Penatalaksanaan Sirosis Hepatis
Penatalaksanaan sirosis berfokus pada faktor etiologi, misalnya dengan berhenti mengonsumsi alkohol atau penanganan hepatitis B pasien. Selain penanganan etiologi, monitoring dan penanganan komplikasi sirosis hepatis seperti peritonitis atau pecah varises esofagus juga harus dilakukan.
Sirosis Tanpa Komplikasi
Sirosis tanpa komplikasi dapat ditangani dengan penggunaan obat-obatan dengan kombinasi diet yang bertujuan untuk mengurangi berat badan. Obat yang dapat digunakan berkisar antara steroid hingga antivirus.
Medikamentosa
Pada pasien tanpa infeksi, pemberian glukokortikoid dan pentoxifylline dapat diberikan untuk menangani sirosis. Pemberian pentoxifylline masih kontroversial karena terdapat studi yang menyatakan bahwa penggunaannya tidak meningkatkan tingkat kesintasan pasien. Walau demikian, obat ini tetap digunakan, terutama pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap glukokortikoid karena belum terdapat alternatif obat yang lebih baik. [23, 24]
Pasien dengan hepatitis B dapat diberikan interferon alfa dan lamivudine. Lamivudin dapar diberikan 100 mg setiap hari selama 1 tahun secara oral. Interferon alfa diberikan 3 MIU 3x per minggu selama 4-6 bulan secara subkutan. Pada pasien yang resisten lamivudin dapat diberikan adefovir dan tenofovir. Walaupun begitu, pemberian lamivudin dapat menyebabkan resistensi apabila digunakan 9-12 bulan. Selain itu, suatu penelitian di Jepang menunjukkan bahwa interferon tidak direkomendasikan pada pasien dengan sirosis, karena efeknya belum terbukti oada fibrosis dan hepatoselular karsinoma.
Tenofovir terbukti efektif pada suatu penelitian tahun 2013. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pemberian tenofovir selama 5 tahun dapat mensupresi virus hepatitis B dan mengurangi sirosis dan fibrosis pada hati. Penelitian tersebut mengambil sampel sebanyak 641 pasien dan 489 pasien mengikuti penelitian hingga minggu ke 240. [25]
Berbeda dengan hepatitis B, pasien dengan hepatitis C dapat diberikan interferon subkutan 5 MIU 3x seminggu dan ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan. [4,26]
Diet dan Gaya Hidup
Diet dengan protein 1 gram/kgBB disertai kalori sebesar 2000-3000 kkal/hari dapat diberikan apabila tidak terdapat koma hepatika. Selain itu, edukasi mengenai reduksi konsumsi alkohol juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko sirosis hepatis yang lebih parah.
Pada pasien dengan ensefalopati hepatis, pemberian diet protein harus dikurangi hingga 0.5 gram/kgBB/hari. Selain itu, pemberian laktulosa dapat membantu mengeluarkan ammonia dari tubuh. Pasien dengan asites dapat diberikan diet rendah garam.[10]
Pengurangan konsumsi alkohol dan pemberian terapi untuk Hepatitis B dan C terbukti memperbaiki kondisi sirosis hepatis.
Sirosis dengan Komplikasi
Strategi penatalaksanaan pada pasien sirosis dengan komplikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Mengobati infeksi, memperbaiki fungsi sirkulasi, menangani hipertensi portal, diet, serta transplantasi hati dapat dilakukan untuk menangani sirosis dengan komplikasi.
Penanganan Infeksi
Infeksi dapat ditangani dengan memberikan antibiotik seperti rifaximin. Antibiotik lainnya yang dapat diberikan adalah cefotaxime, amoxicillin, dan aminoglikosida, terutama pada pasien dengan peritonitis bakterial spontan. [4,13]
Perbaikan Fungsi Sirkulasi
Perbaikan sirkulasi yang buruk dapat dilakukan dengan pemberian albumin. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya asites. Selain albumin, pemberian diuretik seperti spironolactone 1x 100-200 mg/hari dapat dikombinasikan dengan diet rendah garam dalam memperbaiki asites. Perbaikan dari asites dapat dilihat dari perubahan berat badan 500 gram - 1 kg per hari.
Asites yang sangat besar dapat dilakukan parasentesis. Jika ditemukan pewarnaan Gram dari hasil parasentesis positif atau peritonitis bakterial spontan dicurigai secara klinis, berikan antibiotik segera. Pilihan antibiotik yang dapat digunakan di antaranya adalah cefotaxime dan ciprofloxacin. Parasentesis juga sebaiknya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatis.[13,26,27]
Penanganan Hipertensi Portal
Propranolol dapat diberikan pada pasien dengan varises esofagus, untuk memperbaiki hipertensi portal. Pemberian beta blocker sebagai profilaksis untuk perdarahan varises apabila terdapat varises yang besar (>5 mm) atau memiliki risiko tinggi (Child-Pugh Class B atau C).
