Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • SKP Online
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit
  • Obat
  • Tindakan Medis
Penatalaksanaan Tetanus Neonatorum general_alomedika 2021-07-08T11:04:54+07:00 2021-07-08T11:04:54+07:00
Tetanus Neonatorum
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Penatalaksanaan Tetanus Neonatorum

Oleh :
Sunita
Share To Social Media:

Penatalaksanaan tetanus neonatorum (TN) bertujuan untuk eradikasi kuman C. tetani, netralisasi toksin, dan pemberian terapi suportif spesifik sesuai keparahan penyakit.

Terapi Antitoksin

Terapi antitoksin dengan menggunakan imunoglobulin antitetanus (human tetanus immune globulin/HTIG) dari serum manusia maupun kuda (antitetanus serum/ATS) masih menjadi terapi pilihan pada penanganan tetanus. Pemberian HTIG bertujuan untuk mencegah progresivitas penyakit dengan cara menghancurkan toksin tetanus yang belum terikat pada jaringan namun tidak mempengaruhi efek toksin yang telah terikat pada jaringan. HTIG diberikan melalui rute intramuskular dosis tunggal 3000-6000 IU.

ATS dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Namun, penggunaan ATS kurang disukai karena meningkatkan risiko kejadian reaksi alergi. Dosis pemberian ATS adalah 50.000-100.000 unit, dengan didahului uji kulit untuk melihat reaksi sensitivitas, kemudian separuh dosis ATS diberikan secara intramuskular dan sisanya diberikan secara intravena. [27-29]

Terapi Antimikroba

Terapi antimikroba yang disarankan pada kasus TN adalah metronidazole oral atau intravena, atau penisilin G intravena. [29,34] Pemberian antibiotik didasarkan pada asumsi bahwa modalitas terapi ini dapat mencegah proliferasi lokal C. tetani pada lokasi luka. [30]

Walaupun penisilin dan metronidazole merupakan antibiotik pilihan pada kasus tetanus, terdapat bukti yang mendukung metronidazole sebagai pilihan yang lebih baik. Sebuah studi klinis tanpa penyamaran di Indonesia membandingkan penggunaan metronidazole oral dengan penisilin intramuskular pada pengobatan tetanus. Pasien yang mendapat metronidazole memiliki progresivitas penyakit yang lebih ringan, masa perawatan yang lebih pendek, dan angka kesintasan yang lebih baik dibandingkan pasien yang mendapat penisilin. [31]

Sejauh ini belum ada rekomendasi khusus dosis pemberian metronidazole oral maupun intravena pada kasus TN. Walaupun demikian, bukti terbatas menunjukkan bahwa pemberian metronidazole sebagai bagian dari perangkat manajemen tetanus neonatorum dapat membantu menurunkan tingkat kematian akibat TN hingga 66%.

Dalam penelitian oleh Trieu et al, dosis metronidazole yang disarankan untuk bayi berusia kurang dari 7 hari adalah 15 mg/kg/hari, diberikan secara oral selama 7 hari, dibagi dalam beberapa dosis.

Sementara itu, untuk bayi berusia lebih dari 7 hari, dosis pemberian metronidazole yang disarankan adalah 30 mg/kg/hari, diberikan secara oral selama 7 hari, yang dibagi juga dalam beberapa dosis. [32]

Peran Pembedahan pada Tetanus Neonatorum

Peran tindakan pembedahan pada kasus tetanus neonatorum (TN) terletak pada eliminasi situs masuknya kuman C. tetani sehingga pelepasan tetanospasmin lebih lanjut dapat dicegah. Secara historis, tindakan pembedahan seperti omfalektomi pernah dilaporkan dalam penatalaksanaan TN dengan hasil yang cukup baik. [33] Namun, kelangkaan penyakit ini di era modern dan kesulitan dalam menemukan tempat masuknya kuman membuat peran pembedahan pada kasus TN menjadi sangat berkurang.

Pemberian Obat Pereda Spasme

Pemberian obat pereda spasme bertujuan untuk mengendalikan spasme dan peningkatan tonus otot dengan mengurangi efek farmakologi yang mengganggu terhadap kemampuan gerak secara volunter, kesadaran, dan pernapasan spontan.

Benzodiazepin merupakan salah satu agen farmakologi yang ideal untuk melawan blokade pelepasan GABA dari neuron inhibitorik di susunan saraf pusat akibat pengaruh tetanospasmin. Benzodiazepin, misalnya diazepam, memodulasi transmisi GABA A dan meningkatkan inhibisi presinaps. [30]

Walaupun secara teoritis golongan obat ini berpotensi efektif dalam meredakan spasme pada tetanus neonatorum, bukti mutakhir yang ada masih sangat sedikit dan hanya berasal dari 2 uji klinis dengan jumlah sampel yang minimal (n=134). Dalam sebuah tinjauan sistematik, Okoromah dan Lesi menyimpulkan bahwa penggunaan diazepam berkaitan dengan angka kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi fenobarbital dan klorpromazin. [34]

Diazepam

Untuk neonatus, dosis diazepam (sediaan emulsi cair 5 mg/ml) yang disarankan adalah 0,1-0,3 mg/kg, injeksi perlahan selama 3-5 menit, tiap 1 hingga 4 jam bergantung pada derajat keparahan dan persistensi spasme.

Jika pada pemberian tiap jam kejang masih berlangsung, pemberian diazepam infus kontinyu dengan menggunakan pompa suntik dapat dipertimbangkan. Dosis diazepam untuk suntik kontinyu tersebut adalah 0,1-0,5 mg/kg/jam (2,4-12 mg/kg/24 jam), dimulai dari dosis terendah, dan dapat ditingkatkan sebanyak 0,1 mg/kg/jam apabila frekuensi pernapasan ≥ 30 kali per menit.

Apabila pada dosis 0,5 mg/kg/jam kejang masih berlangsung, dosis masih dapat ditingkatkan hingga 0,8 mg/kg/jam jika frekuensi pernapasan ≥ 30 kali per menit. [35]

Lorazepam

Selain diazepam, lorazepam, dan midazolam juga dapat menjadi alternatif sebagai pereda spasme. Pada beberapa negara, lorazepam lebih disukai dibandingkan diazepam sebab lorazepam memiliki durasi kerja yang lebih panjang. Namun, penggunaan lorazepam dan diazepam parenteral pada dosis tinggi (umumnya di atas 500 mg/hari untuk diazepam dan 200 mg/hari untuk lorazepam) meningkatkan risiko toksisitas propilen glikol sehingga perlu diwaspadai dan dipantau ketat. [36,37]

Midazolam

Sementara itu, midazolam merupakan benzodiazepin kerja cepat yang larut air dan tidak mengandung propilen glikol dalam sediaannya. Mengingat waktu paruhnya yang pendek, pemberian obat ini perlu dilakukan dengan cara infus kontinu dengan dosis infus awal 100-300 µg/kgBB/jam. [31] Dosis ini dapat dititrasi sampai level minimal yang dapat mencegah spasme tetanik tercapai.

Pencegahan Withdrawal

Untuk menghindari efek withdrawal pasca penggunaan dalam jangka panjang, seluruh obat golongan benzodiazepin harus diturunkan dosisnya secara perlahan (tappering off) dalam kurun waktu beberapa minggu. [38]

Terapi Suportif

Terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien yang menjalani perawatan untuk kasus tetanus neonatorum (TN) mencakup minimalisasi stimulus eksternal yang berpotensi memicu spasme fatal. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan koordinasi penjadwalan prosedur pengobatan sedemikian hingga risiko tetanospasme ditekan sekecil mungkin. Segala manuver intervensi sebaiknya dilakukan setelah pasien mendapat sedasi optimal. Perawatan pasien dengan TN idealnya dilakukan pada ruangan yang senyap yang dilengkapi pintu dengan bantalan peredam suara serta cahaya redup tanpa mengorbankan kaidah perawatan intensif guna optimalisasi pemantauan kondisi pasien. [22,39]

Kendati perawatan di ruang rawat intensif merupakan rekomendasi umum bagi seluruh bayi yang didiagnosis dengan TN, hingga kini belum ada bukti yang cukup mengenai efikasi perawatan di unit rawat intensif neonatus dibandingkan perawatan di ruang non intensif terhadap luaran TN. Rekomendasi perawatan di unit rawat intensif umumnya didasarkan pada antisipasi terhadap kemungkinan komplikasi fatal TN seperti henti jantung mendadak dan gagal napas serta perlunya pemantauan ketat terhadap tanda vital dan gejala efek samping penggunaan berbagai terapi farmakologi pada kasus TN.

Referensi

27. Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. 2015. Available from: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/tetanus.html
28. Liu ZC, Zhou B, Tan SK. Tetanus vaccines: WHO position paper – February 2017. Relev Epidemiol Hebd. 2017;92(6):53–76. Available from: http://www.scientific.net/AMR.658.399
29. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak. Sari Pediatr. 2010;12(4):283–8.
30. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of tetanus: an evidence-based review. Crit Care. 2014 Mar 26;18(2):217. Available from: Critical Care
31. Ahmadsyah I, Salim A. Treatment of tetanus: An open study to compare the efficacy of procaine penicillin and metronidazole. Br Med J (Clin Res Ed). 1985;291(6496):648–50.
32. Trieu HT, Lubis IN, Qui PT, Yen LM, Wills B, Louise Thwaites C, et al. Neonatal tetanus in Vietnam: Comprehensive intensive care support improves mortality. J Pediatric Infect Dis Soc. 2016;5(2):227–30.
33. DIETRICH HF. Tetanus neonatorum; report of 2 cases with omphalectomy and recovery. J Am Med Assoc. 1951 Nov 10;147(11):1038–40. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14873615
34. Okoromah CA, Lesi AF. Diazepam for treating tetanus. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(1). Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003954.pub2
35. Joint Formulary Committee. British National Formulary. BNF 70. London; 2015.
36. Yaucher NE, Fish JT, Smith HW, Wells JA. Propylene Glycol–Associated Renal Toxicity from Lorazepam Infusion. Pharmacotherapy. 2003 Sep;23(9):1094–9. Available from: http://doi.wiley.com/10.1592/phco.23.10.1094.32762
37. Yahwak JA, Riker RR, Fraser GL, Subak-Sharpe S. Determination of a Lorazepam Dose Threshold for Using the Osmol Gap to Monitor for Propylene Glycol Toxicity. Pharmacotherapy. 2008 Aug;28(8):984–91. Available from: http://doi.wiley.com/10.1592/phco.28.8.984
38. McGregor C, Machin A, White J. In-patient benzodiazepine withdrawal: comparison of fixed and symptom-triggered taper methods. Drug Alcohol Rev. 2003 Jan 1;22(2):175–80. Available from: http://doi.wiley.com/10.1080/09595230100100615
39. Trujillo MH, Castillo A, España J, Manzo A, Zerpa R. Impact of Intensive Care Management on the Prognosis of Tetanus. Chest. 1987 Jul;92(1):63–5. Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0012369216376383

Diagnosis Tetanus Neonatorum
Prognosis Tetanus Neonatorum
Diskusi Terkait
Anonymous
03 April 2021
Penanganan apa yang dapat diberikan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama untuk kasus tetanus neonatorum
Oleh: Anonymous
0 Balasan
Alo dokter. Izin bertanya untuk penanganan tetanus neonatorum di FKTP apakah bisa menggunakan diazepam apabila di FKTP tidak ada Phrnobarbital?Dan adakah...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya, Gratis!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2021 Alomedika.com All Rights Reserved.