Pemilihan Antihistamin untuk Rhinitis Alergi

Oleh :
dr.Saphira Evani

Antihistamin adalah farmakoterapi lini pertama pada rhinitis alergi. Rhinitis alergi, penyakit respirasi yang sangat banyak ditemukan di praktik, adalah peradangan pada mukosa nasal yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Interaksi alergen dengan IgE dan kompleks reseptor akan mengaktivasi pelepasan mediator inflamasi, salah satunya histamin, yang menimbulkan gejala-gejala alergi. Tatalaksana rhinitis alergi meliputi menghindari alergen pencetus, pemberian antihistamin, kortikosteroid, atau imunoterapi jika pasien tidak berespon adekuat dengan tata laksana lain. [1,2]

Patofisiologi Rhinitis Alergi dan Peran Antihistamin

Patofisiologi rhinitis alergi didahului dengan proses sensitisasi alergen yang menghasilkan allergen-specific imunoglobulin E (IgE). Ketika individu yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen tertentu, akan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin terutama oleh sel mast dan basofil.

Respon radang yang timbul akibat pelepasan mediator akan memberikan gejala klasik rhinitis alergi berupa kongesti nasal, rhinorrhea, hidung terasa gatal, dan bersin. Gejala lain yang dapat menyertai adalah mata merah dan berair, postnasal drip, dan batuk. Pada fase lanjutan, mediator inflamasi tersebut akan membentuk inflamasi kronis pada mukosa nasal sehingga membuat mukosa semakin responsif terhadap paparan alergen, misalnya polutan, polen, dan tungau. [3,4]

Peran antihistamin dalam tata laksana rhinitis alergi adalah sebagai antagonis kompetitif reseptor histamin H1 di permukaan sel. Ada 4 tipe reseptor histamin, tetapi gejala nasal paling banyak diperantarai oleh reseptor H1. Reseptor histamin H1 selain dapat ditemukan di berbagai sel di saluran pernapasan, juga banyak terdapat di ujung sel saraf, otot polos, dan sel glandular. [5]

antihistamine

Antihistamin Generasi Pertama

Antihistamin generasi pertama seperti diphenhydramine dan chlorpheniramine merupakan jenis obat yang sudah sejak dahulu digunakan untuk mengatasi kondisi alergi, termasuk rhinitis alergi. Namun, golongan ini berkaitan dengan efek samping seperti sedasi, lemas, dan gangguan status mental. Efek samping timbul karena antihistamin generasi pertama bersifat lebih larut lemak dan lebih mudah melewati sawar darah-otak dibandingkan generasi kedua. Penggunaannya dikaitkan dengan penurunan performa di sekolah, gangguan berkendara, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas, dan cedera akibat pekerjaan.[2]

Pemilihan antihistamin generasi pertama untuk terapi rhinitis alergi sudah ditinggalkan karena efek sedasi yang tinggi, efek antikolinergik (mata dan mulut kering), efek samping kardiovaskular, dan waktu paruh obat yang pendek.[6]

Antihistamin Generasi Kedua

Antihistamin generasi kedua disukai karena memiliki karakteristik selektif reseptor histamin yang lebih tinggi dan daya tembus sawar darah-otak yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan efek sedatif dan gangguan psikomotor menjadi minimal.

Antihistamin generasi kedua memiliki efektivitas terapi yang tinggi, onset yang cepat, dan durasi kerja yang panjang. Beberapa antihistamin generasi kedua juga menunjukkan efek antiinflamasi. Beberapa contoh pilihan antihistamin generasi kedua adalah fexofenadine, loratadine, dan cetirizine.[7]

Fexofenadine

Fexofenadine adalah antihistamin generasi kedua yang sangat selektif terhadap reseptor histamin H1 dan tidak menembus sawar darah otak, sehingga tidak menimbulkan efek sedasi baik pada dosis tinggi maupun rendah.[8] Fexofenadine tidak berinteraksi dengan reseptor muskarinik sehingga tidak menimbulkan efek samping pada sistem kardiovaskular, misalnya penurunan denyut jantung dan cardiac output.