Pemberian propranolol dapat mengurangi angka kejadian komplikasi terkait hipertensi portal, seperti ensefalopati, peritonitis bakterial spontan, dan asites. Propranolol yang direkomendasikan adalah sebesar 20-40 mg, dua kali per hari dan dilakukan hingga detak jantung 55-60 kali per menit dan tekanan darah sistolik tidak di bawah 90 mmHg. Setelah baik, pasien diminta untuk kontrol dan melanjutkan terapi propranolol. Selain propranolol, obat yang dapat diberikan adalah nadolol dan carvedilol. [4,10]
Prosedur TIPS, Transjugular Intrahepatic Portosystem Shunt, merupakan prosedur yang dapat dilakukan dalam menangani perdarahan alibat varises yang aku ataupun berulang tetapi tidak dapat dilakukan terapi farmakologi maupun skleroterapi. TIPS bertujuan untuk mengalihkan aliran darah portal ke vena hepatika. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada sirkulasi portal dan sistemik, dan dapat mengurangi hipertensi portal dan perdarahan, serta ascites. Pasien yang akan dilakukan transplantasi hepar sebelumnya dapat dilakukan terlebih dahulu TIPS, walaupun sebenarnya hal ini masih kontroversial. TIPS tidak boleh dilakukan pada pasien dengan skor child-pugh C, ensefalopati yang berat, serta pasien dengan polycystic liver disease.
Kelebihan TIPS dibanding pemasangan shunt secara pembedahan adalah tidak merusak anatomi ekstrahepatis. Walaupun prosedur yang baik, penggunaannya harus disertai dengan pengawasan pasca TIPS yang tepat serta pengawasan komplikasi yang dapat terjadi. [28, 29]
Menangani Perdarahan Akibat Varises
Pada perdarahan akibat varises, dapat diberikan agen vasoaktif seperti somatostatin, okreotid, vasopressin, dan terlipresin. Pemberian agen vasoaktif dapat disertai dengan skleroterapi atau ligase endoskopi variseal (endoscopic variceal ligation / EVL). Antibiotik seperti rifaximin, cefotaxime, amoxicillin, atau aminoglikosida perlu diberikan untuk mencegah komplikasi peritonitis bakterial spontan.[4,13,26,27]
Pasien dengan sirosis biasanya memiliki koagulopati yang disebabkan kerusakan fungsi hepar, serta peningkatan faktor pembekuan darah yang dihasilkan endothelium pembuluh darah. Hal ini dapat ditangani dengan transfusi platelet apabila platelet di bawah 50.000 mm3. Selain itu, pemberian agen antifibrinolitik seperti asam aminokaproat, juga dapat diberikan dalam pencegahan thrombosis pada pasien dengan kelainan hepar. Defisiensi vitamin K sering ditemukan pada pasien dengan sirosis dekompensata. Pemberian vitamin K yang direkomendasikan dilakukan secara injeksi 10mg. Pemberian fresh frozen plasma (FFP) pada pasien dengan koagulopati memiliki efek yang masih diragukan. Pasalnya, pemberiannya dapat menyebabkan efek samping yang signifikan: seperti volume overload, hipertensi portal eksaserbasi dan risiko infeksi. [30,31,32]
Terapi Eksperimental pada Sirosis Hepatis
Seiring berkembangnya bidang kefarmasian, banyak studi yang meneliti efektifitas obat yang dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan sirosis hepatis. Beberapa obat seperti emricasan dan ASK1-I memiliki fungsi untuk menginhibisi apoptosis. Adapun inhibitor p38 MAPK, NOX-1/4, dan cenicriviroc yang berfungsi untuk mengurangi inflamasi serta fibrosis pada hepar. Selain itu, penggunaan obat seperti aramchol, analog FGF-21 dan FGF-19, serta inhibitor asetil ko-a karboksilase dapat membantu dalam mengurangi sintesis lipid serta meningkatkan oksidasi asam lemak. Untuk saat ini, obat-obat tersebut masih dalam penelitian fase 2, sehingga, dibutuhkan penelitian lainnya untuk mengetahui efektivitasnya. [24]
Transplantasi Hati
Sebelumnya, pertimbangan untuk transplantasi hati dilakukan berdasarkan skor Child-Pugh. Akan tetapi, saat ini, transplantasi hepar didasarkan pada Model for End-Stage Liver Disease (MELD). MELD dihitung berdasarkan serum bilirubin, serum kreatinin, dan INR berdasarkan rumus berikut:
MELD = 3.78 x ln [serum bilirubin (mg/dL)] + 11.2 x ln [INR] + 9.57 x ln [serum kreatinin (mg/dL)] + 6.43
MELD memiliki interpretasi sebagai berikut:
- >40 : mortalitas 71.3%
- 30-39 : mortalitas 52.6%
- 20-29 : mortalitas 19.6%
- 10-19 : mortalitas 6.0%
- <9 : mortalitas 1.9%
Mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas dalam 3 bulan. Hasil perhitungan MELD sudah tidak dapat digunakan setelah 48 jam. Pada pasien dengan dialisis sebanyak 2x, kreatinin adalah 4 mg/dL. Transplantasi hepar diutamakan pada pasien dengan skor MELD >15 atau di bawah 15 dengan adanya komplikasi. [13]