Penggunaan Antihistamin pada ISPA Anak

Oleh :
Maria Rossyani

Antihistamin diduga bermanfaat untuk mengurangi gejala infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Oleh karena itu, antihistamin, seperti chlorpheniramine maleate (CTM) dan cetirizine, sering digunakan untuk terapi ISPA baik sebagai monoterapi maupun terapi gabungan. Antihistamin umumnya digunakan untuk menangani gejala ISPA dan tidak kuratif, walaupun sebagian besar ISPA akan membaik tanpa pengobatan dalam waktu 1 minggu.[1]

ISPA merupakan definisi luas untuk kumpulan gejala penyakit akut, self-limiting, yang disebabkan oleh virus dan mempengaruhi hidung, sinus, faring, dan laring.  Seorang anak dapat mengalami gejala ISPA sebanyak 2‒3 kali lebih sering daripada dewasa, yaitu sekitar 6‒8 kali dalam setahun. Penanganan ISPA biasanya untuk mengurangi keluhan pasien, seperti batuk, pilek, dan demam.[1]

Penggunaan Antihistamin pada ISPA Anak-min

Efek Histamin dan Gejala ISPA

Histamin sebenarnya disekresikan oleh basofil dan sel mast pada mukosa hidung jika terdapat reaksi alergi, sehingga timbul gejala hidung gatal, tersumbat, merah, dan pilek. Pemberian obat antihistamin tipe H1 bertujuan untuk menghentikan proses alergi.[2]

Gejala ISPA juga dapat disertai gejala mirip alergi, sehingga tercetus pendapat bahwa pemberian antihistamin dapat pula untuk mengurangi gejala ISPA. Namun, telah terdapat studi pada tahun 1988 yang menunjukkan bahwa tidak ada kenaikan konsentrasi histamin pada pasien terinfeksi rhinovirus.[3]

Cara Kerja Obat Antihistamin

Terdapat empat macam reseptor histamin, yaitu H1‒ H4. Obat antihistamin terutama bekerja pada reseptor H1. Golongan ini sebenarnya bukan merupakan antagonis reseptor histamin, tetapi sebagai inversion agonist. Antihistamin ketika menempel pada reseptor G-protein-coupled akan mengurangi efek respon alergi dan mengembalikan ekuilibrium. Reseptor H1 menghambat konstriksi otot-otot halus pada saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan, serta mengurangi sekresi duktus lakrimal dan duktus saliva yang teraktivasi histamin.[2]

Gambar 1. Efek Histamin pada Berbagai Organ Tubuh (Sumber:dr. Maria Rosyani, 2018)

Screenshot 2021-11-01 102631-min

Antihistamin H1 dikategorikan menjadi antihistamin generasi pertama atau generasi lama, dan generasi kedua atau generasi baru. Generasi pertama, seperti diphenhydramine, chlorpheniramine maleate (CTM), dan bromfeniramin, tidak memiliki selektivitas reseptor yang baik sehingga mempengaruhi reseptor kolinergik, alfa-adrenergik, serotonin, dan kanal ion. Selain itu, sifatnya yang lipofilik menyebabkan antihistamin H1 generasi pertama dapat menyeberangi sawar darah-otak dan mempengaruhi sistem saraf pusat, di antaranya rasa kantuk.[2]

Sementara itu, antihistamin H1 generasi kedua, termasuk cetirizine, loratadine, dan terfenadine, dikembangkan agar tidak menyebabkan kantuk atau hanya menyebabkan kantuk minimal. Hal ini dicapai dengan meningkatkan selektivitas reseptor H1, dan menambahkan senyawa untuk mengurangi penyeberangan sawar darah-otak. Terdapat klasifikasi metabolit aktif antihistamin generasi kedua sebagai generasi ketiga, misalnya desloratadine, levocetirizin, dan fexofenadine, tetapi kelompok ini masih lebih lazim dimasukan ke dalam antihistamin generasi kedua.[2]

Penelitian Antihistamin Sebagai Monoterapi ISPA pada Anak

Tinjauan Cochrane pada tahun 2015 menyimpulkan bahwa antihistamin pada anak-anak tidak signifikan memberikan efek klinis pada hidung tersumbat, rinorea, atau bersin. Antihistamin hanya meredakan gejala hidung dalam 2 hari pertama tetapi tidak setelahnya. Berbagai variasi perubahan sensitivitas dan analisis subgrup tidak merubah kesimpulan tersebut.[1]

Tinjauan ini mempelajari 18 randomized clinical trial (RCT) tentang penggunaan antihistamin sebagai monoterapi common cold, dan melibatkan 4342 subjek. Hanya terdapat dua penelitian yang melibatkan anak-anak (212 subjek).  Penelitian pertama oleh Hugenin yang mempelajari efek astemizol pada 62 anak usia 2‒15 tahun dengan gejala pilek rata-rata 6 hari. Hasil penelitian menunjukkan jumlah hari gejala menghilang tidak berbeda secara signifikan antara kelompok perlakuan dan plasebo (5,2 ± 2,3 hari vs 4 ± 2,12 hari; P = 0,06).[1]

Kedua adalah penelitian oleh Sakchainanont yang mempelajari efek clemastine (N = 48) dan chlorpheniramine (N = 48) dibandingkan dengan plasebo (N = 47), pada anak usia <5 tahun dengan gejala rinore selama 3 hari. Penelitian memberikan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terkait jumlah sekret dan edema hidung setelah 3 hari pengobatan, antara kelompok antihistamin dengan kelompok plasebo (P = 0,53).[1]

