Manajemen Neurodermatitis pada Lansia

Oleh :
dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK

Manajemen neurodermatitis atau lichen simplex chronicus pada lansia sering dilakukan secara seadanya dan tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan keluhan gatal pada lansia dianggap sebagai hal yang biasa dan kurang penting bila dibandingkan dengan banyak komorbiditas lain pada lansia. Padahal, rasa gatal yang menetap dapat mengganggu kualitas hidup lansia dan memperburuk gangguan psikologis, misalnya depresi.[1]

Mekanisme terjadinya neurodermatitis pada lansia melibatkan disfungsi barrier kulit, reaksi imunologis, dan neuropati sentral maupun perifer. Adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya dan riwayat gangguan psikologis juga berpengaruh terhadap keluhan gatal kronis pada lansia.[2]

NeurodermatitisLansia

 

Sekilas tentang Penyebab Neurodermatitis pada Lansia

Menurut Lilit, et al., kondisi kulit kering seperti xerosis sering terjadi pada lansia dengan prevalensi 38–85%. Perubahan lapisan epidermis dan dermis kulit yang terus menerus akan memengaruhi stratum corneum, protease, dan variasi pH. Selain itu, aktivitas kelenjar sebum dan kelenjar keringat juga akan terpengaruh dan berkurang. Semua hal ini menyebabkan xerosis dan kerentanan terhadap dermatitis.[3]

Perubahan sistem imun akibat proses penuaan (immunosenescence) juga berpengaruh terhadap penurunan T helper 1 dan peningkatan T helper 2. Hal ini berperan dalam terjadinya reaksi alergi pada lansia, yang menyebabkan lansia lebih rentan mengalami keluhan pruritus.[2]

Penelitian juga menyebutkan bahwa kerapatan ujung saraf epidermis berkurang seiring dengan penuaan. Hal ini dapat menimbulkan alloknesis, yaitu sensasi gatal yang dipicu oleh stimulus yang normalnya tidak memicu gatal. Selain itu, adanya neuropati sentral atau neuropati perifer pada lansia juga berpengaruh terhadap rasa gatal.[4]

Penyakit metabolik tertentu seperti diabetes mellitus juga dapat menyebabkan gatal. Selain itu, penyebab gatal lain yang perlu dipertimbangkan adalah reaksi obat, infestasi scabies, dan infestasi bed bug.[4]

Terapi Nonmedikamentosa untuk Neurodermatitis pada Lansia

Prinsip manajemen neurodermatitis pada lansia adalah perbaikan barrier kulit, terapi simtomatis, dan terapi etiologis untuk dermatitis primer maupun sekunder yang terjadi. Untuk lini pertama, terapi nonmedikamentosa umumnya lebih disarankan.[2]

Perbaikan Barrier Kulit dengan Emolien dan Sabun yang Tepat

Emolien dan sabun yang lembut direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk neurodermatitis pada lansia dengan xerosis. Kerusakan lapisan kulit, hiperkeratosis, eritema, dan hilangnya kelembaban transepidermal akan menimbulkan sensasi gatal.[3]

Produk pelembab yang mengandung humectant seperti gliserol, laktat, dan urea dapat menahan air di kulit. Sementara itu, occlusives seperti petrolatum dan minyak mineral dapat mencegah evaporasi air. Emolien seperti sterol dan lanolin dapat menghidrasi kulit sekaligus beraksi sebagai occlusives.[3]

Namun, komponen parfum dalam produk pelembab yang diberikan dapat menimbulkan dermatitis kontak iritan. Oleh karena itu, berikan edukasi pada pasien dan hindari produk dengan parfum. Untuk sabun, pilih sabun yang mengandung surfaktan ringan. Hentikan semua rudapaksa baik secara fisik (sauna, benda panas, dan gesekan) maupun secara kimiawi (iritan dan deterjen).[3]

Pemberian Antipruritus Topikal

Terapi simtomatik berupa agen antipruritus lokal untuk mengurangi keluhan gatal dapat diberikan, misalnya berupa krim capsaicin, menthol, atau polidocanol.[5]

Penggunaan Barrier Mekanik

Pemasangan suatu barrier mekanik seperti hydrocolloid occlusion atau bandage dapat mengurangi garukan yang tidak disadari pada area yang gatal. Tindakan ini dikenal juga sebagai terapi occlusives, yang kadang disertai dengan pemberian obat topikal.[5,6]

Terapi Medikamentosa untuk Neurodermatitis pada Lansia

Terapi medikamentosa yang umumnya digunakan untuk kasus neurodermatitis adalah kortikosteroid. Namun, ada juga opsi seperti inhibitor calcineurin dan antihistamin.[7,8]

Pemberian Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid bersifat efektif untuk mengurangi respons inflamasi dan memperbaiki keluhan gatal. Namun, obat ini hanya cocok digunakan bila ada etiologi inflamasi yang menyebabkan keluhan gatal tersebut.[8]

Kortikosteroid topikal memiliki risiko efek samping berupa atrofi kulit, telangiectasia, dan purpura senilis. Oleh karena itu, penggunaan kortikosteroid topikal jangka lama tidak direkomendasikan pada pasien lansia.[2]

Pemberian Inhibitor Calcineurin Topikal

Salah satu contoh inhibitor calcineurin topikal adalah tacrolimus. Untuk terapi jangka panjang pada pruritus yang berkaitan dengan etiologi inflamasi, inhibitor calcineurin topikal lebih dipilih karena tidak menyebabkan atrofi kulit seperti kortikosteroid.[2]

Pemberian Antihistamin Oral

Antihistamin oral memblokir reseptor H1 pada cabang aferen saraf. Dalam dosis tinggi, antihistamin oral juga memblokir pembentukan sel mast. Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa antihistamin oral tidak mempunyai efikasi yang baik untuk kasus dermatitis selain urtikaria.[2,7]

Pada pasien yang bukan lansia, antihistamin generasi pertama kadang diresepkan karena efek sedasinya dapat mengurangi kesulitan tidur di malam hari akibat rasa gatal. Namun, pada pasien lansia, penggunaan antihistamin generasi pertama dilaporkan berkaitan dengan risiko jatuh dan fraktur yang lebih tinggi. Oleh karena itu, antihistamin generasi kedua lebih dipilih.[5,9]

Contoh antihistamin generasi pertama adalah diphenhydramine, chlorpheniramine, dan hydroxyzine, sedangkan contoh antihistamin generasi kedua adalah fexofenadine, cetirizine, dan loratadine. Beberapa antihistamin memiliki efek antikolinergik yang dapat menyebabkan delirium pada lansia dengan Alzheimer dan demensia, sehingga dokter harus berhati-hati ketika meresepkannya.[2,7]

Pemberian Obat Lainnya

Menurut beberapa studi, analog γ-aminobutyric acid seperti gabapentin dan pregabalin dapat mengurangi gatal. Mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas tetapi diduga berkaitan dengan jalur desensitisasi, yang membuat obat golongan ini cocok untuk terapi pruritus kronis. Namun, pregabalin dapat menyebabkan gejala withdrawal seperti diaforesis, takikardi, agitasi, paranoid, halusinasi auditori, dan percobaan bunuh diri. Oleh karena itu, penghentian obat harus dilakukan bertahap.[2]

Keluhan gatal akibat penyakit sistemik dapat diatasi dengan terapi kausa awal gatalnya. Contohnya, pasien dengan kolestasis dapat diberikan kolestiramin dan pasien dengan gatal psikogenik dapat diberikan antidepresan. Namun, dokter perlu berhati-hati dengan efek samping antikolinergik yang dapat terjadi pada lansia akibat antidepresan. Efek samping antikolinergik dapat berupa retensi urine, konstipasi, pusing, mulut kering, gangguan irama jantung, dan pandangan kabur.[8]

Fototerapi Ultraviolet

Terapi ultraviolet (UV)-B yang dikombinasikan dengan UV-A dapat mengurangi keluhan gatal. Terapi ini dapat diberikan pada pasien dengan riwayat polifarmasi, pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap terapi medikamentosa, dan pasien yang tidak membaik setelah menerima terapi lain. Efek samping terapi UV adalah kulit terbakar.[2]

Kesimpulan

Manajemen neurodermatitis pada lansia perlu melibatkan perbaikan barrier kulit, terapi simtomatis, dan terapi etiologi dasarnya bila ada. Neurodermatitis yang tidak ditangani pada lansia dapat mengganggu kualitas hidup dan memperburuk gangguan psikologis yang ada, misalnya depresi.

Manajemen lini pertama untuk neurodermatitis pada lansia adalah pemberian emolien dan sabun dengan tingkat kelembaban tinggi, yang bersifat non-iritan terhadap kulit. Hentikan semua rudapaksa secara fisik (sauna, benda panas, dan gesekan) maupun secara kimiawi (iritan dan deterjen). Agen antipruritus lokal seperti capsaicin dan terapi oklusif juga dapat digunakan.

Terapi medikamentosa umumnya mencakup pemberian kortikosteroid topikal. Namun, dalam jangka panjang, hal ini berisiko menyebabkan atrofi kulit. Alternatif lain adalah penggunaan inhibitor calcineurin seperti tacrolimus. Pemberian antihistamin generasi pertama perlu dihindari karena meningkatkan risiko jatuh dan fraktur pada lansia.

Apabila pasien memiliki kontraindikasi terhadap terapi medikamentosa atau mengalami keluhan yang menetap meskipun sudah menerima berbagai terapi lain, dokter dapat mempertimbangkan fototerapi ultraviolet.

Referensi