Sebuah tinjauan literatur menyatakan bahwa fexofenadine efektif dalam tatalaksana rhinitis alergi dan memiliki onset kerja yang cepat dibandingkan antihistamin generasi kedua lainnya.[9-11] Pada sebuah penelitian, dilaporkan bahwa fexofenadine lebih efektif mengatasi gejala kongesti nasal, rhinorrhea, hidung gatal, dan konjungtivitis dibandingkan dengan loratadine dan cetirizine.[12] Fexofenadine dapat diberikan dengan dosis 120 mg/ hari sebanyak sekali pemberian pada dewasa. Untuk anak-anak usia 6-11 tahun fexofenadine dapat diberikan dengan dosis 30 mg/hari dibagi menjadi 2 kali pemberian.

Fexofenadine umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, tetapi beberapa efek samping yang pernah dilaporkan adalah sakit kepala, pusing, dan mual.[13]

Loratadine

Loratadine adalah contoh antihistamin generasi kedua lainnya. Obat ini masih memiliki efek sedatif pada dosis yang tinggi. [8] Loratadine memiliki onset kerja yang cepat (75-180 menit) dalam meredakan gejala rhinitis. Dosis pemberian loratadine pada dewasa adalah 10 mg/hari, sedangkan dosis untuk anak-anak (≥2 tahun) adalah 5-10 mg/hari.

Pada sebuah penelitian acak terkontrol di Medan, tidak ada perbedaan efektivitas antara loratadine dan cetirizine sebagai terapi rhinitis alergi. Namun, efek samping sakit kepala dan palpitasi lebih banyak ditemukan pada kelompok loratadine.[14,15]

Cetirizine

Cetirizine memiliki kemampuan berikatan yang tinggi dengan albumin, serta brain uptake dan kardiotoksisitas yang rendah dibandingkan antihistamin generasi pertama. Walau demikian, efek sedasi masih dilaporkan pada penggunaan cetirizine, dibandingkan fexofenadine yang tidak memiliki efek sedasi.

Berbeda dengan obat-obat lainnya, cetirizine tidak mengalami metabolisme di hati, sehingga interaksi dengan obat lain lebih sedikit. Pada beberapa penelitian, cetirizine juga menunjukkan efek antiinflamasi.[16]

Sama seperti antihistamin generasi kedua lainnya, cetirizine memiliki durasi kerja yang panjang (waktu paruh ±10,5 jam). Beberapa penelitian yang membandingkan pemberian cetirizine 10 mg/hari dengan pemberian plasebo menunjukkan bahwa cetirizine memberikan perbaikan gejala rhinitis yang signifikan.

Penelitian oleh Meltzer et al melaporkan bahwa cetirizine 10 mg memiliki onset kerja yang lebih cepat dan memiliki rerata penurunan gejala rhinitis yang lebih superior dibandingkan loratadine 10 mg atau plasebo. Efek samping cetirizine yang pernah dilaporkan adalah mulut kering, diare, serta rasa lelah berlebihan yang biasanya ditemukan pada penggunaan dosis yang lebih besar. Efek samping mengantuk juga masih bisa ditemukan pada beberapa orang.[17]

Kesimpulan

Dalam tatalaksana rhinitis alergi, antihistamin generasi kedua lebih direkomendasikan karena memiliki profil efek samping yang lebih rendah dengan waktu paruh yang lebih panjang.

Fexofenadine tidak melewati sawar darah-otak sehingga tidak menimbulkan efek sedasi, oleh karenanya merupakan pilihan yang baik untuk tata laksana rhinitis alergi. Cetirizine dilaporkan masih bisa menimbulkan efek sedasi, tetapi juga dilaporkan memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan loratadine.

Antihistamin generasi pertama sudah ditinggalkan dalam tatalaksana rhinitis alergi karena tingginya efek sedasi yang ditimbulkan.

 

Referensi