Terapi Trombolitik pada Stroke Iskemik

Oleh :
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S

Terapi trombolitik pada stroke iskemik mampu mengembalikan aliran darah pada area hipoperfusi dan, sebagai konsekuensinya, memperbaiki defisit neurologis pasien. Terapi trombolitik menargetkan penumbra iskemik, yaitu area yang mengalami hipoperfusi dan gangguan fungsi akibat oklusi pembuluh darah, tetapi tidak mengalami kerusakan permanen.

Apabila oklusi aliran darah dihilangkan, area penumbra iskemik dapat berfungsi secara normal kembali. Sayangnya, tidak seluruh kasus stroke iskemik dapat diberi terapi trombolitik. Beberapa kriteria inklusi dan eksklusi perlu dipahami tenaga medis dalam pelaksanaan terapi trombolitik.[1]

shutterstock_1023848881-min

Trombolitik sebagai Terapi Stroke Iskemik

Stroke iskemik diduga terjadi akibat hipoperfusi pada area penumbra otak sehingga mengalami hipoksia dan kehilangan fungsi sementara. Disfungsi tersebut dapat menjadi ireversibel apabila pembuluh darah yang mengalami oklusi tidak segera direkanalisasi, mengakibatkan nekrosis permanen. Lokasi oklusi inilah yang menjadi target terapi trombolitik.[1]

Terapi trombolitik yakni alteplase atau recombinant tissue plasminogen alteplase (rt-PA) intravena pertama kali diperkenalkan pada tahun 1995 oleh National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) sebagai terapi stroke akut.

NINDS melaporkan keberhasilan penggunaan rt-PA dalam 3 jam onset stroke iskemik akut pada setidaknya 30% penderita dengan disabilitas minimal atau tidak ada dalam kurun waktu 3 bulan pasca terapi. Studi tersebut berhasil mengubah paradigma dalam penatalaksanaan stroke.[1-3]

Penggunaan terapi trombolitik dinilai sangat bermanfaat dalam penanganan stroke iskemik akut dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan terapi ini. Studi Coordinating Options for Acute Stroke Therapy (COAST) memaparkan bahwa penggunaan alteplase dalam 3 jam pertama mampu menghasilkan kualitas hidup lebih baik dibandingkan pasien kontrol, disertai waktu perawatan lebih singkat dan menurunnya morbiditas. Performa dalam melakukan aktivitas sehari-hari juga tampak lebih baik pada pasien yang mendapat terapi trombolitik.[4]

Kriteria Inklusi dan Eksklusi Terapi Trombolitik

Banyak studi telah menunjukkan bahwa terapi trombolitik yang diberikan dalam kurun waktu < 4,5 jam dari onset stroke bermanfaat bagi pasien stroke iskemik, baik dalam mempercepat resolusi gejala maupun menurunkan morbiditas.

Namun, terapi ini juga membawa risiko, misalnya peningkatan risiko perdarahan intrakranial. Penggunaan terapi trombolitik dalam 3-4,5 jam pasca onset stroke juga masih belum diperkenankan oleh FDA.[3]

Kriteria Inklusi Terapi Trombolitik

Apabila memenuhi syarat, seluruh pasien stroke iskemik akut harus mendapatkan alteplase intravena (IV r-tPA). Kriteria inklusi meliputi:

  • Terdiagnosis stroke iskemik dengan defisit neurologis bermakna
  • Terapi diberikan dalam 4,5 jam setelah onset
  • Usia ≥ 18 tahun[5,6]

Kriteria Eksklusi

Secara umum, terdapat beberapa kriteria eksklusi dalam pemberian terapi trombolitik pada stroke antara lain :

  • Adanya perdarahan intrakranial

  • Gejala mengarah pada perdarahan subarakhnoid
  • Perdarahan internal aktif
  • Riwayat pembedahan intrakranial atau intraspinal atau trauma kepala berat dalam 3 bulan terakhir yang meningkatkan risiko perdarahan
  • Kondisi diathesis perdarahan: hitung platelet < 100.000/mm3, mendapat heparin dalam 24 jam sehingga aPTT meningkat, sedang mengonsumsi antikoagulan dengan INR >1,7 atau PT > 15 detik, atau sedang menggunakan penghambat thrombin maupun penghambat faktor Xa
  • Hipertensi tidak terkontrol derajat berat

