Apakah Semua Pasien Hiperkolesterolemia Perlu Mendapat Statin?

Oleh :
dr. Gilang Pradipta Permana

Pemberian obat golongan statin pada pasien hiperkolesterolemia telah menjadi suatu kebiasaan di praktik klinis. Statin dapat menurunkan kadar low-density lipoprotein (LDL), menurunkan penanda inflamasi seperti C-reactive protein, serta memperbaiki fungsi endotel. Oleh sebab itu, statin dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dislipidemia.

Meski memiliki berbagai manfaat, tidak semua pasien hiperkolesterolemia perlu mendapat statin. Pemberian obat golongan statin sebaiknya menggunakan pendekatan berbasis risiko demi mencegah overmedikasi, mengurangi risiko efek samping seperti miopati atau gangguan fungsi hati, dan memastikan penggunaan statin yang tepat guna serta cost-effective.[1,2]

Apakah Semua Pasien Hiperkolesterolemia Perlu Mendapat Statin?

Penentuan Keperluan Pemberian Statin pada Hiperkolesterolemia

Hal penting untuk menentukan perlu atau tidaknya pemberian statin, seperti simvastatin, pada hiperkolesterolemia adalah dengan penilaian faktor risiko terjadinya aterosklerosis atau penyakit kardiovaskular. Penilaian kadar kolesterol menjadi salah satu variabelnya. Salah satu pedoman yang umum digunakan dibuat oleh The American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA).

Berdasarkan pedoman ACC/AHA, sebelum memutuskan untuk meresepkan statin, dokter perlu menghitung kardiovaskular, misalnya dengan menggunakan skor Predicting Risk of Cardiovascular Disease EVENTs (PREVENT). Variabel yang dijadikan perhitungan adalah jenis kelamin, usia, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar HDL, indeks massa tubuh (IMT), laju filtrasi glomerulus (GFR), diabetes, kebiasaan merokok, konsumsi antihipertensi, dan penggunaan obat lipid-lowering, dengan interpretasi berikut:

  • Risiko rendah penyakit kardiovaskular (<5%)
  • Risiko borderline penyakit kardiovaskular (5–7,4%)
  • Risiko intermediet penyakit kardiovaskular (7,5–19,9%)
  • Risiko tinggi penyakit kardiovaskular (≥20%).[3]

Inisiasi Statin Berdasarkan Stratifikasi Risiko

Secara garis besar, statin diindikasikan pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular ≥7,5% (risiko intermediet dan tinggi).

  • Pada pasien usia 20-75 tahun dengan LDL ≥190 mg/dL, gunakan statin intensitas tinggi tanpa penilaian risiko.
  • Pada pasien diabetes usia 40-75 tahun, gunakan statin intensitas sedang (pertimbangkan intensitas tinggi jika risiko kardiovaskular tinggi).
  • Pada pasien tanpa diabetes dengan LDL 70-189 mg/dL, gunakan estimator risiko untuk menentukan intensitas statin sesuai tingkat risiko kardiovaskular (≥7,5%-20% gunakan intensitas sedang, ≥20% gunakan intensitas tinggi).

Pasien dengan risiko borderline dapat diberikan statin dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko berdasarkan skenario klinis masing-masing pasien. Pada populasi ini, penting untuk menilai faktor ‘risk enhancer’, seperti riwayat keluarga dengan penyakit aterosklerotik prematur, hiperkolesterolemia, sindrom metabolik, gangguan ginjal kronis, kondisi inflamasi kronis, dan riwayat menopause prematur.

Jika dari hasil penilaian pasien memiliki risiko rendah, maka penanganan ditekankan pada perubahan gaya hidup seperti mengontrol tekanan darah, diet, dan aktivitas fisik. Pemberian statin tanpa indikasi yang jelas dapat merugikan dalam hal biaya, sumber daya, dan terjadinya efek samping.[4,5]

Risiko Penggunaan Statin Tanpa Indikasi Yang Jelas

Penggunaan statin tanpa indikasi yang jelas pada pasien hiperkolesterolemia dapat meningkatkan risiko efek samping yang tidak seimbang dengan manfaat klinis. Efek samping yang paling sering dilaporkan meliputi miopati, nyeri otot, dan peningkatan kadar enzim hati. Di sisi lain, efek yang lebih jarang namun serius, seperti rhabdomyolysis, juga dapat terjadi.

Gangguan pada mitokondria sebagai penyedia energi di sel juga dapat terjadi karena penurunan koenzim Q10 dan heme-A. Kolesterol yang pembentukannya dihambat oleh statin bermanfaat untuk sintesis vitamin D, hormon, dan produksi garam empedu. Kadar kolesterol yang menurun pada sistem saraf pusat juga berpotensi menyebabkan gangguan neurologis.

Basis bukti ilmiah mengenai penggunaan statin menunjukkan bahwa manfaat statin signifikan terutama pada pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi. Atas dasar itu, penggunaannya pada individu berisiko rendah tidak hanya dapat menimbulkan efek samping, tetapi juga berpotensi menambah beban biaya kesehatan tanpa memberikan keuntungan klinis yang relevan.[3-6]

Kesimpulan

Tidak semua pasien dengan hiperkolesterolemia serta-merta perlu mendapat statin. Pemberian statin pada pasien hiperkolesterolemia harus didasarkan pada evaluasi menyeluruh risiko aterosklerosis atau penyakit kardiovaskular menggunakan skor PREVENT. Pasien dengan risiko tinggi atau kondisi klinis tertentu, merupakan populasi yang tepat untuk mendapat statin. Sementara itu, penanganan pada pasien risiko rendah berfokus pada modifikasi gaya hidup.

Penggunaan statin tanpa indikasi yang jelas dapat menyebabkan peningkatan risiko klinis tanpa kontribusi manfaat yang signifikan. Beberapa efek merugikan yang bisa timbul akibat konsumsi statin adalah miopati, nyeri otot, peningkatan enzim hati, serta efek samping berat seperti rhabdomyolysis. Penggunaan statin yang tidak tepat juga akan meningkatkan beban biaya kesehatan.

Referensi