Perawatan yang Sia-Sia di ICU

Oleh :
dr. Hunied Kautsar

Perawatan yang sia-sia atau futile care di intensive care unit (ICU) masih menjadi topik yang sering diperdebatkan. Selain definisi yang belum jelas, keputusan tentang kapan suatu perawatan medis mulai dianggap tidak bermanfaat dan harus dihentikan secara etis juga masih menjadi topik yang kontroversial.

Secara umum, perawatan yang sia-sia atau futile care dapat didefinisikan sebagai penggunaan sumber daya medis dalam jumlah signifikan tanpa adanya harapan bahwa pasien bisa kembali ke kondisi independen dan interaktif dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini terutama sering dialami oleh pasien ICU karena prognosis pasien yang masuk ke ruang perawatan intensif umumnya memang sudah kurang baik.

Depositphotos_44010219_m-2015_compressed

Beberapa ahli menyarankan untuk mengganti istilah perawatan yang sia-sia (futile care) dengan istilah perawatan medis yang tidak tepat (medically inappropriate treatment). Hal ini bermaksud untuk menegaskan bahwa keputusan penghentian perawatan di ICU seharusnya berdasarkan penilaian tim medis.[1,2]

Evaluasi Perawatan yang Sia-Sia Berdasarkan Prinsip Etika Kedokteran

Pemberian perawatan medis di ICU yang dinilai sia-sia (futile) bertentangan dengan tiga prinsip etika kedokteran, yakni beneficence, non-maleficence, dan distributive justice. Alasan mengapa futile care dinilai bertentangan dengan ketiga prinsip tersebut adalah:

  • Beneficence: karena perawatan yang diberikan sudah tidak membawa manfaat bagi pasien

  • Non-maleficence: karena perawatan yang diberikan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pasien

  • Distributive justice: karena perawatan yang sia-sia di ICU untuk seorang pasien mungkin bisa dimanfaatkan oleh pasien lain yang lebih membutuhkan[1,2]

Keputusan untuk Membatasi atau Menghentikan Perawatan di ICU

Ketika menghadapi kasus di mana pasien dinilai sudah tidak menerima manfaat dari perawatan medis yang diberikan, dokter dapat mempertimbangkan untuk withholding atau withdrawing terapi.

Withholding berarti bahwa dokter tidak lagi memberikan perawatan atau tindakan lebih (no therapeutic escalation) ketika keadaan pasien memburuk. Contohnya adalah tidak melakukan resusitasi jantung-paru pada pasien yang dinilai sudah tidak bisa menerima manfaat dari tindakan tersebut.[2]

Sementara itu, withdrawing berarti bahwa dokter menghentikan terapi yang awalnya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan tetapi akhirnya dinilai sudah menjadi sia-sia dan hanya memperpanjang proses kematian. Contohnya adalah melepaskan ventilasi mekanik.[2]

Respons Keluarga Pasien terhadap Keputusan Withholding dan Withdrawing

Apabila pasien pernah menyampaikan keinginan pribadinya terkait end of life support sebelum kondisinya memburuk, maka proses pembuatan keputusan withholding atau withdrawing terapi biasanya tidak terlalu dibebankan kepada keluarga pasien. Akan tetapi, keluarga pasien perlu tetap dilibatkan dalam diskusi.

Cukup banyak keluarga menolak keputusan withholding maupun withdrawing terapi. Salah satu alasannya adalah keluarga mungkin meragukan prognosis yang diberikan tim medis. Beberapa orang berpendapat bahwa keputusan untuk menyatakan suatu perawatan sia-sia tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada tim medis karena ada aspek dalam hidup yang tetap menjadi misteri, bahkan untuk dokter sekali pun.[3]

Keluarga pasien juga mungkin merasa bahwa mereka membutuhkan second opinion untuk menentukan apakah perawatan yang diberikan kepada pasien di ICU tersebut memang benar sia-sia atau masih perlu dilanjutkan.

Selain itu, beberapa orang juga memiliki alasan religius. Dalam agama tertentu, upaya mempertahankan kehidupan dengan cara apa pun dianggap sebagai nilai yang amat penting. Seseorang mungkin percaya bahwa keajaiban bisa terjadi jika Tuhan belum mengijinkan pasien tersebut meninggal.

Alasan terakhir yang juga perlu dipertimbangkan adalah alasan biaya. Keluarga pasien mungkin menganggap bahwa karena mereka telah membayar semua biaya perawatan di ICU, mereka berhak menentukan untuk melanjutkan perawatan di ICU walaupun perawatan tersebut sudah dinilai sia-sia (futile) oleh tim medis.[3-5]

Upaya untuk Menanggapi Respons Keluarga Pasien

Beragam usaha telah dilakukan untuk mencari jalan keluar dari perdebatan mengenai definisi dan kriteria futile care. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengumpulkan data prognosis beragam kasus di ICU yang perawatannya dianggap sia-sia (futile). Data-data tersebut lalu dijabarkan dalam bentuk persentase sederhana untuk keluarga pasien.

Misalnya, dokter menunjukkan bahwa persentase untuk sembuh dari penyakit A adalah 0,5%. Namun, meskipun persentase yang dilaporkan sangat rendah, keluarga pasien mungkin masih menganggap bahwa adanya persentase yang lebih dari nol sudah cukup meyakinkan mereka untuk terus melanjutkan perawatan di ICU.[5]

Contoh upaya lain untuk menyelesaikan perdebatan mengenai futile care yang pernah dilakukan di Texas, Amerika Serikat adalah dengan melibatkan komite etik rumah sakit. Jika tim medis menilai bahwa perawatan yang diberikan kepada seorang pasien sudah tidak tepat dan sia-sia tetapi pihak keluarga menolak untuk menghentikan perawatan, kasus tersebut dapat diajukan ke komite etik untuk ditinjau ulang.

