Hipoalbuminemia sebagai Faktor Prognostik COVID-19

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Hipoalbuminemia diperkirakan dapat menjadi faktor prognostik kasus COVID-19 yang berat. Dugaan ini awalnya didasari oleh temuan studi di masa lampau yang melaporkan bahwa kadar albumin yang rendah merupakan faktor risiko mortalitas pada pasien sepsis. Karena COVID-19 juga merupakan infeksi yang menyebabkan inflamasi dan bisa mengurangi kadar albumin, studi akhirnya turut dilakukan untuk mempelajari hubungan COVID-19 dengan hipoalbuminemia.[1-3]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Progresivitas COVID-19 memang saat ini masih sulit diprediksi. Oleh karena itu, proses stratifikasi risiko pasien COVID-19 untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas juga masih terkendala. Artikel ini akan membahas peran albumin sebagai faktor prognostik COVID-19 yang mungkin bermanfaat dalam praktik klinis.[4,5]

Mekanisme Terjadinya Hipoalbuminemia pada Pasien COVID-19

Mekanisme terjadinya hipoalbuminemia pada pasien COVID-19 sebenarnya belum dipahami dengan baik. Akan tetapi, pada penyakit kritis yang lain, hipoalbuminemia diketahui berhubungan dengan respons inflamasi. Rilis berbagai sitokin pada penyakit kritis dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi ekstravasasi albumin ke cairan ekstravaskular.[6]

Hipoalbuminemia sebagai Faktor Prognostik COVID-19-min

Ramadori dalam hipotesisnya menyebutkan bahwa hipoalbuminemia pasien COVID-19 kritis dapat disebabkan oleh dua mekanisme, yaitu: (1) penurunan sintesis albumin akibat berkurangnya asupan makanan; dan (2) inhibisi sintesis mRNA spesifik di nuklei hepatoselular akibat interaksi langsung antara sel tersebut dengan sitokin proinflamasi fase akut.[7]

Dalam penelitiannya, Wu et al. juga berhipotesis bahwa kebocoran kapiler paru dapat menyebabkan pergerakan cairan dan protein melalui sawar epitel-endotel. Penelitian ini mempelajari 174 pasien COVID-19, di mana 92 pasien dirawat di bangsal biasa dan 82 pasien dirawat di ruang perawatan intensif (ICU). Pasien ICU dilaporkan memiliki kadar albumin serum lebih rendah, terutama pasien yang memiliki rasio PaO2:FiO2 dan hasil pencitraan toraks lebih buruk.[8]

Studi tentang Hipoalbuminemia sebagai Faktor Prognostik COVID-19

Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi apakah hipoalbuminemia benar bisa dijadikan faktor prognostik COVID-19 yang lebih berat.

Studi Huang et al

Studi kohort retrospektif yang dilakukan Huang et al. pada 299 pasien COVID-19 di Hubei melaporkan adanya kadar albumin yang lebih rendah pada pasien COVID-19 yang memiliki luaran buruk daripada pada penyintas COVID-19. Perbedaan tersebut dilaporkan bermakna secara statistik (3,05±0,4 vs. 3,76±0,62 g/dL; p<0,001).

Selain itu, serum albumin juga memiliki korelasi negatif terhadap rasio neutrofil/limfosit (p<0,001). Analisis multivariat melaporkan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor prognostik untuk mortalitas pasien COVID-19 (mortalitas 13,2% di grup hipoalbumin vs. 1% di grup albumin normal) di samping adanya faktor komorbid.[9]

Studi Viana-Llamas et al

Penelitian kohort retrospektif lain yang melibatkan 609 subjek juga melaporkan bahwa hipoalbuminemia (kadar albumin serum <3,4 g/dL) lebih banyak dijumpai pada pasien COVID-19 yang meninggal daripada penyintas COVID-19 (65,6% vs. 38%; p<0,001).

Hipoalbuminemia dilaporkan berkaitan dengan risiko komplikasi, yaitu:

Selain itu, analisis lebih lanjut juga menemukan bahwa hipoalbuminemia merupakan prediktor mortalitas (HR 1,537; 95%IC 1,05–2,25; p=0,027).[10]

Studi Soetedjo et al

Suatu tinjauan sistematik yang melibatkan 6.200 pasien dari 19 studi menemukan bahwa hipoalbuminemia meningkatkan risiko mortalitas (OR: 6,26; 95%IC: 3,26–12,04; p<0,001) dan keparahan penyakit (OR 7,32; 95%IC: 3,94–13,59; p<0,001). Selain itu, hipoalbuminemia juga berhubungan dengan luaran klinis yang kurang baik, yakni sebesar 70% di grup hipoalbuminemia dan 24% di grup albumin normal.[5]

Kesimpulan

Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa hipoalbuminemia mungkin merupakan faktor prognostik COVID-19 yang independen, terlepas dari ada tidaknya komorbiditas. Studi melaporkan bahwa populasi pasien COVID-19 dengan hipoalbuminemia memiliki mortalitas 13,2% bila dibandingkan dengan mortalitas 1% di populasi albumin normal. Oleh karena itu, dokter mungkin dapat menggunakan kondisi hipoalbuminemia sebagai prediktor keparahan COVID-19 yang ditata laksana.

Akan tetapi, penggunaan hipoalbuminemia untuk stratifikasi risiko pasien COVID-19 secara luas mungkin masih membutuhkan konfirmasi dengan studi lebih lanjut. Hal ini dikarenakan patofisiologi di balik kondisi ini masih belum dipahami dengan jelas dan jumlah studi dengan skala populasi besar masih terbatas.

Referensi