Diagnosis Ruptur Perineum
Diagnosis ruptur perineum dilakukan dengan pemeriksaan perineum dengan teliti setiap selesai persalinan dengan mencari adanya robekan pada perineum. Anamnesis pada ibu biasanya tidak terlalu berguna karena ibu pasti merasakan sakit pasca melahirkan dan tidak dapat membedakan nyeri yang disebabkan oleh laserasi. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi saat ini dianjurkan untuk mendiagnosis ruptur perineum. [1,2]
Anamnesis
Anamnesis pada ibu biasanya tidak terlalu berguna karena ibu pasti merasakan sakit pasca melahirkan dan tidak dapat membedakan nyeri yang disebabkan oleh laserasi. Hal ini menjadikan anamnesis kurang efektif dan tidak diperlukan dalam diagnosis ruptur perineum.[1,2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan teliti setelah persalinan selesai dengan tujuan mencari robekan pada perineum. Selain itu, untuk memastikan kondisi anus atau ada tidaknya perluasan robekan hingga daerah anal, maka dilakukan pemeriksaan colok dubur. Hal ini dilakukan untuk memastikan patensi sfingter anus dan merasakan bila ada laserasi di bagian anus.[1,2]
Klasifikasi
Klasifikasi derajat ruptur perineum terdiri dari :
- Derajat 1 : Laserasi hanya pada mukosa vagina dan kulit perineum
- Derajat 2 : Laserasi melibatkan otot-otot perineum
- Derajat 3A : laserasi pada <50% otot sfingter anal eksterna
- Derajat 3B : laserasi pada >50% otot sfingter anal eksterna
- Derajat 3C : laserasi pada otot sfingter anal eksterna dan interna
- Derajat 4 : laserasi mencapai jaringan epitel anus, robekan menembus dari epitel vagina hingga epitel anus[1,2]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk ruptur perineum hingga saat ini masih belum dijadikan pemeriksaan rutin, namun berbagai literatur telah membuktikan efektivitas penggunaan ultrasonografi endoanal dalam diagnosis ruptur perineum.
Hal tersebut dirangkum dalam sebuah ulasan Cochrane, yang menyimpulkan bahwa ultrasonografi endoanal dapat mengidentifikasi robekan kecil yang pada akhirnya dapat mengurangi kejadian inkontinensia ani. Namun, memang penelitian yang sama juga menemukan kekurangan dari metode ini, yakni peningkatan nyeri perineum pada 3 bulan pasca persalinan.[1,2,12]