Serum Specific IgE sebagai Pemeriksaan Alergi

Oleh :
dr.Petty Atmadja, Sp.PK

Serum specific IgE sering digunakan sebagai pemeriksaan alergi, misalnya pada kasus dermatitis atopi dan rhinitis alergi. Alergi merupakan salah satu kondisi yang paling sering dijumpai di seluruh dunia dengan prevalensi 40% pada populasi umum. Kelainan terkait alergi yang sering dijumpai meliputi rhinitis alergi, asthma, dan konjungtivitis.

Karakteristik respon imun pada pasien alergi adalah produksi immunoglobulin-E (IgE) spesifik-alergen yang dikenal dengan fenomena sensitisasi. Diagnosis akurat yang diikuti dengan terapi optimal membutuhkan pemeriksaan yang adekuat untuk konfirmasi terjadinya sensitisasi. Setelah diagnosis alergi ditegakkan dan alergen penyebab teridentifikasi, maka penatalaksanaan spesifik berupa pemberian medikamentosa, kontrol paparan lingkungan, dan allergen immunotherapy (AIT) dibutuhkan untuk mencapai prognosis yang baik.[1,2]

Serum Specific IgE sebagai Pemeriksaan Alergi-min

Berbagai Pemeriksaan pada Kasus Alergi

Adapun pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis alergi terdiri dari pemeriksaan in vivo skin test dan pemeriksaan in vitro.[1,2] Pemeriksaan in vivo skin test alergi terdiri dari:

  • Skin Prick Test (SPT): merupakan pemeriksaan lini pertama untuk diagnosis Immediate IgE-mediated allergy tipe I. Relatif aman dikerjakan dan memiliki sensitivitas tinggi dan spesifisitas baik apabila dilakukan dengan tepat

  • Intradermal Test (IDT): dapat digunakan untuk evaluasi Immediate IgE-mediated allergy dan hipersensitivitas tipe lambat. Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi namun spesifisitas yang lebih rendah dari SPT

  • Patch Test: digunakan untuk evaluasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan cell-mediated

Pemeriksaan in vitro terdiri dari:

  • IgE total: tidak spesifik dan hanya memberikan informasi dasar
  • Serum Specific IgE (ssIgE): paling sering dilakukan dengan sampel serum darah yang diperiksa terhadap sumber allergen atau molekul

  • Basophil Activation Test (BAT): cukup spesifik namun sulit dikerjakan dan terbatas[1]

Perbandingan Skin Prick Test dengan Pemeriksaan Serum Specific IgE

Dewasa ini, pemeriksaan Serum Specific IgE (ssIgE) dan Skin Prick Test (SPT) memberikan hasil yang dapat dianggap sebanding dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing. SPT adalah pemeriksaan in vivo yang paling sederhana, dilakukan dengan menggunakan lancet yang mengandung alergen spesifik dan diaplikasikan ke kulit. Sel mast dermis kemudian akan bereaksi terhadap alergen spesifik dan mengalami degranulasi, lalu melepaskan histamin serta mediator lainnya. Hal ini akan mengakibatkan respons pada kulit berupa indurasi dan kemerahan yang dapat diukur untuk menilai derajat sensitivitas. Reaksi hipersensitivitas tipe I dicurigai apabila terjadi reaksi klinis dalam 30-120 menit setelah paparan.

Hasil SPT positif tidak secara langsung menunjukkan diagnosis alergi, melainkan mengonfirmasi terjadinya sensitisasi alergen. Kekurangan SPT antara lain tidak dapat dilakukan pada kulit yang meradang, berisiko menginduksi reaksi alergi saat paparan, dan harus dilakukan pemberhentian terapi antihistamin dan kortikosteroid sebelum pemeriksaan.[1,3,4]

Pemeriksaan Serum Specific IgE (ssIgE) relatif lebih mudah dan nyaman bagi pasien dan mampu mendeteksi lebih dari 25 alergen spesifik. Beberapa penelitian telah menunjukkan kesesuaian yang baik antara hasil SPT dan ssIgE. Pemeriksaan ssIgE dapat dilakukan di laboratorium umum dan tidak terpengaruh dengan pemberian antihistamin, misalnya cetirizine. Hasil pemeriksaan bersifat objektif dari alat dan tidak berbahaya bagi pasien karena reaksi sensitisasi alergen terjadi secara in vitro.