  • Neoplasma atau aneurisma intrakranial
  • Konsentrasi glukosa darah < 50 mg/dl
  • CT scan kepala menunjukkan infark multilobus

Sementara itu, pemberian terapi trombolitik pada beberapa kondisi berikut perlu menimbang rasio manfaat dan risiko secara seksama:

  • Gejala stroke ringan atau minor atau membaik secara spontan
  • Kehamilan
  • Kejang saat onset dengan gangguan neurologis residual postiktal
  • Riwayat bedah mayor atau trauma serius dalam 14 hari sebelum onset
  • Riwayat perdarahan gastrointestinal atau saluran kemih dalam 21 hari sebelum onset
  • Riwayat infark miokard akut dalam 3 bulan sebelum onset[5,6]

Kontraindikasi Terapi Trombolitik

Kebanyakan kontraindikasi terapi trombolitik intravena berasal dari kriteria eksklusi yang digunakan untuk menyeleksi pasien stroke iskemik. Kontraindikasi ini didapatkan dari konsensus ahli, utamanya National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS).

Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial yang dimaksud antara lain perdarahan intraparenkim, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, hematoma epidural, hematoma subdural, ataupun transformasi hemoragik.

Hingga kini, belum ada bukti ilmiah terkait keamanan dari penggunaan alteplase pada pasien dengan riwayat perdarahan intrakranial. Peningkatan risiko efek samping perdarahan diduga berkaitan dengan berbagai faktor individual pasien, seperti onset, etiologi dan terapi definitif yang telah dilakukan, adanya hematoma saat evakuasi pembedahan, dan volume dari ensefalomalasia. Perdarahan intrakranial adalah kontraindikasi absolut terapi trombolitik, karena risikonya jelas melebihi manfaatnya.

Selain dari perdarahan intrakranial yang akut, riwayat perdarahan juga dijadikan kontraindikasi absolut terapi trombolitik. Tetapi, perdarahan mikro tidak semerta-merta menjadi kontraindikasi terapi trombolitik. Pada keadaan perdarahan mikro, maka keputusan harus diambil berdasarkan klinis masing-masing pasien.[7]

Hipertensi Derajat Berat yang tidak Terkontrol

Hipertensi tidak terkontrol dengan tekanan sistolik melebihi 185 mmHg atau diastolik melebihi 110 mmHg merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik. Hipertensi dihubungkan dengan prognosis yang buruk dan peningkatan risiko terjadinya perdarahan.[7]

Trauma Kepala Berat atau Stroke dalam 3 Bulan Terakhir

Infark serebral pasca trauma dilaporkan pada 2-10% pasien dengan cedera otak traumatik berat. Pemberian trombolitik pada populasi ini dapat berakibat buruk karena pasien dengan trauma bisa mengalami koagulopati.

Cedera sistemik dan fraktur bisa meningkatkan risiko komplikasi perdarahan sistemik. Kontusio serebri, fraktur tengkorak, dan cedera akson difus juga akan meningkatkan risiko perdarahan intrakranial.[7]

Trombositopenia dan Koagulopati

Pada kasus kecurigaan trombositopenia, nilai trombosit pasien sebaiknya dipastikan tidak kurang dari 100.000/mm3. Efek dari pemberian terapi trombolitik pada pasien dengan trombositopenia masih belum diketahui pasti.

Pada sebuah studi yang melibatkan 14.306 pasien, 20 pasien memiliki hitung platelet <100.000/mm3 dan mendapat terapi trombolitik untuk stroke. Dari jumlah tersebut, 1 orang dilaporkan mengalami perdarahan intrakranial.

Kondisi koagulopati bisa dialami penderita yang mengonsumsi obat yang mempengaruhi koagulasi dalam jangka panjang atau pada penderita sirosis hepatis, penyakit ginjal stadium akhir, keganasan hematologi, defisiensi vitamin K, sepsis, dan sindrom antibodi antifosfolipid.

Penggunaan Low Molecular-Weight Heparin (LMWH), inhibitor thrombin langsung seperti dabigatran dan argatroban, serta inhibitor faktor Xa seperti apixaban dan rivaroxaban juga berpengaruh terhadap peningkatan resiko perdarahan.[7]

Hipoglikemia atau Hiperglikemia Berat

Penilaian gula darah perlu dilakukan sebelum melakukan terapi trombolitik. Hal ini bertujuan untuk memastikan diagnosis karena gejala hipoglikemia dan hiperglikemia berat bisa menyerupai stroke. Selain itu, keadaan hipo dan hiperglikemia juga dapat memperburuk iskemia otak.

Hingga kini, belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk mengetahui pasti efek hipo dan hiperglikemia terhadap terapi trombolitik pada stroke iskemik. Namun, pedoman tata laksana yang ada mencantumkan keadaan ini sebagai kontraindikasi terapi trombolitik.[6,7]

Stroke Ringan atau Stroke dengan Gejala yang Membaik Spontan

Selama ini, stroke ringan yang dinilai dengan National Institutes of Health Stroke Scale ≤ 4, atau stroke dengan gejala yang membaik secara spontan menjadi kontraindikasi relatif dari prosedur trombolitik. Namun, data-data dari penelitian terbaru menunjukkan bahwa 20-30% pasien dari populasi ini dan menjalani prosedur trombolitik mengalami kecacatan yang signifikan dalam kurun waktu 3 bulan.

Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada penelitian yang dapat membuktikan apakah kecacatan yang dialami pasien merupakan efek langsung dari prosedur trombolitik atau disebabkan oleh komplikasi penyakit yang dialami.

Hingga terdapat data yang lebih jelas mengenai prognosis prosedur trombolitik pada pasien dengan stroke ringan atau dengan gejala yang membaik, disarankan bagi dokter untuk mengambil keputusan dengan pertimbangan individual.[7]

Kontraindikasi Relatif

Salah satu kontraindikasi relatif terapi trombolitik adalah usia > 80 tahun. Studi yang ada menunjukkan bahwa luaran yang baik didapatkan lebih sedikit dan mortalitas didapatkan lebih tinggi pada pasien stroke iskemik yang mendapatkan terapi trombolitik dan berusia > 80 tahun. Tetapi, keputusan terkait penggunaannya tetap berdasarkan klinis masing-masing pasien.

Kontraindikasi relatif lain mencakup stroke berat hingga koma, riwayat pembedahan mayor, riwayat pungsi arterial, perdarahan saluran cerna dan kemih, kejang saat onset, infark miokard dalam waktu dekat, lesi struktural pada sistem saraf pusat, dan dementia.[7]

Kesimpulan

Terapi trombolitik pada stroke iskemik menargetkan penumbra iskemik. Pada penumbra iskemik, terjadi hipoperfusi dan gangguan fungsi akibat oklusi pembuluh darah, tetapi belum ada kerusakan permanen. Apabila oklusi aliran darah dihilangkan, area penumbra iskemik dapat berfungsi secara normal kembali.

Apabila memenuhi syarat, seluruh pasien stroke iskemik akut harus mendapatkan terapi trombolitik. Kriteria inklusi pemberian terapi ini adalah pasien yang didiagnosis stroke iskemik dengan defisit neurologis bermakna, diberikan dalam 4,5 jam setelah onset, dan berusia ≥ 18 tahun.

Terapi trombolitik tidak disarankan jika ada perdarahan intrakranial, gejala mengarah pada perdarahan subarakhnoid, terdapat perdarahan internal aktif, riwayat pembedahan intrakranial atau intraspinal atau trauma kepala berat dalam 3 bulan terakhir, kondisi diathesis perdarahan, hipertensi tidak terkontrol derajat berat, neoplasma atau aneurisma intrakranial, konsentrasi glukosa darah < 50 mg/dl, dan CT scan kepala menunjukkan infark multilobus.

 

 

Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja

Referensi