Pilihan Terapi Simtomatis untuk KIPI Vaksinasi COVID-19

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Pilihan terapi simtomatis untuk kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI COVID-19 harus dipahami tenaga medis agar dapat memberikan edukasi dan pengertian kepada masyarakat. Sebagian besar KIPI COVID-19 bergejala ringan hingga sedang, dan dapat diobati dengan terapi simtomatik seperti paracetamol. KIPI dapat disebabkan oleh reaksi tubuh untuk membangun imunitas, mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang bebas dari KIPI.[1]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Sekilas Mengenai Tujuan Vaksinasi COVID-19

Infeksi virus SARS-CoV-2 telah menjadi masalah kesehatan global, hingga WHO telah menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya bersama untuk mengendalikan laju penularan penyakit, di mana salah satunya adalah dengan menerapkan protokol kesehatan dan meningkatkan imunitas pejamu dengan melakukan vaksinasi.[2]

Infeksi COVID-19 memiliki manifestasi klinis yang beragam, dari asimtomatis hingga gejala berat yang mengancam nyawa. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa vaksinasi dapat menurunkan risiko penularan COVID-19, dan dapat menurunkan keparahan penyakit jika terinfeksi virus SARS CoV-2.[2]

Pilihan Terapi Simptomatis untuk KIPI Vaksinasi COVID19-min

Dengan demikian, program vaksinasi diharapkan dapat mengatasi pandemi COVID-19. Edukasi yang baik kepada masyarakat akan membantu program vaksinasi COVID-19 berjalan dengan lancar, sehingga terbentuk herd immunity.[4]

Definisi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Dalam setiap vaksinasi, efek samping atau KIPI merupakan hal yang tidak terpisahkan. Kementerian Kesehatan mendefinisikan KIPI sebagai semua kejadian medis yang terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian, dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Secara umum KIPI dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

  • Reaksi lokal, misalnya nyeri atau kemerahan di area suntikan
  • Reaksi sistemik, seperti demam, nyeri sendi, badan lemas, atau sakit kepala
  • Reaksi lain, termasuk pingsan, urtikaria, dan anafilaksis[3]

Efek samping setelah suntikan vaksin kedua mungkin lebih intens daripada suntikan pertama. Berdasarkan CDC, efek samping lokal maupun sistemik yang bukan reaksi anafilaksis ini adalah tanda normal bahwa tubuh sedang membangun perlindungan dan akan hilang dalam beberapa hari.[4]

Demam Pasca Vaksinasi

Demam dianggap sebagai respons tubuh yang memfasilitasi mekanisme pertahanan imunologis efektif terhadap rangsangan internal dan eksternal. Demam yang timbul pasca vaksinasi sepertinya menandakan aktivasi mekanisme kekebalan tubuh.  Respon neurologis dan imun tubuh menyebabkan sitokin endogen di leukosit, seperti interleukin 1 beta (IL-1β), IL-6, dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α), memediasi peningkatan kadar prostaglandin-E2 (PGE2) dan kenaikan set point termoregulasi hipotalamus anterior.[10]

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi COVID-19

Saat ini, di Indonesia telah beredar berbagai macam vaksin COVID-19, di antaranya vaksin Sinovac atau CoronaVac, vaksin AstraZeneca, vaksin Pfizer, dan vaksin Moderna.[6]

KIPI Vaksin Sinovac

Vaksin BBIBP atau Coronavac, yang lebih dikenal dengan sebutan vaksin Sinovac, adalah inactivated vaccine yang menggunakan virus yang dilemahkan. Studi oleh Xia et al. menyatakan bahwa nyeri pada lokasi suntikan merupakan KIPI yang paling sering didapatkan independen terhadap dosis yang diberikan. Reaksi lain adalah bengkak di lokasi suntikan,  demam, nyeri kepala, diare, dan nyeri sendi.[4]

