Pendahuluan Hiperplasia Endometrium
Hiperplasia endometrium merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi ireguler pada kelenjar endometrium dengan peningkatan rasio antara kelenjar dengan stroma. Sekitar 133 per 100.000 wanita di Amerika Serikat setiap tahunnya mengalami hiperplasia endometrium dan 5% nya memiliki progesivitas menjadi kanker endometrium.
Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2014, hiperplasia endometrium dapat dibagi menjadi dua diagnosis, yaitu hiperplasia endometrium non atipik (hiperplasia jinak) dan atipik (Endometrial Intraepithelial Neoplasia / EIN). Hiperplasia endometrium atipik memiliki risiko kanker endometrium yang lebih besar. [1,2]
Proses terjadinya hiperplasia endometrium telah dihubungkan dengan stimulasi kronik estrogen terhadap endometrium dan tidak terbentuknya progesterone dalam tubuh. Beberapa keadaan, seperti menopause, obesitas, dan sindroma ovarium polikistik, dapat menyebabkan keadaan tersebut sehingga menyebabkan hiperplasia endometrium. [3,4]
Diagnosis hiperplasia endometrium umumnya didapatkan dari hasil investigasi keluhan perdarahan uterus abnormal. Pemeriksaan lanjut, seperti transvaginal ultrasonografi, histeroskopi saat dilatasi dan kuretase, dan biopsi endometrium dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan histologi merupakan pemeriksaan utama dalam menentukan klasifikasi diagnosis dan terapi pasien. [5,6]
Terapi pasien hiperplasia endometrium bergantung pada tipe penyakit dan beberapa faktor klinis. Levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) dan progestin oral merupakan terapi utama untuk hiperplasia endometrium non atipik. Pada pasien hiperplasia endometrium tipikal lebih disarankan untuk dilakukan histerektomi, karena risiko untuk terjadinya kanker endometrium. Hasil pengobatan dapat dikontrol dengan pemeriksaan biopsi endometrium dan ultrasonografi transvaginal secara berkala. [5,7]