Manfaat dan Keamanan Diet Ketogenik

Oleh :
dr.Kurnia Agustina Sitompul, M.Gizi, Sp.GK

Diet ketogenik atau lebih dikenal dengan diet keto diyakini bermanfaat dan aman untuk berbagai kondisi medis, seperti epilepsi, obesitas, dan penyakit Alzheimer. Meski demikian, diet ini juga memicu berbagai perdebatan.

Secara garis besar, diet ketogenik merupakan pola asupan rendah karbohidrat dan tinggi lemak. Meskipun berbagai studi telah menunjukkan manfaatnya, terdapat keraguan mengenai manfaat jangka panjang dan potensi risiko dari pola diet ini.[1,2]

Konsep Diet Ketogenik

Diet ketogenik didefinisikan sebagai diet rendah karbohidrat yang dibarengi dengan pembatasan protein dalam jumlah sedang untuk menginduksi ketosis tanpa membatasi asupan lemak. Pada awalnya, diet ketogenik dikembangkan untuk pengelolaan kejang refrakter pada pasien anak. Dalam diet ketogenik, lemak merupakan penyedia asupan kalori utama.

Diet ketogenik kini memiliki berbagai variasi, seperti diet ketogenik klasik, low glycemic index diet (LGID), medium-chain triglyceride diet (MCTD), dan diet modifikasi Atkins. Salah satu ciri diet ketogenik klasik adalah dengan pemberian protein minimal ≥75 g/hari, pembatasan karbohidrat 30–50 g/hari, dan jumlah lemak total 20 g/hari yang diutamakan berasal dari olive oil dan asam lemak omega-3. Sementara itu, LGID ditandai dengan jumlah karbohidrat 60–80 g/hari dengan mengutamakan karbohidrat indeks glikemik rendah.[2-5]

Cara Kerja Diet Ketogenik

Kekurangan karbohidrat menyebabkan penipisan simpanan glikogen. Hal ini menginduksi perubahan metabolisme, dimana energi dihasilkan dari sumber lain yaitu glukoneogenesis dan ketogenesis. Glukoneogenesis dapat dipertahankan selama 3 hari jika asupan rendah karbohidrat terus dipertahankan. Kemudian, sumber energi tambahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Pada saat inilah pembentukan badan keton dijadikan sumber energi utama.[2]

Bukti Ilmiah Efikasi Diet Ketogenik

Berbagai studi menunjukkan potensi manfaat diet ketogenik dalam berbagai kondisi, seperti obesitas, diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), sindrom ovarium polikistik (PCOS), penyakit kardiovaskular, epilepsi, dan gangguan neurologis lainnya. Ketosis nutrisional disengaja ini akan memicu glukoneogenesis dan ketogenesis di hati yang diikuti produksi benda keton. Selanjutnya, benda keton tersebut digunakan menjadi sumber energi alternatif sebagai pengganti glukosa. Efek yang terjadi dapat berupa stabilisasi gula darah, minimalisasi pelepasan insulin, termasuk mengurangi efek anabolik dan efek tumorigenik akibat resistensi insulin jangka panjang. Meski demikian, studi yang ada masih memiliki berbagai keterbatasan, seperti rentang pemantauan yang pendek dan jumlah sampel yang kecil.[3,4]

Penyakit Neurologis

Pada awal penemuannya, diet ketogenik ditujukan untuk terapi epilepsi terutama epilepsi refrakter. Walaupun mekanisme antikejang diet ketogenik masih diperdebatkan, namun diet tinggi lemak termasuk omega-6 dan omega-3 dilaporkan membantu pengaturan jalur transduksi sinyal otak. Dalam suatu meta analisis terhadap 33 penelitian, dilaporkan bahwa diet ketogenik dapat menurunkan frekuensi kejang, bahkan memberikan fase bebas kejang, pada bayi. Hasil penelitian yang melibatkan 534 bayi dengan epilepsi ini menyatakan bahwa diet ketogenik aman dan dapat ditoleransi. Namun demikian, sebagian besar penelitian yang dianalisis berkualitas rendah sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari efikasi serta keamanan jangka panjang.[4,6]

Efek neuroprotektif diet ketogenik juga dilaporkan pada pasien penyakit Alzheimer dan Parkinson. Namun, penerapan diet ketogenik pada lansia membutuhkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan penurunan selera makan yang diikuti dengan munculnya gejala saluran cerna. Apabila hal tersebut terjadi dalam jangka panjang, maka akan berpengaruh pada pasokan nutrisi lansia sebagai kelompok rentan malnutrisi.[4,6,7]

Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan atau Tanpa Kelebihan Berat Badan

Meta analisis oleh Choi et al yang mengikutsertakan 14 uji acak terkontrol dilakukan untuk menilai efikasi diet ketogenik terhadap parameter metabolik pasien overweight dan obesitas dengan atau tanpa diabetes mellitus tipe 2. Diet ketogenik selama 3–12 bulan dilaporkan efektif menurunkan kadar glukosa puasa dan HbA1c, dengan rerata perubahan HbA1c antar kelompok pasien diabetes adalah -0,5%.