KIPI Vaksin AstraZeneca

Vaksin AstraZeneca mengandung recombinant adenovirus vector SARS-COV-2 (ChAdOx 1), dan memiliki sinonim vaksin AZD-1222 atau vaxzevria. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah nyeri tekan di tempat suntikan (63,8%), nyeri tempat suntikan (54,3%), sakit kepala (52,7%), fatigue (53,0%), mialgia (43,9%), malaise (44,4%), demam (33,5%), demam >38°C (7,6%), menggigil (32,2%), artralgia (26,6%), dan mual (22,2%).[5]

Pada pemberian vaksin ini, telah dilaporkan KIPI serius yaitu vaccine induced thrombotic thrombocytopenia. Kasus yang sangat jarang ini umumnya terjadi dalam waktu 21 hari setelah penyuntikan.[6]

KIPI Vaksin Moderna

Vaksin pikevac (mRNA 1273) merupakan vaksin berbasis mRNA, dan sering disebut sebagai vaksin Moderna. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah nyeri di tempat suntikan (92%), kelelahan (70%), sakit kepala (64,7%), mialgia (61,5%), artralgia (46,4%), menggigil (45,4%), mual/muntah. (23%), pembengkakan/nyeri ketiak (19,8%), demam (15,5%), pembengkakan tempat suntikan (14,7%) dan kemerahan (10%).[7]

Secara keseluruhan, insiden efek samping lebih tinggi pada orang dewasa berusia 18‒<65 tahun daripada yang berusia 65 tahun ke atas. Selain itu, lebih banyak dilaporkan setelah penyuntikan kedua.[7]

KIPI Vaksin Pfizer

Vaksin BNT162b2  merupakan vaksin mRNA yang sering disebut sebagai vaksin Pfizer. Efek samping yang paling sering terjadi pada peserta berusia >16 tahun adalah nyeri di tempat suntikan (>80%), fatigue (>60%), sakit kepala (>50%), mialgia (>30%), kedinginan (>30 %), artralgia (>20%), serta pireksia dan pembengkakan tempat suntikan (>10%).[8]

Sedangkan efek samping yang paling sering terjadi pada remaja usia 12‒15 tahun adalah nyeri tempat suntikan (>90%), kelelahan dan sakit kepala (>70%), mialgia dan kedinginan (>40%), serta artralgia dan pireksia (>20%).[8]

Penanganan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi 

Semua vaksin COVID-19 yang beredar di Indonesia memiliki KIPI yang mayoritas ringan, seperti flu like syndrome. Langkah yang harus dilakukan sebelum melakukan vaksinasi adalah memberikan edukasi tentang kemungkinan terjadi KIPI, dan bagaimana cara melaporkannya. KIPI yang dilaporkan ke tenaga kesehatan kemudian akan diteruskan ke Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan KIPI.  [5]

Sesuai anjuran CDC dan Kementerian Kesehatan, efek samping setelah vaksin COVID-19 dapat ditangani secara nonfarmakologis dan farmakologis.[4,5]

Penanganan Nonfarmakologis KIPI Ringan Sedang

Tata laksana nonfarmakologis untuk reaksi lokal adalah memberikan kompres dingin menggunakan kain bersih dan basah pada area suntikan untuk mengurangi nyeri, bengkak, dan kemerahan. Selain itu, menggerakkan lengan yang disuntik dapat mengurangi rasa nyeri.[4,5]

Pada reaksi sistemik seperti demam, tata laksana nonfarmakologis yang dapat dilakukan adalah minum cairan lebih banyak, yaitu sekitar 13% setiap kenaikan 1 0C. Pasien juga dianjurkan untuk menggunakan pakaian yang nyaman dan tidak terlalu tebal.[1,9]

Penanganan Farmakologis KIPI Ringan Sedang

Tata laksana farmakologis adalah memberikan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti paracetamol, ibuprofen, atau aspirin, selama tidak ada kontraindikasi untuk mengonsumsi obat tersebut.[1,3]

Penanganan Farmakologis KIPI Berat

Setiap orang yang telah divaksin dianjurkan untuk tetap di tempat selama 30 menit, untuk observasi kemungkinan terjadinya KIPI berat. Jika KIPI berat terjadi di luar periode observasi 30 menit, pasien dianjurkan untuk segera mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan agar mendapatkan pelayanan dengan cepat.[11]

Di Indonesia, petugas kesehatan bertanggung jawab untuk melaporkan KIPI. Pelaporan dapat dilakukan secara daring melalui http://keamananvaksin.kemkes.go.id atau melalui dinas kesehatan.[11]

Paracetamol sebagai Terapi Simtomatis KIPI

Untuk meredakan demam dan nyeri pasca vaksinasi Covid-19, kementerian Kesehatan menganjurkan pemberian paracetamol sesuai dosis. Dosis paracetamol adalah 15 mg/kgBB/dosis, dapat diberikan 3‒4 kali/hari, dengan dosis maksimum 4 gram/24 jam.