Keluarga pasien lalu diberikan waktu 10 hari untuk mencari fasilitas kesehatan lain yang bersedia untuk melanjutkan perawatan. Jika dalam 10 hari keluarga pasien tidak dapat menemukan fasilitas kesehatan yang mau melanjutkan perawatan, maka perawatan akan dihentikan.[5]

Komunikasi yang Baik dengan Keluarga Pasien tentang Futile Care

Dalam menangani perbedaan pendapat tentang waktu yang tepat untuk menghentikan perawatan bagi seorang pasien, hal yang paling penting dilakukan adalah membangun komunikasi yang baik dengan keluarga pasien.

Penjelasan tentang futile care membutuhkan kemampuan menyampaikan kabar buruk. Berikan penjelasan yang rinci tetapi mudah dipahami mengenai alasan perawatan yang diberikan dinilai sudah tidak tepat. Dokter dapat menjelaskan bahwa perawatan yang diberikan tidak dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, sehingga rasa sakit dan rasa tidak nyaman yang dialami pasien selama perawatan tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.

Bila keluarga sulit membuat keputusan, terutama pada kondisi di mana pasien belum pernah menyampaikan pendapatnya tentang end of life support ketika kondisinya masih lebih baik, dokter yang telah berpengalaman dapat mencoba menanyakan bagaimana penyakit ini memengaruhi hidup pasien selama ini dan bagaimana pandangan pasien mengenai penyakitnya agar dapat membantu pengambilan keputusan.[5,6]

Rekomendasi tentang Futile Care di Indonesia

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 menyatakan bahwa kebijakan tentang kriteria pasien yang sakit terminal dan kriteria futile care perlu ditentukan oleh tiap direktur atau kepala rumah sakit. Setelah itu, keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter dari komite etik.

Rencana penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus diberi tahu kepada keluarga pasien (atau wali pasien) dan harus disetujui terlebih dahulu. Perawatan yang bisa dihentikan adalah yang bersifat terapeutik atau luar biasa, misalnya perawatan di ICU, resusitasi jantung-paru, ventilasi mekanik, intubasi, antibiotik, transfusi darah, transplantasi, dan nutrisi parenteral. Terapi bantuan hidup yang tidak boleh dihentikan atau ditunda adalah oksigen, nutrisi enteral, dan cairan kristaloid.

Apabila pasien tidak berkompeten membuat keputusan, keluarga boleh meminta dokter menghentikan perawatan asalkan pasien pernah menyatakan keinginannya untuk hal ini atau keluarga yakin pasien ingin hal ini jika dirinya masih kompeten. Bila ada pertentangan pendapat antara keluarga dan tim etik (di mana keluarga tetap meminta penghentian perawatan), maka tanggung jawab hukum akan ada di pihak keluarga.[8]

Persiapan untuk Menghentikan Perawatan

Jika pihak keluarga sudah menyetujui penghentian perawatan, dokter dapat memulai persiapan untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi pasien dan keluarga. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan reaksi yang dapat diberikan oleh pasien, seperti kesulitan bernapas yang mungkin dialami pasien ketika ventilasi mekanik dicabut.

Terapi sebaiknya dihentikan secara serentak, seperti transfusi darah, antibiotik, dan nutrisi parenteral. Satu-satunya alasan perawatan dihentikan secara perlahan adalah jika penghentian perawatan secara serentak menyebabkan rasa sakit atau rasa tidak nyaman bagi pasien.

Bagi pasien yang menggunakan alat bantu pernapasan, transisi dapat dilakukan dari mesin ventilator ke T-piece atau ekstubasi dalam waktu 10–20 menit. Sedasi dan analgesia harus diberikan dalam jumlah yang cukup untuk menjamin kenyamanan pasien. Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga pasien untuk menjalani ritual sesuai dengan aliran agama atau kepercayaan yang dianut.[7]

Sebagian besar pasien akan meninggal tidak lama setelah alat bantu kehidupan dicabut tetapi beberapa pasien akan bertahan untuk waktu cukup lama dalam keadaan relatif stabil. Ini adalah masa yang sulit bagi keluarga. Tim medis perlu tetap memperhatikan pasien dan keluarga agar mereka tidak merasa ditelantarkan. Tim medis bertanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa proses berjalan lancar dan keluarga pasien mendapatkan informasi dan perhatian yang memadai.

Kesimpulan

Definisi perawatan yang sia-sia atau futile care di intensive care unit (ICU) masih sering menjadi perdebatan. Kriteria kondisi pasien yang dapat dihentikan perawatannya pun masih menjadi topik yang kontroversial. Namun, hal yang perlu dipahami oleh dokter adalah futile care sebenarnya bertentangan dengan prinsip etika kedokteran.

Komunikasi dengan keluarga atau wali pasien menjadi kunci pengambilan keputusan penghentian perawatan pasien. Ketika suatu terapi dinilai menjadi sia-sia, Dokter perlu menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa manfaat yang diterima pasien sudah tidak setara dengan rasa sakit atau tidak nyaman yang dialami oleh pasien.

Di Indonesia, penghentian futile care dapat dilakukan berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan. Kriteria futile care ditentukan oleh direktur atau kepala rumah sakit, lalu keputusan dibuat oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter komite etik. Lalu, bila keluarga setuju, penghentian terapi dapat dilakukan.

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi