Kelebihan dan Kekurangan Daging Budidaya atau Cultured Meat

Oleh :
dr.Kurnia Agustina Sitompul, M.Gizi, Sp.GK

Cultured meat atau daging budidaya adalah daging konsumsi yang dikembangkan di laboratorium secara in vitro untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging merah yang terus meningkat. Meski begitu, banyak aspek dari budidaya daging ini belum diketahui dengan jelas, termasuk keamanannya.

Daging hewan diketahui mengandung banyak nutrisi penting, salah satunya vitamin B12 yang hanya bisa didapat dari sumber hewani. Namun, konsumsi daging merah, daging olahan, serta produk hewan lain terbukti berhubungan dengan berbagai penyakit seperti penyakit jantung koronerdiabetes melitus tipe 2obesitas, gangguan homeostasis kalsium, dan beberapa tipe kanker. Permintaan global akan daging kian meningkat seiring dengan pertambahan populasi dunia, sehingga budidaya daging dengan mengembangkan daging secara in vitro muncul sebagai salah satu solusi.[1,2]

Kelebihan dan Kekurangan Daging Budidaya atau Cultured Meat-min

Latar Belakang Daging Budidaya atau Cultured Meat

Konsumsi daging terus meningkat, padahal produksi massal daging diketahui berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan. Peternakan dan proses pengolahan daging menjadi penyumbang 14,5% emisi greenhouse gas (GHG) global, penggunaan 8% air bersih, dan penggunaan 30% lahan.

Selain itu, penggunaan antibiotik secara luas pada peternakan hewan dinyatakan meningkatkan resistensi antibiotik, sehingga menjadi ancaman besar pada kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi berbagai keterbatasan inilah, ide untuk memproduksi daging secara in vitro muncul.[2,3]

Pada tahun 1907, ahli biologi Ross Harrison membudidayakan sel saraf katak dalam media getah bening di Universitas Johns Hopkins. Kemudian, pada akhir tahun 1990-an, Willem van Ellen mengajukan paten atas metode produksi budidaya daging untuk pertama kalinya. Lalu di awal tahun 2000-an, proyek budidaya daging dijalankan oleh NASA-funded college-based group dan bio-artists in the Tissue Culture and Art Project dengan tujuan kultur jaringan untuk makanan. Kedua proyek tersebut bahkan melakukan uji palatabilitas dan rasa terhadap hasil kultur jaringan.

Selanjutnya, banyak negara mulai melakukan penelitian dan perusahaan makanan melakukan demonstrasi kultur dalam bentuk bola daging, ayam, bebek, dan steak daging katak. Publik semakin terbuka akan teknologi ini setelah beberapa negara melakukan publikasi dan komersialisasi di televisi dan rumah makan.[2,4]

Proses Pembuatan Daging Budidaya atau Cultured Meat

Teknik dasar yang digunakan dalam rekayasa jaringan daging ini bukanlah teknik baru. Teknik in vitro untuk menumbuhkan sel telah lama menjadi protokol standar di laboratorium, salah satunya untuk terapi luka dan penyakit. Budidaya daging membutuhkan empat komponen penting, yaitu sumber sel, media kultur, bioreaktor, serta scaffold atau perancah.

Sumber sel yang digunakan adalah sel satelit atau myoblast. Sel ini bertanggung jawab untuk regenerasi otot dan pada akhirnya berdiferensiasi membentuk myofibril. Media kultur tempat sel berkembang diperkaya dengan nutrisi esensial seperti garam anorganik, asam amino, vitamin, glukosa, faktor pertumbuhan, dan karbohidrat.

Secara singkat, sel induk akan diambil dari jaringan otot atau embrio hewan, kemudian dipisahkan menjadi sel-sel otot. Satu sel otot tunggal dapat membentuk banyak sel otot baru dan berintegrasi untuk membentuk untaian kecil jaringan otot yang dikenal sebagai myotubeMyotube ini berasosiasi menjadi potongan-potongan kecil jaringan otot dan akan bertumbuh dengan menyerap nutrisi pada media kultur menjadi banyak helai serat.

Sel-sel tersebut selanjutnya akan dimasukkan ke dalam bioreaktor, yaitu tempat sel akan berkembang. Selanjutnya, sel dipindahkan ke dalam perancah agar tumbuh menjadi satuan serat otot atau jaringan dengan ukuran dan kandungan protein lebih besar.[2,5,6]

Manfaat Daging Budidaya atau Cultured Meat

Secara garis besar, manfaat utama dari daging budidaya adalah mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang muncul dari produksi daging konvensional. Hal ini mencakup aspek lingkungan dan kesehatan.

