Beberapa penelitian telah mengungkapkan pentingnya membedakan dehidrasi dan deplesi volume sebagai entitas klinis yang terpisah. Kekeliruan dalam mengelompokkan pasien sebagai dehidrasi dapat menimbulkan kesan klinis yang tidak akurat dan berujung pada tata laksana yang salah.
Penilaian status cairan tubuh sangat berperan penting dalam evaluasi kondisi pasien, terutama pasien yang menjalani rawat inap. Asesmen cairan tubuh memerlukan pemahaman mendalam tentang interaksi dinamis antara berbagai kompartemen cairan tubuh serta analisis serum dan urin.[1,2]
Perbedaan Mekanisme Patofisiologi Dehidrasi dan Deplesi Volume
Dehidrasi dan deplesi volume merupakan dua sindrom klinis berbeda yang terjadi akibat kehilangan cairan tubuh secara berlebihan serta memiliki perbedaan mekanisme patofisiologi. Dehidrasi ditandai secara dominan oleh hilangnya komponen air, sedangkan deplesi volume menandakan defisit cairan ekstraseluler akibat hilangnya komponen air dan natrium.[1-3]
Dehidrasi
Pada kondisi dehidrasi, hilangnya air menyebabkan penurunan distribusi natrium sehingga mengganggu rasio antara air dan natrium, menimbulkan hipertonisitas dan hipernatremia. Membran sel memiliki sifat sangat permeabel terhadap air, sehingga komponen air yang berasal dari kompartemen intraseluler bergerak ke ekstraseluler akibat perbedaan tekanan osmotik.
Hal itu menyebabkan kontraksi komponen air dalam tubuh yang sebanding dengan rasio air terhadap massa tubuh. Akibatnya, pada kondisi dehidrasi, kompartemen intraseluler mengalami defisit air yang paling besar.[2,4]
Potensi Efek Klinis:
Secara klinis, konsep ini berdampak pada perbedaan hilangnya air antara kompartemen intraseluler dibandingkan ekstraseluler. Apabila seorang pasien kehilangan air sebanyak 1 L, kompartemen intraseluler akan mengompensasi hingga 670 mL sedangkan kompartemen intravaskular akan mengalami defisit 80 mL. Defisit air pada kompartemen intravaskular tersebut secara teoritis jarang mempengaruhi volume sirkulasi atau menyebabkan instabilitas hemodinamik.[1]
Kehilangan air dari tubuh akan memicu hipernatremia dan hipertonisitas akibat sifat natrium sebagai zat terlarut yang impermeable terhadap membran. Sebagai respon, sel osmoreseptor pada hipotalamus anterior akan mengecil dan merangsang pelepasan hormon antidiuretik (ADH) pada kelenjar pituitari posterior.
Selanjutnya, ADH mengaktifkan kanal air (aquaporin 2/AQP2) pada segmen distal nefron untuk meningkatkan reabsorpsi air. Selain itu, mekanisme rasa haus juga terpicu sehingga pasien dehidrasi akan mengonsumsi lebih banyak air. Kedua hal ini bertujuan untuk mengembalikan perubahan osmolalitas sehingga tercapai kadar natrium normal (normonatremia).[5,6]
Deplesi Volume
Di sisi lain, deplesi volume terjadi ketika tubuh mengalami penurunan volume ekstraseluler akibat kehilangan air dan natrium. Pada kompartemen ekstraseluler, natrium menahan jumlah air di kompartemen tersebut dan kadar natrium tetap terjaga berkat adanya kanal Na-K-ATPase.
Ketika pasien mengalami kehilangan air dan natrium secara signifikan, volume cairan yang bersirkulasi akan terganggu. Kemudian, tubuh akan merespons untuk mengatasi kondisi hipovolemik tersebut dengan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, memicu sistem saraf simpatik pada arkus aorta dan sinus karotid, menekan kerja peptida natriuretik (ANP) dan memicu pelepasan ADH.
Seluruh respons ini bertujuan untuk membantu ginjal dalam menahan ekskresi garam dan air sehingga mengembalikan defisit volume. Walaupun terdapat kesamaan respons ADH pada dehidrasi (akibat hipertonisitas) dan deplesi volume (akibat penurunan volume sirkulasi efektif), respons fisiologis deplesi volume relatif lebih kompleks dibandingkan respons terhadap dehidrasi.[1,7]
Gejala Dan Tanda Klinis Yang Membedakan Dehidrasi dan Deplesi Volume
Tidak terdapat gejala dan tanda yang secara pasti dapat membedakan dehidrasi dari deplesi volume. Dalam sebuah tinjauan sistematik, Hooper et al melaporkan bahwa belum ada gejala dan tanda klinis yang memiliki sensitivitas serta spesifisitas yang baik untuk mendiagnosis dehidrasi. Dari 22 studi yang dianalisis, mereka menemukan bahwa hanya 3 tanda yang berpotensi mendiagnosis dehidrasi, yaitu:
- Rasa lelah (sensitivitas 71%, spesifisitas 75%)
- Riwayat tidak minum di antara waktu makan (sensitivitas 100%, spesifisitas 77%)
- Resistensi analisis impedansi bioelektrik pada frekuensi 50 kHz (sensitivitas 71– 100%, spesifisitas 80–100%).[8]
Temuan Anamnesis
Sejumlah parameter klinis lazim digunakan para klinisi untuk mendiagnosis dehidrasi. Parameter tersebut antara lain riwayat asupan cairan, berkemih, warna urin, volume urin, denyut jantung, mukosa mulut kering, dan rasa haus. Meski begitu, parameter klinis tersebut tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang memadai untuk menilai dehidrasi.[8]
Temuan Pemeriksaan Fisik
Dalam Konsensus Multidisiplin tentang Dehidrasi yang disusun Lacey et al, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan fisik tidak cukup reliabel dalam menegakkan diagnosis dehidrasi. Sejumlah parameter seperti takikardia, hipotensi, membran mukosa kering, turgor kulit menurun, mata cekung, dan waktu pengisian kapiler yang memanjang memiliki akurasi diagnostik yang rendah dalam mendeteksi dehidrasi.[3]
Walaupun pemeriksaan fisik memiliki akurasi yang rendah, gabungan temuan pemeriksaan fisik dan anamnesis dapat membantu meningkatkan akurasi diagnostik dan mengarahkan pemeriksaan lanjutan. Jika pasien memiliki beberapa tanda klinis yang mengarah ke dehidrasi atau deplesi volume, dokter dapat lebih tepat merencanakan pemeriksaan penunjang lanjutan, sehingga temuan gejala dan tanda ini masih memiliki peran penting dalam menentukan status hidrasi meskipun tidak dapat membedakan dehidrasi dari deplesi volume.[3,9-11]
Karakteristik Biokimia Dehidrasi dan Deplesi Volume
Karakteristik perubahan biokimia yang dapat ditemukan pada pasien dengan dehidrasi dan deplesi volume meliputi perubahan osmolalitas plasma dan urin, rasio blood urea nitrogen (BUN)/kreatinin, dan osmolalitas saliva.[3,9,10]
Osmolalistas Plasma
Osmolalitas plasma (pOsm) merupakan parameter homeostatik utama yang menggambarkan kemampuan tubuh dalam mengatur kecukupan cairan intraseluler. Osmolalitas (jumlah partikel zat terlarut per kg pelarut) dan osmolaritas (jumlah partikel zat terlarut per liter larutan) tubuh akan meningkat saat seseorang mengalami defisit cairan.
Keseimbangan osmolalitas antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler perlu terjaga melalui pergerakan air dari dalam sel menuju lingkungan ekstraseluler hingga keseimbangan tercapai. Pada individu sehat, pOsm memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100% untuk mendeteksi kondisi dehidrasi yang terkait dengan penurunan 2% massa tubuh.
Meski begitu, osmolalitas plasma kurang dapat diandalkan dalam mendeteksi dehidrasi isotonik. Pada kondisi dehidrasi isotonik, status volume intravaskular pasien harus dinilai sebab dehidrasi dapat disertai dengan deplesi volume intravaskular.[3]
Osmolalitas Urin
Di sisi lain, pemeriksaan osmolalitas urin dengan menggunakan parameter berat jenis dan warna urin merupakan penanda status hidrasi yang non-invasif dan mudah untuk dikerjakan. Namun, variasi diurnal intra- dan antar individu membatasi kemampuan diagnostik parameter pemeriksaan ini.