Hingga saat ini, berbagai organisasi kesehatan tidak merekomendasikan pemberian paracetamol sebagai upaya profilaksis demam dan nyeri. Belum ada cukup penelitian mengenai pengaruh paracetamol terhadap pencegahan KIPI COVID-19 saat ini, tetapi terdapat informasi dari penelitian vaksin lain, yaitu vaksin kombinasi difteri pertusis tetanus (DPT), Hepatitis B, dan Haemophilus Influenzae.[4,11,12]

Sil et al dalam uji klinis di India melaporkan bahwa pemberian paracetamol sebagai upaya preventif mencegah KIPI pada populasi balita tidak memiliki efek terhadap respons imun akibat vaksinasi, dan pemberiannya lebih ditujukan untuk mengurangi angka drop-out akibat KIPI. Oleh karena itu, penggunaan paracetamol dapat digunakan tidak untuk mencegah, melainkan mengobati KIPI setelah penyuntikan.[12]

Keunggulan Paracetamol untuk Terapi Simtomatis KIPI

Paracetamol memiliki keunggulan daripada OAINS lain untuk mengobati gejala KIPI, misalnya aman digunakan pada semua kelompok umur, termasuk lansia >70 tahun. Selain itu, paracetamol dan dapat digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal, hipertensi, gastroesophageal reflux disease (GERD), atau perdarahan saluran cerna. Paracetamol memiliki lebih sedikit efek samping atau kontraindikasi jika dibandingkan OAINS lain, seperti ibuprofen atau asam mefenamat.[13]

Penelitian oleh Clarke et al pada tahun 2008 memberikan hasil bahwa paracetamol lebih aman dan cocok untuk digunakan oleh sebagian besar populasi umum, tanpa memerlukan konsultasi medis. Proporsi pasien yang tidak mengalami kontraindikasi, peringatan, atau tindakan pencegahan terhadap penggunaan paracetamol adalah 98%, jika dibandingkan dengan penggunaan Aspirin (83%) dan ibuprofen (77%).[13]

Kesimpulan

Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan pandemi COVID-19. Mengingat vaksinasi merupakan salah satu upaya melatih kekebalan tubuh dengan memasukkan zat imunogenik, maka risiko terjadinya efek samping atau KIPI tidak dapat dihindarkan. Semua vaksin yang beredar di Indonesia memiliki risiko terjadinya KIPI. Dari penelitian yang telah dilakukan, reaksi lokal berupa nyeri, bengkak, kemerahan di lokasi suntikan merupakan reaksi yang paling sering didapatkan. Reaksi sistemik yang paling sering didapatkan adalah demam.

Kementerian Kesehatan maupun CDC telah mengeluarkan berbagai pedoman untuk mengatasi KIPI, baik secara farmakologis dan nonfarmakologis. Untuk mengatasi nyeri dan demam, pemberian paracetamol lebih diutamakan karena memiliki profil yang lebih aman.

Menurut WHO, paracetamol tidak direkomendasikan sebagai profilaksis KIPI, karena belum ada cukup bukti yang mendukung hal tersebut. Sedangkan untuk terapi KIPI, penelitian terdahulu terkait vaksin DPT, hepatitis B, dan haemophilus influenzae menunjukkan bahwa paracetamol tidak mengurangi imunogenisitas vaksin. Paracetamol efektif dalam manajemen gejala KIPI, karena dapat memberikan rasa nyaman, mengurangi angka drop out vaksinasi, mudah didapat, dan tidak mahal.

 

Konten ini dibuat dan telah direview oleh Tim Alomedika.

Referensi