Antikoagulan, Antiplatelet, dan Thrombolisis untuk Pasien Stroke

Oleh :
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S

Antikoagulan, antiplatelet, dan trombolisis merupakan tata laksana farmakologis untuk stroke iskemik yang berinteraksi dengan mekanisme koagulasi darah. Karena pentingnya peran trombosis pada patogenesis stroke iskemik, tata laksana yang berhubungan dengan hemostasis dan pembentukan bekuan darah banyak digunakan, termasuk antikoagulan, antiplatelet, dan trombolisis.[1-3]

Stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan global, sehingga memberikan beban yang tinggi, baik secara finansial maupun kualitas hidup pasien. Kondisi ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat, untuk meningkatkan prognosis. Artikel ini akan membahas peran masing-masing obat golongan antikoagulan, antiplatelet, dan trombolisis untuk penanganan stroke.[1-3]

shutterstock_1477266341-min

Peran Antikoagulan dalam Tata Laksana Stroke

Peran utama antikoagulan dalam manajemen stroke adalah sebagai pencegahan primer dan sekunder, pada pasien dengan gangguan trombotik, seperti atrial fibrilasi. Secara umum, obat antikoagulan bekerja dengan menginhibisi trombogenesis, baik dengan cara mengubah bermacam-macam jalur dari proses kaskade pembekuan darah atau dengan menargetkan trombin secara langsung yang menyebabkan berkurangnya pembentukan trombin.

Inhibitor tidak langsung (indirect) menargetkan dan berikatan pada kofaktor plasma yang terbentuk secara natural, seperti antitrombin (AT) yang mengkatalisis interaksi dengan enzim pembekuan darah. Sementara itu, inhibitor langsung (direct) menargetkan berbagai protein spesifik yang ada dalam kaskade koagulasi, misalnya saja rivaroxaban yang menghambat faktor Xa.[3,4]

Mekanisme Kerja Berbagai Antikoagulan yang Sering Digunakan dalam Tata Laksana Stroke

Beberapa jenis antikoagulan yang sering dibahas dalam tata laksana stroke antara lain heparin, fondaparinux, dan warfarin.

Heparin dikategorikan sebagai antikoagulan tidak langsung (indirect) karena membutuhkan antitrombin untuk proses inhibisi faktor pembekuan darah. Heparin memiliki bagian aktif pentasakarida yang berikatan dengan antitrombin. Ikatan ini nantinya akan memicu perubahan pada antitrombin, mempercepat inaktivasi dari faktor pembekuan darah XIIa, IXa, Xia, Xa dan thrombin.

Di sisi lain, fondaparinux merupakan analog sintetik dari pentasakarida yang terdapat pada heparin. Hal ini membuat mekanisme kerja dari fondaparinux cukup mirip dengan heparin, yaitu berikatan secara ireversibel dan selektif dengan antitrombin. Ikatan ini menghasilkan netralisasi faktor Xa, yang menginhibisi pembentukan trombin dan proses terjadinya trombus.

Warfarin merupakan agen yang tergolong dalam antagonis vitamin K. Warfarin bekerja dengan cara menginhibisi enzim vitamin K epoxy reductase yang dibutuhkan pada proses konversi vitamin K menjadi bentuk aktifnya vitamin KH2.[4]

Kapan Menggunakan Antikoagulan pada Stroke?

Antikoagulan utamanya diberikan dalam usaha mencegah serangan stroke pertama atau rekuren, terutama pada pasien dengan faktor risiko seperti atrial fibrilasi. Penggunaan antikoagulan pada stroke iskemik akut masih menjadi perdebatan. Tinjauan oleh Stroke Council of the American Heart Association menyatakan bahwa masih belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat untuk mendukung efikasi dari antikoagulan dalam tata laksana stroke iskemik. Selain itu, jaringan otak yang mengalami infark sangat rentan dan pemberian antikoagulan dapat meningkatkan risiko transformasi hemoragik yang secara langsung meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pasien.[1,5-7]

Dalam kaitan dengan DOAC, yang merupakan modalitas antikoagulan lebih baru dan secara umum tidak memerlukan pemantauan dengan pemeriksaan laboratorium, pedoman tata laksana stroke oleh American Heart Association/American Stroke Association.2018 menyatakan bahwa masih diperlukan uji klinis lebih lanjut sebelum DOAC dapat direkomendasikan sebagai monoterapi dalam kasus stroke iskemik akut.[7]

Peran Antiplatelet dalam Tata Laksana Stroke

Terdapat 2 jenis antiplatelet yang paling sering dibahas pada tata laksana stroke, yaitu aspirin dan clopidogrel. Kedua antiplatelet ini digunakan sebagai dual antiplatelet therapy pada kasus stroke iskemik akut.

Mekanisme Kerja Antiplatelet dalam Tata Laksana Stroke

Aspirin, bekerja dengan menonaktifkan siklooksigenase platelet secara ireversibel. Siklooksigenase dalam kaskade pembekuan darah merangsang sintesis dari prostaglandin dan tromboksan. Secara spesifik, melalui inaktivasi siklooksigenase, aspirin secara ireversibel menonaktifkan produksi tromboksan A2 yang merupakan activator platelet dan molekul proagregasi poten.

Clopidogrel memiliki mekanisme kerja menginhibisi secara selektif proses ikatan dari adenosin difosfat dengan reseptor P2Y12 pada platelet dan juga aktivasi dari kompleks glikoprotein IIb/IIIa yang dimediasi oleh adenosin difosfat. Hal ini akan menghambat agregasi platelet.[3,8]

Penggunaan Antiplatelet dalam Tata Laksana Stroke

Saat ini, aspirin disarankan digunakan pada stroke iskemik akut dalam 24-48 jam setelah awitan stroke. Sebagai dual antiplatelet therapy (DAPT), aspirin dan clopidogrel disarankan diberikan pada pasien dengan stroke minor selama 21 hari untuk pencegahan rekurensi stroke.[7]

Pada stroke akut, penggunaan aspirin telah diteliti secara luas. Dua uji klinis terbesar terkait hal ini adalah IST (International Stroke Trial) dan CAST (Chinese Acute Stroke Trial). Pasien diberikan 300 mg aspirin per hari pada studi IST, sedangkan pada CAST diberikan 160 mg. Analisis gabungan dari 40.000 subjek dalam kedua penelitian ini menunjukkan penurunan sangat signifikan, yaitu sebanyak 7 stroke rekuren per 1000 pasien yang diobati. Data ini menunjukkan adanya manfaat yang besar terkait inisiasi akut aspirin dalam tata laksana stroke iskemik, namun kemudian uji klinis mulai bergeser dan menunjukkan manfaat dari DAPT dengan aspirin-clopidogrel.

Clopidogrel pertama kali digunakan pada pasien dalam penelitian CAPRIE (Clopidogrel versus Aspirin in Patients at Risk of Ischemic Events). Penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien stroke, dosis clopidogrel 75 mg per hari memberikan efek yang serupa dalam menurunkan risiko stroke iskemik dibandingkan dengan aspirin 325 mg per hari.

Seiring waktu, penggunaan dual antiplatelet (DAPT) mulai disarankan untuk penanganan stroke akut. Dua uji klinis terkait DAPT adalah CHANCE (Clopidogrel in High-Risk Patients with Acute Nondisabling Cerebrovascular Events) dan POINT (Platelet-Oriented Inhibition in New TIA and Minor Ischemic Stroke). Pada CHANCE, peneliti membandingkan kombinasi dari clopidogrel (dosis inisial 300 mg, dilanjutkan 75 mg per hari selama 90 hari) dengan aspirin dosis rendah (75 mg per hari selama 3 minggu pertama) terhadap kombinasi plasebo dan aspirin dosis rendah.

Penelitian ini menemukan kejadian stroke rekuren baik yang fatal ataupun berat menurun pada kelompok DAPT, yaitu 8,2% dibandingkan 11,7% pada kelompok plasebo. Penelitian ini juga tidak menemukan adanya peningkatan angka kejadian stroke hemoragik.

Sementara itu, penelitian POINT menunjukkan hasil yang sama berupa penurunan pada risiko terjadinya gangguan iskemik pada kelompok DAPT, namun terdapat peningkatan risiko perdarahan mayor pada kelompok DAPT yaitu sebesar 0,9% jika dibandingkan dengan kelompok aspirin monoterapi yaitu 0,4% (HR, 2,45). Penelitian POINT menemukan manfaat DAPT lebih tinggi pada 7 hari pertama dan 30 hari pertama dibandingkan 90 hari, dan risiko pendarahan DAPT lebih tinggi pada hari 8-90 dibandingkan 7 hari pertama.[1,8]

Peran Trombolisis dalam Tata Laksana Stroke

Terapi trombolisis digunakan dalam beberapa kasus khusus dari stroke iskemik. Terapi trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue plasminogen alteplase) atau alteplase dapat menghancurkan atau memecah gumpalan darah yang terbentuk melalui agregasi dari platelet yang teraktivasi pada rajutan fibrin dengan cara mengaktifkan plasminogen. Secara lebih spesifik, alteplase memotong zimogen plasminogen pada ikatan peptida Arg561-Val562 untuk membentuk plasmin. Plasmin yang merupakan enzim fibrinolitik endogen ini memecah struktur ikatan silang di antara molekul fibrin yang menjadi pondasi dari gumpalan darah.[1,3,9]

Trombolisis intravena pada pasien dengan stroke iskemik akut telah dibuktikan melalui berbagai penelitian dan meta analisis mampu secara signifikan meningkatkan prognosis, terutama jika dilakukan dalam 4,5 jam dari awitan gejala stroke. Manfaat dari trombolisis ini tetap ditemukan pada pasien lanjut usia, dengan rentang keparahan gejala stroke hingga skor NIHSS 24, dan pada pasien yang memiliki diabetes mellitus dengan riwayat stroke sebelumnya.