Selain itu, diet ketogenik dinyatakan efektif dalam mengontrol kadar serum trigliserida dan meningkatkan kadar HDL pasien overweight dan obesitas dengan diabetes mellitus tipe 2. Namun, di sisi lain, terjadi pula peningkatan relatif kadar kolesterol total dan LDL pada pasien non-diabetes.

Diet ketogenik yang dijalankan selama 4 minggu hingga 12 bulan dilaporkan berhubungan dengan penurunan berat badan (BB) pasien overweight dan obesitas terlepas dari ada atau tidaknya diabetes. Rerata perubahan BB setelah perlakuan adalah -7,78 kg pada pasien diabetes, serta -3,81 kg pada keseluruhan pasien.[3,4]

Obesitas

Tinjauan sistematik dan meta analisis lain melakukan evaluasi terhadap 15 studi yang memenuhi kriteria inklusi untuk menilai efek very low-calorie ketogenic diet (VLCKD) dalam terapi obesitas. VLCKD ditandai dengan rendahnya konsumsi karbohidrat (<50 g/hari), protein 1–1,5 g/kgBB ideal, lemak 15–30 g/hari, dan total asupan 500–800 kalori.

Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa VLCKD berhubungan dengan penurunan BB -7,48 kg dan penurunan indeks massa tubuh -3,25 pada bulan pertama follow up. Penurunan bermakna juga ditemukan setelah bulan kedua, keempat, dan keenam, bahkan setelah 12 bulan. VLCKD juga berhubungan dengan penurunan bermakna lingkar pinggang, massa lemak, serta kadar trigliserida apabila dibandingkan dengan diet lain.[8]

Sindrom Ovarium Polikistik

Diet ketogenik telah dipostulasikan berdampak positif pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS). PCOS terkait erat dengan ketidakteraturan metabolik dan endokrinologis lainnya, yang meliputi resistensi insulin, hiperinsulinemia, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan hiperandrogenisme. Pengobatan PCOS bertujuan untuk meningkatkan resistensi insulin, menurunkan berat badan, rasio luteinizing hormone (LH) dan follicular stimulating hormone (FSH), serta menurunkan kelebihan androgen.

Bukti ilmiah yang ada melaporkan bahwa diet ketogenik dapat menyebabkan penurunan glikemia, testosteron, dan meningkatkan sensitivitas insulin. Diet ketogenik juga dikaitkan dengan penurunan signifikan indeks massa tubuh (IMT) dan perbaikan profil lipid. Meskipun perbaikan rasio LH dan FSH diamati pada awal inisiasi diet ketogenik, hal itu tidak dilaporkan setelah 12 minggu.[2]

Hipertensi

Hasil studi terkait manfaat diet ketogenik pada kasus hipertensi masih berbeda-beda. Dalam meta analisis yang melibatkan 13 studi, very low-calorie ketogenic diet (VLCKD) dilaporkan menghasilkan perbaikan berat badan dan faktor risiko kardiovaskular jangka panjang yang lebih bermakna dibandingkan diet konvensional. Diet ketogenik juga dilaporkan menghasilkan penurunan tekanan darah diastolik dan profil lipid yang lebih baik.

Di lain pihak, meta analisis terhadap 11 uji klinis acak terkontrol menunjukkan bahwa diet ketogenik tidak menghasilkan perbedaan bermakna terkait penurunan berat badan dan faktor risiko kardiovaskular. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik juga tidak berbeda bermakna antara kelompok yang mendapat diet ketogenik dan diet rendah lemak.[2]

Terapi Kanker

Terdapat beberapa mekanisme yang mendukung diet ketogenik sebagai antitumor. Salah satu konsep terpenting adalah perannya dalam efek Warburg, suatu proses dimana sel-sel kanker memperoleh sumber energi utama melalui glikolisis dan bukan fosforilasi oksidatif. Hal ini menyebabkan beberapa sel kanker kehilangan kemampuan untuk memetabolisme benda keton. Dengan berkurangnya asupan glukosa, sel kanker tidak dapat memperoleh energi mereka melalui glikolisis, dan saat ketosis terjadi maka sel-sel normal akan beradaptasi untuk memanfaatkan benda keton sebagai sumber energi.[9,10]

