Kapan dilakukan Tindakan Non Operatif pada Perdarahan Intraserebral Traumatik dan Kontusio Serebri?

Oleh :
dr.Christian Permana

Pendarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri dapat ditata laksana baik dengan tindakan operatif maupun non operatif. Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak dengan jumlah jaringan otak yang mengalami perdarahan kurang dari ⅔  dari luas memar pada jaringan otak atau diameter area perdarahan lebih dari 1 cm. Sedangkan pendarahan intraserebral didiagnosis jika luas perdarahan melebihi ⅔ dari luas memar pada jaringan otak atau diameter area perdarahan >1 cm.[1]

Angka kejadian pendarahan intraserebral atau kontusio serebri adalah 8% dari jumlah  cedera kepala sedang dan meningkat hingga 35% kasus pada cedera kepala berat. Lokasi pendarahan intraserebral atau kontusio serebri paling sering terjadi di bagian lobus frontal dan temporal otak. Hal ini karena permukaan dasar tengkorak di bagian frontal dan temporal yang tidak rata dan terdapat banyak tonjolan tulang.[2]

Close-up,Of,Internal,Organs,Dummy,On,White,Background.,Human,Anatomy

Tata Laksana Non-Operatif

Pasien dengan perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri dapat dilakukan tata laksana  non-operatif jika tidak ada gejala defisit neurologis serta tidak ditemukan adanya efek desak ruang yang signifikan pada hasil CT scan kepala. Tanda lesi desak ruang pada CT scan kepala adalah pergeseran garis tengah atau midline shift ≥5 mm, sulkus dan girus otak terkompresi dan/atau sisterna basal terkompresi.[3]

Prinsip Umum Tata Laksana Pendarahan Intraserebral Traumatik dan Kontusio Serebri

Prinsip umum tata laksana pada perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri mengikuti prinsip Advanced Trauma Life Support (ATLS) dengan menstabilkan terlebih dahulu kondisi ABC, yaitu airway, breathing, dan circulation. Jika sudah stabil, baru dilanjutkan untuk tata laksana untuk perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri. Tata laksana non operatif dapat berupa:

  1. Oksigenasi untuk mencegah hipoksia

  2. Posisi kepala ditinggikan 30-45°
  3. Mempertahankan tekanan darah dengan mean arterial pressure (MAP) >60 mmHg
  4. Pemberian larutan hiperosmolar, seperti manitol 20%, atau hipertonik saline, seperti NaCl 3% untuk menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi.
  5. Analgetik, seperti paracetamol atau tramadol untuk mengurangi nyeri
  6. Antikonvulsan, seperti diazepam atau phenytoin, jika pasien mengalami kejang atau untuk profilaksis kejang pasca trauma.
  7. Antifibrinolitik, seperti asam traneksamat untuk membantu menghentikan perdarahan[4]

Pemilihan cairan hiperosmolar atau hipertonik saline dilakukan berdasarkan klinis hipotensi dan osmolalitas. Kontraindikasi pemberian manitol yaitu pasien dengan hipotensi dan osmolalitas serum darah ≥320 mOsmol/Kg H2O. Hal ini berarti, bila pasien hipotensi dan osmolalitas serum darah ≥320 mOsmol/Kg H2O sebaiknya menggunakan larutan hipertonik saline.[4]

Perhatian pada Tata Laksana Non Operatif Pendarahan Intraserebral Traumatik dan Kontusio Serebri

Perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri adalah jenis pendarahan otak traumatik yang paling progresif. Progresivitas ini terutama terjadi dalam waktu 24 jam pertama sejak trauma, dengan sebagian kecil kasus masih mungkin mengalami progresivitas hingga 3 sampai 4 hari pasca trauma.[5,6]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 16 sampai 75% kasus kontusio serebri akan mengalami progresivitas pada hasil CT scan kepala. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko perdarahan intraserebral atau progresivitas kontusio serebri adalah usia lanjut, riwayat hipertensi, merokok, koagulopati, serta adanya lesi perdarahan subaraknoid atau subdural.[5,6]

Maka dari itu, pada pasien dengan perdarahan intraserebral atau kontusio serebri yang diterapi dengan tatalaksana non-operatif harus terus dilakukan observasi dan pemeriksaan neurologis secara berkala setiap jam. Pemeriksaan neurologis utama yang harus dilakukan adalah nilai glasgow coma scale (GCS)pupil dan defisit neurologis seperti hemiparese.[5,6]

Pemeriksaan CT scan kepala ulang dilakukan jika pada pada saat dilakukan tata laksana non-operatif, pasien mengalami penurunan nilai GCS ≥2 poin, pupil berubah menjadi anisokor, dan pasien menjadi hemiparese. Tujuan CT scan kepala ulang adalah untuk melihat kemungkinan adanya progresifitas dari perdarahan intraserebral atau kontusio dan pertimbangan untuk dilakukan tindakan operatif.[5,6]

Tata Laksana Operatif

Indikasi untuk tatalaksana operatif pada pasien dengan perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri berdasarkan klinis adalah perburukan status neurologis yang progresif. Sedangkan berdasarkan CT scan kepala adalah terdapat tanda efek desak ruang dan volume perdarahan >30 cc.[3]

Selain itu, tata laksana operatif juga diindikasikan bila nilai GCS 6 sampai 8 disertai pendarahan intraserebral di lobus frontal atau temporal dengan volume >20 cc dengan dan midline shift ≥5 mm dan/atau sisterna basal terkompresi pada hasil CT scan kepala.[3]

Jika pada pasien dengan perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri didapatkan indikasi untuk tata laksana operatif maka operasi sebaiknya dilakukan secepatnya untuk mencegah perburukan lebih lanjut akibat cedera kepala sekunder.

Prognosis

Prognosis pasien dengan perdarahan intraserebral traumatik tergantung dari nilai GCS awal pasca trauma, usia, volume perdarahan, ada tidaknya lesi perdarahan lainnya seperti pendarahan subdural (SDH) dan/atau pendarahan subarachnoid (SAH).

Pada pasien dengan nilai GCS <9, usia lanjut, dan volume perdarahan >50 cc, dan terdapat lesi perdarahan lainnya seperti SDH dan atau SAH, maka angka mortalitas serta morbiditas akan meningkat.[5,6]

Kesimpulan

Perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri dapat ditata laksana secara non operatif pada keadaan klinis tertentu berdasarkan CT scan kepala dan defisit neurologis. Akan tetapi, perlu dilakukan observasi fungsi neurologis dan CT scan kepala ulang sesuai klinis. Tata laksana pada perdarahan intraserebral traumatik dan kontusio serebri yang cepat dan tepat maka dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pasien. Tujuan utama dari tata laksana pada keadaan ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan otak sekunder.

Referensi