-PCR yang negatif pada semua pasien yang terdiagnosis stres kardiomiopati pada grup studi.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi pertama yang meneliti hubungan antara kejadian stres kardiomiopati dan stres fisiologis, sosial, dan ekonomi terkait dengan pandemi COVID-19. Melalui studi ini, dapat diketahui bahwa stres akibat pandemi COVID-19 dapat berpengaruh pada gangguan kesehatan jantung.

Kekurangan Penelitian

Penelitian ini memiliki sampel yang terbatas pada daerah tertentu (Ohio Timur Laut) sehingga aplikasi penelitian ini perlu disesuaikan dengan kondisi geografis. Selain itu, terdapat kemungkian pasien SKA menghindari kunjungan rumah sakit selama masa pandemi dan hal ini dapat menjadi bias dalam pengambilan sampel.

Selain itu, studi ini juga memiliki keterbatasan pada tipe uji COVID-19 dengan RT-PCR, karena RT-PCR memiliki sensitivitas yang terbatas (79%), sehingga dapat menyebabkan hasil negatif palsu pada grup studi. Namun, pada grup studi, tidak ada pasien SKA yang mengalami gejala yang berkaitan dengan COVID-19.

Aplikasi Penelitian di Indonesia

Studi ini menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan pada insidensi stres kardiomiopati selama masa pandemi COVID-19. Studi ini menilai bahwa stres secara sosial, fisiologis, dan ekonomi selama masa pandemi dapat memicu terjadinya stres kardiomiopati. Oleh karena itu, tenaga kesehatan perlu melakukan promosi kesehatan dan edukasi kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menjaga kesehatan mental selama pandemi COVID-19 dalam rangka menurunkan risiko kejadian stres kardiomiopati.

Referensi