Dampak Lingkungan

Daging budidaya dinyatakan menjadi solusi atas isu seputar lingkungan. Proses ini lebih ramah lingkungan apabila dibandingkan dengan peternakan konvensional.

Peternakan konvensional misalnya peternakan sapi, menghasilkan tiga GHG penting, yaitu metana, karbon dioksida dan nitrogen, yang dikenal sebagai GHG paling agresif. Saluran cerna hewan herbivora terutama ruminansia juga mencetuskan produksi gas metana, dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar emisi GHG global.

Dengan adanya daging budidaya, diharapkan mampu berperan dalam perubahan iklim dengan menurunkan emisi gas dan mengurangi penggunaan air maupun tanah secara berlebihan.[1,2,6,7]

Dampak Nutrisi dan Kesehatan

Proses budidaya daging juga dapat menurunkan risiko penularan penyakit infeksi yang diperantarai hewan. Hal ini dikarenakan proses teknologi ini akan dilakukan dalam ruang tertutup yang steril dan tidak terpapar oleh kondisi eksternal seperti bencana alam.

Adanya kontrol lingkungan yang baik akan mencegah kontaminasi yang umum terjadi selama penyembelihan. Dengan demikian, wabah akibat foodborne disease dapat dicegah. Daging hasil budidaya juga tidak mengandung substansi alergen apabila dibandingkan dengan hasil ternak konvensional dan plant-based meat.[2,6]

Kualitas nutrisi dalam daging budidaya dapat diatur dengan pengaturan komposisi media kultur, sehingga  kadar asam lemak jenuh terkontrol dengan menggantinya menggunakan asam lemak tak jenuh seperti omega-3. Hal ini menjanjikan penurunan risiko penyakit kardiovaskular, penurunan trigliserida, dan tekanan darah. Penambahan mineral seperti zat besi juga dapat dilakukan pada media kultur.[6]

Dampak Sosial

Produksi budidaya daging turut mencegah eksploitasi dan penyembelihan hewan yang bertentangan dengan implikasi moral. Daging budidaya akan menyediakan daging untuk lebih banyak orang, sehingga keseimbangan flora dan fauna dapat terpelihara tanpa merusak ekosistem.[2,6]

Keterbatasan Daging Budidaya atau Cultured Meat

Hingga kini dilema etik proses teknologi pangan ini masih menjadi perdebatan. Prosedur yang dilakukan memang secara in vitro, namun sumber sel dapat berasal dari serum janin sapi, sehingga moto yang menyatakan proses ini bebas eksploitasi masih dipertanyakan.

Produksi daging secara in vitro ini juga memunculkan masalah terkait keyakinan. Beberapa penganut agama menyatakan daging budidaya merupakan solusi atas kekejaman atas hewan ternak, namun agama lainnya masih mempertanyakan kelayakannya karena sumber sel tetap berasal dari hewan hidup. Selain itu, daging sapi maupun babi memang tidak dikonsumsi oleh beberapa agama.

Dampak penggunaan faktor pertumbuhan seperti hormon terhadap metabolisme manusia juga perlu diteliti. Namun hingga kini belum ada penelitian yang dilakukan terkait efek konsumsi daging hasil budidaya ini terhadap kesehatan manusia.[6]

Dampak budidaya daging terhadap lingkungan juga masih perlu diteliti, karena prosesnya dianggap membutuhkan asupan listrik yang lebih besar dibandingkan peternakan konvensional. Secara teoritis, teknologi pangan ini memiliki potensi besar namun tetap dibutuhkan penelitian lebih lanjut dalam skala besar untuk menilai efeknya terhadap jejak karbon dan sektor sosial ekonomi peternakan konvensional.[2,6,8]

Kesimpulan

Budidaya daging merupakan produksi daging yang dilakukan secara in vitro. Teknologi pangan ini muncul sebagai salah satu solusi terkait masalah lingkungan dan kesehatan akibat konsumsi hewan hasil peternakan konvensional. Sel induk yang juga diambil dari jaringan otot hewan hidup atau embrio akan ditumbuhkan dan dikembangkan dalam media kultur yang sudah diperkaya dengan nutrisi.

Secara teoritis, proses ini dianggap ramah lingkungan dan mampu menurunkan risiko penyakit kardiovaskular serta penyakit menular akibat transmisi hewan karena dilakukan dengan teknik steril dan terkontrol. Meski demikian, dampak pastinya masih belum diketahui dan membutuhkan studi komprehensif lanjutan.

Referensi