Osmolalitas plasma dan urin juga tidak berkorelasi erat akibat perbedaan proporsinya pada plasma dan urin. Urea hanya berkontribusi terhadap 1% osmolalitas darah, sedangkan di urin proporsi urea dapat mencapai 40% osmolalitas urin.
Pada sebuah penelitian terhadap 313 individu dewasa di Inggris, berat jenis urin, warna urin, dan osmolalitas urin memiliki akurasi diagnostik yang buruk terhadap gambaran osmolalitas serum. Berdasarkan hal tersebut, osmolalitas urin kurang representatif untuk digunakan sebagai parameter pengganti osmolalitas plasma maupun menentukan status dehidrasi.[3]
Rasio BUN/Kreatinin
Rasio konsentrasi urea BUN terhadap kreatinin juga telah dipelajari untuk menentukan diagnosis dehidrasi. Rasio BUN/kreatinin akan meningkat ketika konsentrasi urea meningkat tajam dibandingkan peningkatan kreatinin. Pada pasien dehidrasi, rasio BUN/kreatinin dapat meningkat akibat konsentrasi urea di medulla ginjal dan plasma yang meningkat sedangkan kreatinin mengalami filtrasi bebas ke ginjal.
Rasio BUN/kreatinin di atas 20 secara klasik digunakan sebagai ambang batas penanda dehidrasi atau deplesi volume intravaskular. Namun, rasio BUN/kreatinin tidak spesifik dalam menggambarkan dehidrasi sebab rasio ini dapat meningkat akibat kondisi hiperkatabolik misalnya akibat sepsis atau pembedahan mayor; perdarahan saluran cerna; maupun pemberian glukokortikoid dosis tinggi.[3]
Osmolalitas Saliva
Osmolalitas saliva tampak memiliki akurasi diagnostik tingkat moderat dalam membedakan status hidrasi, dengan area under the curve (AUC) 0,76, untuk membedakan dehidrasi dari deplesi volume. Pemeriksaan ini telah dilaporkan memiliki sensitivitas 70-78% dan spesifisitas 68-72%. Temuan ini penting mengingat bahwa osmolalitas saliva berpotensi dapat mendeteksi deplesi volume pada situasi ketika osmolalitas plasma tidak memiliki efek diagnostik yang signifikan.
Ambang batas osmolalitas saliva adalah 95 mOsm/kg untuk dehidrasi dan 97 mOsm/kg untuk deplesi volume. Walaupun demikian, hasil dari pemeriksaan kadar osmolalitas saliva bisa tidak dapat diandalkan akibat banyaknya faktor yang mempengaruhi, seperti konsumsi cairan terakhir, penyakit yang berdampak terhadap laju produksi saliva, dan variabilitas antar individu.[3,9,10]
Kesimpulan
Dehidrasi dan deplesi volume merupakan dua sindrom klinis akibat dari kehilangan cairan tubuh dengan mekanisme patofisiologi yang berbeda. Dehidrasi ditandai oleh hilangnya air yang menghasilkan hipertonisitas dan hipernatremia. Di sisi lain, deplesi volume terjadi akibat kehilangan komponen air dan natrium yang mengganggu volume cairan yang bersirkulasi dan memicu respons tubuh kompleks termasuk aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Dehidrasi dan deplesi volume sulit dibedakan berdasarkan gejala dan tanda klinis saja. Meski demikian, gabungan antara temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa membantu mengarahkan diagnostik dan langkah pemeriksaan lanjutan.
Di sisi lain, belum ada juga penanda laboratorium pasti untuk membedakan dehidrasi dan deplesi volume. Osmolalitas plasma dapat menjadi indikator dehidrasi, tetapi kurang efektif untuk dehidrasi isotonik. Pemeriksaan osmolalitas urin dan rasio BUN/kreatinin memiliki keterbatasan dalam akurasinya. Sedangkan penilaian osmolalitas saliva dapat sulit dilakukan akibat berbagai faktor yang bisa menjadi perancu hasilnya, termasuk konsumsi cairan terakhir dan tingginya variabilitas antar individu.