Hingga saat ini masih terjadi perdebatan mengenai pemeriksaan mana yang lebih baik dilakukan untuk mendiagnosis alergi. Pemeriksaan ssIgE lebih dipilih pada pasien pediatrik karena alasan keamanan. Namun, hingga saat ini masih belum dapat ditentukan apakah pemeriksaan ssIgE dan SPT dapat saling menggantikan karena masing-masing pemeriksaan memiliki keunggulan tersendiri. Kesimpulan umum dari berbagai ahli adalah SPT lebih sensitif, sedangkan ssIgE lebih bersifat objektif dan kuantitatif dibandingkan SPT.[1,4,5] Berikut adalah tabel perbandingan keunggulan dan kekurangan SPT dan pemeriksaan in vitro, termasuk ssIgE.[6]

Tabel 1. Perbandingan Skin Prick Test dengan Pemeriksaan Alergi In Vitro

Skin Prick Test Pemeriksaan in vitro
Membutuhkan fasilitas dengan peralatan khusus, reagen dan petugas yang terlatih. Tersedia di laboratorium dengan alat khusus dan petugas yang terlatih.
Biaya pemeriksaan moderat. Biaya pemeriksaan mahal.
Tidak nyaman karena kemungkinan terjadi reaksi hipersensitivitas pada kulit. Sedikit nyeri akibat pengambilan darah.
Membutuhkan kerjasama pasien. Sulit dilakukan pada pediatrik. Membutuhkan sedikit keterlibatan pasien.
Berpotensi menimbulkan reaksi alergi sistemik hingga anafilaksis. Tidak berisiko.
Membutuhkan area kulit normal untuk pemeriksaan. Dapat dilakukan pada pasien dengan kelainan kulit ekstensif.
Terapi antihistamin dan pengobatan alergi lain harus diberhentikan sebelum pemeriksaan. Dapat dilakukan tanpa terpengaruh obat-obatan.
Metode dan kualitas pemeriksaan bervariasi, tidak terdapat standarisasi dan uji kualitas formal. Pemeriksaan laboratorium dengan uji kualitas formal dengan standarisasi teknik.
Hasil dibaca dalam 30 menit. Hasil membutuhkan waktu berhari-hari/ minggu
Hasil pemeriksaan dapat terlihat dan terasa oleh pasien dan bernilai secara klinis. Hasil tidak secara langsung memberi efek pada pasien.
Sensitivitas lebih baik pada kasus alergen yang relevan. Sensitivitas relatif baik.
Tidak terpengaruh kadar total IgE tinggi. Hasil dapat positif palsu pada kadar total IgE tinggi.

Serum Specific IgE sebagai Pemeriksaan Alergi

Pemeriksaan Serum Specific IgE (ssIgE) telah menjadi pemeriksaan acuan dalam mengidentifikasi penyebab alergi. Pemeriksaan IgE sebagai reaginic antibodies pertama kali diidentifikasi pada tahun 1960 dengan metode radioallergosorbent test (RAST). Pemeriksaan ssIgE saat ini merupakan modifikasi RAST yang sama-sama menggunakan 3 tahapan, yaitu solid phase, non competitive binding, dan immune-metric (labeled antibody) chemistry, yang kemudian dikombinasikan dengan tahapan pewarnaan dengan enzim-substrat, fluoresens, atau luminesens, bergantung pada jenis alat yang digunakan.[7]

Identifikasi terjadinya fenomena sensitisasi sangat penting sebagai golden rule dalam diagnostik alergi, baik melalui pemeriksaan in vivo skin test ataupun in vitro serologi IgE. Antibodi IgE yang positif tidak membuktikan adanya alergi pada pasien. IgE spesifik alergen dapat terdeteksi di darah dan kulit individu yang tidak memiliki gejala klinis alergi. Maka dari itu, untuk meminimalisir interpretasi hasil pemeriksaan antibodi IgE yang rancu, perlu dilakukan selektivitas pemeriksaan alergen spesifik yang konsisten dengan riwayat alergi dan gejala klinis pasien. Konsentrasi IgE, afinitas, spesifisitas, dan persentase IgE spesifik terhadap IgE total memainkan peranan dalam menerjemahkan respon IgE humoral menjadi gejala klinis.[8]

Nilai cutoff ssIgE menurut WHO adalah 0,35 kUA/L yang menunjukkan terjadinya sensitisasi pada pemeriksaan. Apabila didapatkan ssIgE >0,35 kUA/L, maka dianggap relevan secara klinis. Hasil ssIgE yang positif hanya menunjukkan terjadinya sensitisasi dan bukan merupakan bukti penegakkan diagnosis alergi. Pemeriksaan ini hanya akan relevan secara klinis saat dijumpai gejala alergi secara objektif yang berhubungan dengan paparan alergen.[2,7,8]

Alergen pada Pemeriksaan Serum Specific IgE

Alergen yang digunakan pada solid phase pemeriksaan Serum Specific IgE (ssIgE) biasanya berupa ekstrak fisiologis dari substansi-substansi biologis yang mengandung alergen utama yang efisien untuk terjadinya sensitisasi. Pemeriksaan IgE saat ini tersedia dalam metode singleplex maupun multiplex. Pemeriksaan singleplex menggunakan molekul alergenik tunggal pada alat autoanalyzer, sedangkan multiplex menggunakan microarray chip yang dapat mendeteksi antibodi IgE terhadap banyak spektrum molekul alergenik secara bersamaan.

Dewasa ini, pemeriksaan ssIgE banyak menggunakan metode multiplex microarray chip. Pemeriksaan multiplex mampu memberikan informasi lengkap berbagai alergen yang mungkin tidak diperlukan dan tidak sesuai dengan indikasi pasien. Pemeriksaan multiplex juga tidak lebih sensitif dibandingkan dengan singleplex karena variabilitas molekul reagen yang beragam dan perlunya dilakukan kontrol kualitas secara simultan. Berbagai faktor pengganggu mungkin dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan ssIgE multiplex karena rendahnya jumlah alergen pada setiap titik reaksi di microarray chips. Salah satu keterbatasan pemeriksaan ssIgE lainnya adalah belum terdapatnya semua molekul alergen untuk diperiksa. Validitas pemeriksaan ssIgE multiplex bergantung pada volume serum, kecepatan analisis, keterampilan teknisi laboratorium, kemurnian molekul alergen, jumlah IgE total, dan afinitas IgE. [8,9]

Nilai Diagnostik Pemeriksaan Serum Specific IgE

Beberapa penelitian mencoba membandingkan nilai diagnostik Skin Prick Test (SPT) dan Serum Specific IgE (ssIgE). Hasil dari kebanyakan penelitian ini mendapatkan bahwa hasil SPT yang negatif dapat mengeksklusi alergi makanan hingga 90%, namun hasil SPT positif belum dapat mengonfirmasi diagnosis melainkan hanya sebagai penanda terjadinya sensitisasi. Sementara itu, pemeriksaan ssIgE yang negatif berhubungan dengan risiko rendah (10-25%) reaksi alergi makanan dan risiko akan meningkat seiring tingginya kadar ssIgE yang terdeteksi. [9]

Penelitian oleh Celakovska et al. yang membandingkan ssIgE dan SPT pada alergi makanan, mendapatkan sensitivitas ssIgE terhadap alergen makanan kedelai 33,8%; telur 75%; gandum 66,6%; kacang 33,8%; dan susu 50%. Studi ini menunjukkan spesifisitas terhadap kedelai 93,8%; telur 86,6%; gandum 98,6%; kacang 92,8%; dan susu 93,8%. Sementara itu, sensitivitas SPT terhadap kedelai 44,4%; telur 68,7%; gandum 16,1%; kacang 38,7%; dan susu 33,3%. Spesifisitas SPT terhadap kedelai 87,3%; telur 93,3%; gandum 94,1%; kacang 87,8%; dan susu 97,9%.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa sensitivitas ssIgE lebih baik untuk alergen telur dan gandum, sedangkan sensitivitas SPT lebih baik untuk telur. Spesifisitas ssIgE baik untuk semua alergen makanan kecuali telur, sedangkan spesifisitas SPT baik pada semua alergen. Penelitian ini juga menunjukkan kesesuaian diagnosis alergi apabila didapatkan hasil SPT yang didukung oleh ssIgE.[10]

Kesimpulan

Pemeriksaan Serum Specific IgE (ssIgE) merupakan bagian dari pemeriksaan alergi in vitro. Pemeriksaan ini merupakan modifikasi radioallergosorbent test (RAST), yang sama-sama menggunakan 3 tahapan yaitu solid phase, non competitive binding, dan immune-metric (labeled antibody) chemistry, yang kemudian dikombinasikan dengan tahapan pewarnaan dengan enzim-substrat, fluoresens, atau luminesens.

Pemeriksaan ssIgE lebih sering dilakukan pada pasien pediatrik, serta diperuntukkan bagi pasien dengan kelainan kulit dan pasien dengan terapi antihistamin berkelanjutan. Hasil positif tidak dapat menegakkan diagnosis alergi secara langsung. Pemeriksaan ini harus diinterpretasikan bersamaan dengan riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan manifestasi alergi pasien, sehingga mampu memberikan hasil relevan secara klinis dan  menjadi penunjang konfirmasi pada diagnosis alergi.

Referensi