5 Alasan Tidak Perlu Mengobati Demam

Oleh :
dr. ALOMEDIKA

Sangat disayangkan banyak dokter terobsesi untuk mengobati demam dibandingkan berkonsentrasi pada proses infeksi yang menyebabkan demam itu sendiri. Padahal, bukti yang berasal sejak zaman Hippocrates telah menunjukkan bahwa demam adalah bagian yang bermanfaat dari respon imun dan berperan dalam meningkatkan kesintasan, sehingga demam itu sendiri tidak perlu diobati melainkan penyebab yang mendasari lah yang perlu dikelola dengan tepat.

Perlu diperjelas bahwa artikel ini membahas alasan tidak mengobati gejala demam. Namun penyakit yang menyebabkan demam, terutama infeksi bakteri, harus tetap diobati.

5 Alasan Tidak Perlu Mengobati Demam-min

1. Demam Meningkatkan Kesintasan pada Kasus Infeksi

Demam merupakan respons inang kuno terhadap infeksi. Semua mamalia dan banyak hewan lain seperti reptil dan ikan akan mengalami demam atau menaikkan suhu tubuh mereka sebagai bagian dari respon imun terhadap infeksi.[1-3]

Studi pada Hewan

Studi dari tahun 1970-an pada hewan menunjukkan bahwa hewan dan manusia yang dibiarkan mengalami demam sebagai respons terhadap infeksi patogen memiliki kesintasan yang lebih baik. Kluger et al pada tahun 1975 menyuntikkan 140 kadal dengan Aeromonas hydrophilia yang berpotensi fatal dan menempatkan subjek dalam tangki yang diatur pada berbagai suhu.

Pada suhu rendah 34-36°C, tidak ada satupun kadal yang bertahan. Pada suhu netral 38°C yang merupakan suhu tubuh kadal normal, hanya 25% yang bertahan. Namun, pada suhu tinggi 40-42°C, terdapat 75% kadal yang bertahan. Ini menunjukkan bahwa kadal yang mampu menaikkan suhu tubuhnya memiliki kesintasan yang meningkat dari infeksi.[1]

Studi pada Manusia

Juga pada tahun 1975, Stanley dan Jackson dari University of Illinois, Amerika Serikat menyuntik 45 relawan sehat dengan rhinovirus. Sebagian dari relawan diberi aspirin sebagai antipiretik dan sebagian lainnya diberi plasebo. Dalam studi ini, manfaat pemberian aspirin tidak signifikan secara statistik, tetapi mereka yang mendapat aspirin memiliki peningkatan yang signifikan dalam virus shedding yang memperpanjang penyakit dan meningkatkan risiko penularan pada orang lain yang berkontak dengan pasien.[2]

Dalam uji klinis buta ganda lain di tahun 1990, 56 sukarelawan yang terinfeksi rhinovirus dibagi menjadi 4 kelompok yaitu paracetamol, aspirin, ibuprofen, dan plasebo. Studi ini juga menunjukkan hasil serupa dengan studi sebelumnya, yakni tidak ada perbaikan klinis yang signifikan tetapi didapatkan peningkatan viral shedding dan penurunan antibodi penetral pada kelompok paracetamol dan aspirin.[3]

Demam meningkatkan fungsi sistem imun bawaan, dengan peningkatan marjinalisasi dan migrasi neutrofil ke lokasi infeksi untuk menimbulkan fagositosis dan membunuh bakteri.

2. Antipiretik dan Demam Disebabkan oleh Vaksin

Demam adalah bagian dari respon imun normal setelah vaksinasi, tetapi dokter dan orang tua sering merasa khawatir tentang demam, terutama kaitannya dengan kejang demam. Untuk mengurangi rasa takut ini, pengobatan profilaksis dengan antipiretik sering direkomendasikan.

Prymula et al mempelajari luaran klinis terkait pemberian paracetamol profilaksis terhadap respons imun dan reaksi demam pada vaksin dalam uji klinis label terbuka yang melibatkan 459 bayi sehat. Demam di atas 38°C berkurang pada kelompok paracetamol 42% dibandingkan dengan kelompok plasebo 66%. Namun, produksi antibodi kelompok paracetamol untuk berbagai vaksin secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.[4]

Beberapa penelitian serupa yang dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan melaporkan hasil yang sama, yakni penurunan respon demam dan juga penurunan respon antibodi ketika pasien mendapat profilaksis paracetamol. Tetapi yang menarik, Prymula menindaklanjuti anak-anak dalam studi mereka hingga 4 tahun dan menemukan bahwa meskipun respons antibodi awal tampak diturunkan oleh paracetamol, ketika respons imun diinduksi hingga 28 bulan kemudian, respons imunologis dari sel memori tidak terpengaruh.[5]

Perlu dicatat bahwa studi yang ideal untuk menilai apakah profilaksis paracetamol dan pengobatan demam setelah imunisasi mempengaruhi kemanjuran vaksin untuk mencegah penyakit akan memerlukan uji klinis acak dengan sampel yang sangat besar dan pemantauan hingga massa dewasa untuk menilai perbedaan kejadian penyakit antara 2 kelompok, sehingga penelitian ini akan sangat sulit untuk dilakukan.

Meski demikian, dokter perlu sadar bahwa bukti yang ada menunjukkan paracetamol memang menurunkan respons antibodi awal terhadap vaksin tetapi memori imunologis tampak tidak terganggu saat dilakukan induksi pada anak usia dini. Ini mengindikasikan bahwa paracetamol dapat diberikan jika anak merasa tidak nyaman dengan gejala pasca vaksin tanpa menghasilkan dampak yang signifikan terhadap efikasi vaksin.

3. Populasi dengan Angka Penggunaan Paracetamol yang Tinggi Memiliki Risiko Lebih Tinggi Mengalami Infeksi Virus dan Mortalitas

Paracetamol mudah didapat dan sering diresepkan di Indonesia untuk meredakan gejala demam. Efek populasi dari penggunaan antipiretik yang tinggi di masyarakat ini diduga cenderung serupa dengan populasi dimana paracetamol juga mudah didapatkan.

Dalam sebuah studi tahun 2014 di Kanada, didapatkann bahwa orang yang menggunakan paracetamol selama infeksi influenza memiliki virus shedding yang lebih panjang, sehingga lebih mungkin meninggalkan rumah dan menyebarkan virus ke orang lain. Dalam studi ini, peneliti menghitung bahwa menghindari penggunaan paracetamol selama wabah flu dapat menyelamatkan 40.000.000 nyawa di seluruh dunia. Namun, temuan ini telah dilupakan selama epidemi influenza selanjutnya dan COVID-19.[6]

4. Demam Tidak Menyebabkan Kerusakan Otak

Demam merupakan respon fisiologis terhadap stimulus internal seperti infeksi, imunisasi, atau proses inflamasi lainnya dan karenanya tidak menyebabkan kerusakan otak. Beberapa dokter mungkin menganggap demam sama dengan heat stroke.

Heat stroke disebabkan oleh faktor eksternal yang menimbulkan peningkatan suhu tubuh, seperti aktivitas fisik berlebihan saat cuaca panas, anak yang terkunci dalam mobil, atau pekerja di lingkungan yang panas dan tertutup. Heat stroke ditandai dengan konfusi, rhabdomyolysis, dan dapat berakhir dengan kegagalan multiorgan hingga kematian jika tidak diterapi. Dokter perlu membedakan demam dan heat stroke, karena demam tidak menyebabkan kerusakan otak atau organ lain seperti heat stroke.[7]

5. Mengobati Demam Tidak Mencegah Kejang Demam

Kejang demam terjadi pada 5% anak usia 6 bulan hingga 6 tahun. Kejang demam memang menakutkan bagi orangtua dan masyarakat awam, tetapi sebetulnya bersifat jinak dan anak akan berkembang sama dengan anak lain yang tidak mengalami kejang demam. Sekitar 1 dari 3 anak dengan riwayat kejang demam akan mengalami setidaknya satu episode kejang demam lagi.

Dalam tinjauan Cochrane tahun 2021, yang melibatkan lebih dari 4000 anak dari 42 uji klinis, didapatkan bahwa pemberian antipiretik seperti paracetamol dan ibuprofen tidak menurunkan risiko kejang demam. Studi ini juga melaporkan bahwa pemberian obat antiepilepsi seperti diazepam dan phenobarbital, baik kontinu ataupun intermiten, juga tidak menghasilkan penurunan signifikan terhadap rekurensi kejang demam tetapi berkaitan dengan angka efek samping sebesar 30%.[8]

Paracetamol dan obat antipiretik lainnya tidak mencegah kejang demam. Hal ini akan menjadi masuk akal jika dokter merujuk pada patofisiologi kejang demam, yakni perubahan mendadak atau lonjakan suhu selama tahap perkembangan anak dimana ambang kejang mereka rendah.[9]

Kesimpulan

Demam merupakan gejala yang paling sering disebabkan oleh infeksi dan berperan meningkatkan fungsi sistem imun bawaan, meningkatkan marginalisasi dan aktivasi sel darah putih terutama neutrofil. Adanya demam telah dikaitkan dengan peningkatan luaran klinis pada orang dengan infeksi. Di sisi lain, pemberian antipiretik telah dikaitkan dengan pemanjangan virus shedding dan peningkatan risiko penularan.

Dogma yang lazim di kalangan dokter, seperti demam menyebabkan kerusakan otak dan demam perlu diobati untuk mencegah kejang demam, tidak didukung oleh dasar ilmiah. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Hippocrates telah memahami bahwa demam memiliki peran penting dalam penanganan infeksi dengan kutipan "Beri saya kekuatan untuk membuat demam, dan saya akan menyembuhkan penyakit apa pun”.

Antipiretik seperti paracetamol dapat diresepkan untuk pasien dengan demam jika menimbulkan ketidaknyamanan atau mengalami peningkatan kebutuhan metabolik. Namun, perlu ditekankan bahwa pengobatan kondisi yang mendasari demam lebih penting daripada mengkhawatirkan peningkatan suhu itu sendiri.

Referensi