Penelitian Antihistamin sebagai Terapi Kombinasi ISPA pada Anak

Terapi ISPA seringkali menggunakan kombinasi antihistamin, dekongestan, dan analgesik. Terdapat beberapa penelitian yang tampaknya menunjukkan kombinasi  tersebut memberikan efek minimal atau sedang pada pasien dewasa dan anak besar dengan common cold.[5,6]

Cochrane pada tahun 2012 menganalisis 27 RCT yang menyelidiki efektivitas kombinasi antihistamin-dekongestan-analgesik dibandingkan dengan plasebo, pengobatan aktif lainnya (tidak termasuk antibiotik), atau tidak ada pengobatan pada anak-anak dan orang dewasa dengan common cold. Ditemukan bahwa metode di sebagian besar penelitian buruk, dan ada perbedaan besar dalam desain, peserta, intervensi, dan hasil.[5]

Analisis menemukan bahwa gejala ISPA, seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, dan rinorea berkurang dengan pemberian kombinasi antihistamin dan dekongestan (OR 0,27, CI 95%).  Namun, ditemukan keluhan mulut kering dan insomnia yang meningkat.[5]

Bukti saat ini menunjukkan bahwa kombinasi antihistamin-analgesik-dekongestan memiliki beberapa manfaat umum pada orang dewasa dan anak-anak >5 tahun, sedangkan pada anak kecil tidak ada bukti efektivitasnya pada anak kecil.[5,6]

Risiko Efek Samping Antihistamin

Banyak efek samping antihistamin sistemik yang pernah dilaporkan, di antaranya rasa kantuk (sedasi), fatigue, lesu, pusing, sakit kepala, vertigo, insomnia, keluhan urinaria, mulut-hidung- tenggorokan kering, mata kering, mual, nyeri otot, kenaikan suhu, bahkan depresi. Efek samping utama lebih sering disebabkan antihistamin sedatif atau generasi pertama, sehingga salah satu alasan pemberian antihistamin pada anak dengan ISPA adalah agar anak lebih mudah tidur.[1,2]

Namun, tinjauan Cochrane menunjukkan efek samping sedasi tidak secara signifikan berbeda antara kelompok monoterapi antihistamin generasi pertama (9%) dengan kelompok plasebo (5%). Sedangkan penelitian yang menggunakan antihistamin nonsedasi juga melaporkan rasa kantuk sebagai efek samping, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rasa kantuk, kelelahan, dan kelesuan sepertinya merupakan gejala ISPA itu sendiri.[1]

Hati-Hati Pemberian Over the Counter (OTC) pada Anak

Pemberian obat batuk pilek over the counter (OTC) pada anak harus hati-hati. Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2010 telah melaporkan 69 kematian akibat penggunaan antihistamin pada anak, yaitu 49 terjadi pada anak usia <2 tahun dan 28 pada 2‒6 tahun. Walaupun sering dilaporkan sebagai efek samping, overdosis dan toksisitas antihistamin dapat terjadi akibat penggunaan beberapa produk obat batuk pilek yang dijual bebas.[4]

Sejak tahun 2010, FDA melarang pemberian obat batuk/pilek bebas untuk pasien anak <4 tahun. Dekongestan atau antihistamin memiliki efek samping yang mengancam jiwa, sehingga tidak boleh untuk anak <2 tahun.[7,8]

Penatalaksanaan ISPA Anak yang Lebih Aman

Gejala batuk pilek pada anak umumnya disebabkan selesma atau common cold, yang akan sembuh sendiri dalam waktu 7‒10 hari. Untuk meringankan gejala, lebih aman menggunakan terapi konservatif, seperti irigasi nasal,  nebulisasi salin, dan pemberian madu untuk anak usia >1 tahun.[8,9]

Penelitian oleh Paul et al, tahun 2007, melaporkan bahwa home remedy dengan madu terbukti lebih efektif sebagai antitusif dengan efek samping lebih sedikit, dan dapat diberikan dengan aman untuk anak >12 bulan.[9]

Kesimpulan

Antihistamin sepertinya memiliki efek menguntungkan terbatas untuk mengurangi gejala ISPA, seperti rinore, bersin, dan hidung tersumbat. Efek ini hanya signifikan pada hari pertama dan kedua pengobatan, sehingga tidak untuk penggunaan jangka panjang. Namun, berbagai studi yang mendukung hanya terbatas pada pasien dewasa dan anak besar.

Tidak terdapat manfaat yang bermakna klinis pada pemberian antihistamin, baik generasi pertama maupun kedua, sebagai monoterapi ISPA pada anak semua kelompok umur. Sedangkan pemberian kombinasi antihistamin-analgesik-dekongestan, berdasarkan data yang terbatas, dapat meringankan gejala umum ISPA pada kelompok anak besar (>5 tahun). Namun, terdapat efek samping yang harus dipertimbangkan mengingat efek terapi yang relatif kecil.

Antihistamin memiliki efek samping yang dapat mengancam jiwa anak, terutama usia <2 tahun, sehingga FDA melarang penggunaannya. Obat batuk pilek bebas tidak boleh diberikan <4 tahun. Sedangkan penggunaan untuk anak besar harus dalam pengawasan ketat, untuk menghindari jumlah dosis berlebih,  pemberian terlalu sering, dan penggunaan lebih dari satu produk dengan kandungan obat yang sama. Madu dan irigasi nasal salin normal adalah pilihan yang lebih baik dan lebih aman untuk manajemen gejala ISPA pada anak-anak.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi