End of Life Decision pada Neonatus

Oleh :
dr. Hunied Kautsar

End of life decision atau keputusan medis di akhir masa hidup neonatus perlu dibuat dengan mempertimbangkan pendapat orang tua dan aspek medikolegal. End of life decision biasanya didiskusikan untuk neonatus dengan kecacatan kongenital berat, neonatus dengan penyakit terminal yang memiliki prognosis buruk, dan neonatus aterm dengan berat badan yang sangat rendah.[1]

Pada pasien dewasa, end of life decision biasanya lebih jelas karena keputusan untuk menghentikan perawatan yang sia-sia (withholding or withdrawing futile treatment) bisa dibuat berdasarkan penilaian tim medis dan prinsip otonomi pasien. Namun, pada bayi yang baru lahir, hal ini menjadi lebih rumit karena bayi tidak dapat menyampaikan kehendaknya sendiri, sehingga prinsip otonomi pasien tidak berlaku.[1]

Depositphotos_64225759_m-2015_compressed

Perdebatan tentang Penghentian Perawatan yang Sia-Sia

Pengambilan keputusan withholding or withdrawing futile treatment pada neonatus dengan kecacatan kongenital berat atau penyakit terminal masih sering diperdebatkan. Siapakah yang harus mengambil keputusan? Apakah tim medis memiliki hak penuh dalam mengambil keputusan atau keputusan tersebut ada di tangan orang tua?[1]

Sejauh manakah orang tua ingin dilibatkan dalam mengambil keputusan withholding or withdrawing treatment di akhir kehidupan bayinya jika secara medis bayinya dinilai tidak memiliki kesempatan untuk hidup?[1]

Pada neonatus yang lahir dengan sakit parah (severely ill newborn), keputusan pertama yang harus diambil adalah tentang tindakan life support. Kewajiban tim medis adalah memberikan life support untuk dapat menentukan prognosis yang lebih pasti. Setelah itu, dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan life support, tim medis harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kemungkinan untuk bayi tersebut dapat bertahan hidup.[1]

Bila bayi tersebut akan bertahan hidup, apakah bayi tersebut akan memiliki kualitas hidup yang baik? Apakah bayi tersebut dapat berkembang dan memiliki kemampuan komunikasi serta kemampuan untuk menjadi individu yang mandiri? Atau apakah bayi tersebut harus tergantung pada berbagai tindakan medis seumur hidupnya? Penilaian dari sisi medis adalah murni wewenang dokter yang menangani bayi tersebut.[1]

Aspek Medis dari End of Life Decision

Pembahasan mengenai end of life decision pada neonatus tidak luput dari pembahasan mengenai The Groningen Protocol yang dulu diajukan oleh Profesor Eduard Verhagen, Kepala Departemen Pediatri di Medical Center of the University of Groningen, Belanda.

Protokol tersebut berisi kriteria yang memberikan justifikasi bagi dokter di Belanda untuk secara sengaja memberikan obat yang mempercepat kematian bagi bayi yang lahir dalam keadaan sakit parah (severely ill newborn). Tujuannya adalah menghentikan penderitaan yang dialami oleh bayi tersebut (neonatal euthanasia).[2]

Protokol tersebut mendapat kecaman dari beragam asosiasi dokter spesialis anak dan spesialis neonatologi di seluruh dunia. Walau tindakan euthanasia dilegalkan di Belanda untuk pasien yang berusia di atas 12 tahun, neonatal euthanasia merupakan tindakan kriminal di Belanda dan juga di seluruh dunia.[2]

Kualitas Hidup di Kemudian Hari

Salah satu poin yang termasuk dalam kriteria The Groningen Protocol adalah kualitas hidup di kemudian hari bagi bayi yang lahir dalam keadaan sakit parah. Kriteria ini digunakan untuk menentukan prognosis bayi tersebut. Namun, dokter harus selalu mengingat bahwa kualitas hidup bayi yang baru lahir adalah hal yang bersifat relatif. Kualitas hidup di kemudian hari mungkin masih dapat ditingkatkan seiring dengan kemajuan teknologi di bidang kedokteran.[3]

Moyse dan Diederich dalam studinya menyimpulkan bahwa orang yang tidak memiliki kecacatan sering kali menilai bahwa seseorang yang lahir dengan kecacatan memiliki kualitas hidup yang lebih rendah. Padahal, orang yang memiliki kecacatan mungkin tidak merasa demikian.[3]

International Federation for Spina Bifida and Hydrocephalus menyatakan bahwa bayi yang lahir dengan spina bifida atau hydrocephalus memiliki hak untuk hidup dan hak memperoleh segala perawatan yang bisa meningkatkan kualitas hidup mereka.[4]

Setiap bayi yang lahir dengan kecacatan memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam masyarakat selama masyarakat mau menerima. Asumsi bahwa bayi yang lahir dengan spina bifida atau hydrocephalus akan memiliki kualitas hidup yang rendah tidak bisa dijadikan alasan untuk merebut hak mereka untuk hidup.[4]