Tinjauan sistematik dan meta analisis terhadap studi eksperimental pada hewan coba melaporkan bahwa diet ketogenik memperpanjang kelangsungan hidup hewan coba yang menderita kanker. Diet ketogenik juga terindikasi mampu menurunkan berat dan volume tumor. Walaupun demikian, penelitian ini menyatakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil terapi, seperti jenis kanker, latar belakang genetik, komposisi diet, hingga sindrom terkait tumor.[11]

Hasil bertolak belakang ditemukan pada tinjauan sistematik dan meta analisis yang mengevaluasi 6 uji klinis acak terkontrol. Dalam studi ini disimpulkan bahwa tidak cukup bukti yang mendukung diet ketogenik sebagai terapi adjuvan kanker.[9]

Aspek Keamanan Diet Ketogenik

Berbagai penelitian menyatakan diet ketogenik aman diterapkan pada kebanyakan pasien. Diet ketogenik dalam terapi obesitas direkomendasikan untuk kondisi yang membutuhkan penurunan berat badan sesegera mungkin, seperti obesitas berat dengan atau tanpa komorbid. Setelah pencapaian target berat badan, maka penerapan strategi modifikasi gaya hidup (aktivitas fisik dan konseling gizi) tetap dilakukan untuk mengurangi risiko kenaikan berat badan dalam jangka panjang.[2,8,12]

Potensi Efek Samping Diet Ketogenik

Terdapat berbagai efek samping yang perlu diwaspadai. Efek yang paling banyak dilaporkan adalah dislipidemia, muntah, konstipasi, gastroesophageal reflux, kelelahan, dan diare.

Hal lain yang dapat terjadi adalah dehidrasi, hipoglikemia, halitosis, hiperurisemia, hipoproteinemia, hipokalsemia, kalsiuria, urolitiasis, dan kerontokan rambut.[5,6,8,10]

Perhatian Khusus pada Penerapan Diet Ketogenik

Pasien diabetes dan menggunakan insulin atau antidiabetes oral perlu mewaspadai risiko hipoglikemia berat sebelum memulai diet ini.

Kontraindikasi diet ketogenik adalah pada pasien dengan pankreatitis, gagal hati, gangguan metabolisme lemak, defisiensi karnitin primer, defisiensi karnitin palmitoiltransferase, defisiensi translokase karnitin, porfiria, atau defisiensi piruvat kinase.

Meskipun jarang, diet ketogenik dapat menimbulkan hasil positif palsu pada tes napas alkohol. Diet ketogenik menimbulkan ketonemia, dimana aseton dalam tubuh dapat direduksi menjadi isopropanol oleh alkohol dehidrogenase hati yang bisa memberi hasil positif palsu pada tes napas alkohol.[13]

Rekomendasi Penerapan Diet Ketogenik

Sangat penting untuk merencanakan diet ketogenik secara individual berdasarkan pola makan, preferensi, serta tujuan metabolisme yang ingin dicapai. Selain itu, disarankan untuk tidak terfokus pada komposisi tinggi lemak saja namun juga untuk menyediakan konsumsi dengan gizi seimbang.

Selama penerapan diet ketogenik, direkomendasikan melakukan pemantauan klinis dan laboratorium yang memadai. Misalnya pemantauan profil lipid, karena diet ketogenik dapat memicu lonjakan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida yang akhirnya meningkatkan risiko kardiovaskular.[1,2,4]

Kesimpulan

Diet ketogenik ditandai dengan konsumsi karbohidrat yang rendah dan konsumsi lemak yang lebih tinggi. Bukti ilmiah saat ini mengindikasikan manfaat diet ketogenik dalam berbagai kondisi medis, termasuk overweight, obesitas, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan sindrom ovarium polikistik. Meski demikian, perlu dicatat bahwa studi yang ada masih memiliki berbagai keterbatasan, salah satunya adalah belum ada studi yang mengevaluasi manfaat dan keamanan jangka panjang (>12 bulan). Diet ketogenik juga tidak direkomendasikan pada pasien dengan berbagai kondisi medis tertentu, seperti pankreatitis, porfiria, gagal hati, dan defisiensi carnitin.

Bukti ilmiah dengan kekuatan bukti, generalibilitas, dan validitas lebih baik masih diperlukan sebelum kesimpulan definitif dapat ditarik mengenai manfaat dan keamanan diet ketogenik. Selain itu, perlu dicatat bahwa asupan nutrisi terbaik adalah asupan nutrisi yang seimbang, jadi tidak hanya berfokus pada asupan yang sangat rendah atau sangat tinggi terhadap mikro dan makronutrien tertentu.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono

Referensi