Manfaat ini berkurang dengan penundaan dari waktu inisiasi terapi dan awitan stroke lebih dari 4,5 jam disertai dengan peningkatan angka kematian. Trombolisis intraarterial untuk pasien dengan stroke menengah hingga berat masih dapat dilakukan hingga 6 jam dari awitan pertama gejala. Namun, modalitas terapi ini masih belum disarankan secara global.[1,9,10]

Rekomendasi Penggunaan Trombolisis Intravena pada Stroke

Berdasarkan panduan American Heart Association/American Stroke Association 2018, trombolisis intravena pada stroke iskemik akut digunakan dengan cara:

  • Pemberian infus alteplase 0,9 mg/kg (dosis maksimal 90 mg) selama 60 menit, dimana 10% dari dosis diberikan secara bolus lambat dalam 1 menit
  • Jika pasien mengalami nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, dan muntah, hentikan infus dan lakukan pemeriksaan CT Scan kepala segera untuk mengevaluasi adanya perdarahan intrakranial
  • Lakukan pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan neurologis setiap 15 menit selama pemberian alteplase hingga 2 jam setelahnya. Kemudian lanjutkan pemeriksaan setiap 30 menit selama 6 jam; serta setiap jam hingga 24 jam setelah terapi alteplase

Pasien stroke iskemik akut dianggap layak untuk mendapat alteplase jika:

  • Usia: ≥18 tahun. Juga direkomendasikan pada pasien berusia > 80 tahun jika digunakan dalam 3 jam setelah awitan gejala
  • Tingkat keparahan: Untuk stroke berat dan stroke ringan dengan gejala yang menyebabkan disabilitas
  • Kondisi klinis khusus: Usia ≤ 80 tahun, tanpa riwayat stroke dan diabetes mellitus sebelumnya, skor NIHSS ≤25, tidak mengonsumsi obat antikoagulan oral, dan cedera iskemik tidak melibatkan lebih dari 1/3 teritori arteri serebral media
  • Tekanan darah: <185/110 mmHg (dapat dibantu dengan obat antihipertensi)
  • Glukosa darah: Kadar glukosa sewaktu > 50 mg/dl
  • Terapi antiplatelet: Alteplase dapat digunakan pada pasien yang mengonsumsi antiplatelet monoterapi atau DAPT dengan pertimbangan bahwa manfaat melebihi risiko klinis
  • Gangguan ginjal: Alteplase dapat digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal berat yang menjalani hemodialisis dengan aPTT yang normal.

Alteplase tidak direkomendasikan pada:

  • Pasien stroke iskemik dengan awitan gejala melebihi 4,5 jam
  • Terdapat perdarahan intrakranial pada gambaran CT Scan kepala atau riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya
  • Memiliki riwayat stroke iskemik, cedera kepala berat, ataupun operasi intraspinal atau intrakranial dalam 3 bulan terakhir
  • Memiliki keganasan gastrointestinal atau perdarahan gastrointestinal dalam 21 hari terakhir
  • Pasien dengan koagulopati
  • Penggunaan low molecular weight heparin dalam 24 jam
  • Penggunaan DOAC dalam 48 jam terakhir
  • Pasien dengan endokarditis infektif, diseksi arkus aorta, atau neoplasma intraaksial intrakranial[7]

Kesimpulan

Pada stroke iskemik, terjadi oklusi pada pembuluh darah yang menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Terapi dengan trombolisis, antiplatelet, dan antikoagulan diharapkan mampu memodulasi oklusi sehingga memperbaiki defisit neurologis pasien dan mencegah rekurensi.

Saat ini, terapi trombolisis dengan alteplase adalah terapi yang disarankan pada pasien dengan stroke iskemik akut. Antiplatelet dapat digunakan sebagai dual antiplatelet therapy (DAPT) menggunakan aspirin dan clopidogrel untuk mencegah rekurensi. Sementara itu, antikoagulan tidak disarankan pada kasus stroke iskemik akut. Antikoagulan dapat digunakan sebagai pencegahan serangan stroke pertama atau rekurensi pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya pasien dengan atrial fibrilasi.

Referensi