Sumpah Dokter

Dalam menjalankan praktiknya, seorang dokter harus selalu berpegang teguh pada sumpah dokter. Bunyi poin keenam sumpah dokter adalah, “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”. Dokter harus mempertahankan kehidupan walaupun prognosis pasien buruk. Namun, hal ini bukan berarti dokter harus melakukan tindakan yang sia-sia (futile care) atau memperpanjang penderitaan pasien.[5]

Keterlibatan Orang Tua dalam Pengambilan Keputusan         

Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan life support untuk bayi yang sakit parah bukanlah hal yang mudah bagi orang tua. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi mereka.[6]

Berdasarkan penelitian terhadap 53 orang tua dari bayi yang lahir dengan berat badan sangat rendah, hampir seluruh orang tua ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang life support bayinya. Namun, tidak semua orang tua memiliki pandangan yang sama mengenai seberapa jauh mereka ingin terlibat. Beberapa orang tua khawatir akan merasa bersalah di masa depan jika mereka yang memutuskan untuk menghentikan life support bayinya.[6]

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya terhadap 35 orang tua dari bayi prematur, yang menyatakan bahwa keinginan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan berbeda dengan keinginan untuk membuat keputusan tersebut (participate not decide). Beberapa orang tua merasa khawatir faktor emosional akan menghalangi pengambilan keputusan yang rasional serta khawatir akan dirundung rasa bersalah jika mereka yang harus membuat keputusan.[7]

Namun, studi yang diadakan oleh Armentrout terhadap 15 orang tua yang memutuskan untuk menghentikan life support bayinya menunjukkan hasil yang berbeda dengan kekhawatiran orang tua di penelitian sebelumnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan oleh orang tua memberikan dampak yang positif bagi mereka. Orang tua merasa memiliki kontrol dalam suatu situasi yang pada dasarnya di luar kontrol mereka.[8]

Dalam studi tersebut, orang tua juga melihat diri mereka sebagai orang dewasa yang kompeten dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Duka yang mereka rasakan tidak berkurang dan berlanjut untuk waktu yang lama tetapi mereka dapat menemukan cara untuk berkabung.[8]

Perawatan Paliatif di Akhir Kehidupan Bayi

Apabila segala terapi medis sudah diusahakan tetapi prognosis bayi tidak membaik (seperti kondisi vegetatif persisten), konsensus antara tim medis dan orang tua harus dicapai. Konsensus dapat berupa withholding atau withdrawing treatment.[9]

Withholding adalah tidak memberikan perawatan atau tindakan lebih (no therapeutic escalation) ketika keadaan bayi menjadi lebih buruk, contohnya do not resuscitate (DNR). Withdrawing adalah menghentikan terapi yang pada mulanya bertujuan untuk mempertahankan hidup tetapi dinilai sudah menjadi sia-sia dan hanya memperpanjang proses kematian, contohnya mencabut alat bantu napas (mechanical ventilation).[9]

Jika orang tua sudah menyetujui untuk menghentikan perawatan, dokter dapat memulai persiapan untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi bayi dan orang tua sebelum perawatan dihentikan. Penghentian perawatan termasuk penghentian artificial nutrition and hydration.[1]

Beberapa bayi yang sakit parah (severely ill newborn) tidak membutuhkan pemberian artificial nutrition and hydration, sehingga bayi masih bisa diberi ASI secara langsung maupun melalui botol. Pemberian ASI termasuk perawatan dasar yang bisa dilanjutkan selama tidak menimbulkan rasa tidak nyaman pada bayi, seperti risiko tersedak.[1]

Prosedur penghentian perawatan dijelaskan kepada orang tua, termasuk kemungkinan reaksi bayi, seperti perubahan warna kulit dan kesulitan bernapas ketika alat bantu pernapasan (mechanical ventilation) dicabut.[1]

Dosis analgesik dan sedatif mungkin harus ditambah untuk mencegah post-withdrawal suffering. Muscle relaxant tidak dianjurkan kepada bayi di akhir masa hidupnya karena tidak memiliki karakteristik analgesik maupun sedatif. Tidak ada justifikasi pemberian muscle relaxant sebagai terapi paliatif untuk mengurangi nyeri.[10,11]

Sebagian besar bayi akan meninggal tidak lama setelah alat bantu kehidupan dicabut, tetapi beberapa bayi dapat bertahan untuk waktu cukup lama dalam keadaan relatif stabil. Ini adalah masa yang sulit bagi orang tua. Tim medis perlu tetap memperhatikan bayi dan orang tua supaya mereka tidak merasa ditelantarkan. Tim medis bertanggung jawab penuh untuk memastikan proses berjalan lancar dan orang tua mendapatkan informasi dan perhatian yang memadai.[10,11]

Kesimpulan

Pada pasien neonatus, pengambilan keputusan untuk tidak memberikan perawatan lebih (withholding treatment) atau menghentikan perawatan (withdrawing treatment) bersifat jauh lebih kompleks daripada pada pasien dewasa. Dokter harus berperan untuk menentukan apakah perawatan yang diberikan sia-sia (futile care) dan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien.

Namun, orang tua juga tetap harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan meskipun  keinginan mereka untuk seberapa jauh terlibat mungkin berbeda-beda. Untuk itu, dokter harus memastikan bahwa komunikasi dan perhatian terhadap pasien dan keluarga diberikan secara memadai, sehingga mereka tidak merasa ditelantarkan.

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi