Peran Agen Biologis pada Penatalaksanaan Asma Eosinofilik Derajat Berat

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Berbagai studi telah menunjukkan potensi agen biologis dalam penatalaksanaan asthma eosinofilik derajat berat. Selama ini, tata laksana asthma bertumpu pada bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi. Namun, terdapat berbagai kasus dimana asthma tetap tidak terkontrol walaupun telah ditata laksana dengan bronkodilator dan kortikosteroid secara maksimal, khususnya pada kasus asthma eosinofilik derajat berat. Oleh karenanya, tata laksana asthma yang lebih baru dan lebih baik terus diteliti, termasuk kemungkinan potensi agen biologis.

Potensi Agen Biologis dalam Tata Laksana Asthma Eosinofilik

Studi menunjukkan bahwa aktivasi dan migrasi eosinofil, sel mast, basofil, dan sel T-helper CD4 ke submukosa jalan napas berperan dalam timbulnya hyperresponsiveness pada patofisiologi asthma. Migrasi dari sel-sel ini dimediasi oleh sitokin inflamasi yang berasal dari sel T-Helper 2 (Th2) dan sel limfoid innate tipe 2 (ILC2), seperti interleukin 4, 5, dan 13. Selain bertanggung jawab terhadap migrasi, sitokin-sitokin tersebut turut berperan dalam peningkatan produksi imunoglobulin E (IgE). Keseluruhan proses tersebut pada akhirnya akan menyebabkan remodeling saluran pernapasan.[1-3]

shutterstock_604267133

Penatalaksanaan asthma saat ini meliputi pendekatan nonfarmakologis dan farmakologis. Menghindari paparan alergen merupakan fokus utama pendekatan nonfarmakologis. Sementara itu, pendekatan farmakologis mencakup penggunaan agonis ß2, kortikosteroid, antagonis reseptor leukotrien, antikolinergik kerja panjang, dan teofilin. Sebagian besar pasien asthma berespon baik terhadap terapi tersebut. Namun, untuk kasus asthma derajat berat, khususnya jenis asthma eosinofilik, respon terapi terkadang kurang signifikan.  Saat ini, penelitian terkait terapi untuk asthma eosinofilik derajat berat menitikberatkan pada patofisiologi jalur sitokin yang berfokus pada interleukin 4,5, dan 13, serta imunoglobulin E. [1-3] Agen biologis merupakan novel treatment asthma eosinofilik derajat berat. Agen biologis yang dapat digunakan antara lain omalizumab, reslizumab, mepolizumab, benralizumab, dan dupilumab.[1]

Omalizumab

Omalizumab merupakan recombinant humanized deoxyribonucleic acid (DNA)-derived IgG1 monoclonal antibody. Saat ini, omalizumab merupakan satu-satunya agen anti-IgE yang telah disetujui FDA untuk terapi asthma dengan karakteristik berikut:

  • Sekurang-kurangnya berusia enam tahun
  • Diagnosis moderate to severe persistent asthma

  • Respon tidak adekuat terhadap glukokortikoid inhalasi dosis medium hingga tinggi
  • Serum IgE antara 30-700 IU/ml
  • Sensitif terhadap alergen spesifik sepanjang tahun[3]

Omalizumab berikatan kuat dengan domain IgE pada rantai berat C-epsilon-3, yang pada prosesnya akan berikatan pada reseptor FcεRI pada basofil dan sel mast. Penggunaan omalizumab akan menurunkan jumlah IgE sirkulasi, sehingga melemahkan respon alergi fase awal dan fase lanjut, disrupsi pada kaskade alergi, mengurangi inflamasi yang dimediasi eosinofil, mencegah degranulasi sel mast, dan down-regulation ekspresi FcεRI. Omalizumab amat spesifik terhadap IgE dan tidak akan berikatan dengan imunoglobulin lainnya.[1]

Bukti Ilmiah

Sebuah studi prospektif multisenter, acak, grup paralel, buta-ganda, kontrol-plasebo dilakukan pada pasien asthma derajat berat yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis tinggi dan agonis ß2 kerja panjang (LABA). Studi ini menganalisis 850 pasien dengan rentang usia 12-75 tahun dengan kontroler baseline yang dikategorikan ke dalam tiga grup, yaitu:

  • M1 yang meliputi ICS + LABA
  • M2 yang meliputi ICS, LABA, dan ≥ 1 kontroler tambahan namun bukan kortikosteroid oral
  • M3 yang meliputi ICS, LABA dan kortikosteroid oral

Studi ini menemukan penurunan eksaserbasi yang signifikan pada grup omalizumab dibandingkan plasebo; pengurangan 25% pada relative exacerbation rates. Omalizumab juga ditemukan meningkatkan kualitas hidup pasien, menurunkan mean albuterol puffs/ day, serta menurunkan rerata skor gejala asthma. [1,4]

Uji klinis lain dilakukan oleh Bardellas et al. Mereka melakukan percobaan klinis omalizumab dengan durasi 24 minggu pada pasien persistent allergic asthma, dengan pedoman kontrol asthma dari National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI) langkah ke-4 atau di atas sebagai kontrol terapi (dosis medium ICS, LABA, antagonis reseptor leukotrien, dan teofilin atau zileuton). Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan omalizumab tidak menghasilkan peningkatan signifikan pada least-square mean (LSM) dari skor Asthma Control Test (ACT) terhadap plasebo. Tetapi ditemukan peningkatan skor Investigator’s Global Evaluation of Treatment Effectiveness (IGETE) pada grup omalizumab dibandingkan placebo, meskipun tetap tidak signifikan secara statistik. Satu-satunya perbedaan signifikan, ditemukan pada analisis subgrup pasien asthma yang very poorly controlled (skor ACT baseline ≤ 15).[1,5]

Reslizumab

Reslizumab merupakan antibodi monoklonal imunoglobulin G4-kappa-type (IgG4 κ) atau antagonis Interleukin-5. [1,6] Reslizumab berikatan dengan rantai alfa reseptor IL-5 pada permukaan eosinofil sehingga menginhibisi proliferasi eosinofil. [1,7] Reslizumab telah diakui oleh FDA dan digunakan sebagai terapi rumatan add-on pada individu berusia 18 tahun ke atas dengan eosinophilic-type asthma.[1,6,7]

Bukti Ilmiah

Studi reslizumab I dan II mencakup total 953 pasien asthma eosinofilik dengan hitung eosinofil sekurang-kurangnya 400/mcl dan sedikitnya mengalami satu kali eksaserbasi yang membutuhkan terapi kortikosteroid hingga 12 bulan. Pasien diberikan reslizumab intravena 3 mg/kg atau plasebo setiap empat minggu hingga total 13 dosis. Dua studi ini berjalan simultan (sejak 2011 hingga 2014). Sebagian besar pasien menggunakan kortikosteroid inhalasi dosis medium hingga dosis tinggi, dengan LABA pada baseline. Hasil penelitian menemukan adanya penurunan eksaserbasi asthma pada grup pasien reslizumab jika dibandingkan dengan plasebo; 50% pada studi pertama dan 41% pada studi kedua. Pasien pada grup reslizumab turut mengalami penurunan eksaserbasi asthma yang membutuhkan kortikosteroid sistemik jika dibandingkan dengan grup plasebo; reduksi relatif 45% di studi pertama dan 39% pada studi kedua. Selain itu, ditemukan pula penurunan kunjungan unit darurat atau rawat inap yang berkaitan dengan eksaserbasi asthma. [1,7,8]

Mepolizumab

Mepolizumab merupakan antibodi monoklonal IgG1κ antagonis IL-5. Serupa dengan reslizumab, mepolizumab mengganggu bioaktivitas IL-5 dengan cara berikatan dengan rantai alfa reseptor IL-5 pada permukaan eosinofil. Mepolizumab telah disetujui oleh FDA untuk terapi rumatan add-on pasien asthma eosinofilik derajat berat yang berusia 12 tahun ke atas yang mengalami rekurensi eksaserbasi meski telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan atau tanpa kortikosteroid oral. [1,9]

Bukti ilmiah

Studi DREAM merupakan percobaan 52 minggu, multisenter, buta-ganda, kontrol-plasebo, yang dilakukan sejak 2009 hingga 2011 pada pasien asthma eosinofilik dengan eksaserbasi tidak terkontrol. Sebanyak 621 pasien diacak ke kelompok mepolizumab  (mendapat mepolizumab 75 mg, 250 mg, atau 750 mg intravena) dan grup plasebo. Penelitian ini menemukan rate eksaserbasi sebesar 2,4 pasien per tahun pada kelompok plasebo. Sementara itu, kelompok intervensi mepolizumab mengalami penurunan rate eksaserbasi pasien per tahun yang signifikan, yaitu 1,24 atau 48% reduksi untuk mepolizumab 75 mg; rate 1,46 atau 39% reduksi untuk mepolizumab 250 mg; dan rate 1,15 atau 52% reduksi untuk mepolizumab 750 mg.[10]

Studi lain adalah studi MENSA yang merupakan uji klinis acak, buta-ganda, double-dummy, melibatkan 576 pasien asthma derajat berat dengan eksaserbasi tidak terkontrol dan tipe eosinofilik yang sudah mendapatkan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi. Pasien yang mendapat mepolizumab intravena menunjukkan reduksi relatif eksaserbasi 47% jika dibandingkan dengan plasebo. Pada kelompok yang diberikan mepolizumab subkutan didapatkan reduksi relatif eksaserbasi sebesar 53% jika dibandingkan dengan plasebo. Selain itu, turut dijumpai peningkatan rata-rata FEV1 sebanyak 100 ml di kelompok mepolizumab intravena dan 198 ml di kelompok mepolizumab subkutan jika dibandingkan dengan plasebo.[11]

Benralizumab

Benralizumab merupakan fully-humanized antibodi monoklonal anti-IL-5Rα yang menghambat signalling reseptor IL-5. Berbeda dari reslizumab dan mepolizumab yang menargetkan sitokin IL-5, benralizumab hanya menargetkan reseptor IL-5 saja, memblokade aktivasinya dari eosinofil dan menimbulkan antibody-directed cell-mediated cytotoxicity terhadap eosinofil dan basofil. [12] Benralizumab berbeda dari antagonis IL-5 lainnya karena mampu mendeplesi eosinofil sirkulasi, termasuk yang berada di sumsum tulang, sputum, jalan napas, maupun paru-paru. Benralizumab digunakan sebagai terapi add-on pada asthma eosinofilik yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi, untuk pasien yang berusia 12 tahun ke atas.[13]

Bukti Ilmiah

Sebuah uji klinis acak, buta-ganda, grup paralel, kontrol-plasebo dilakukan pada 1205 pasien asthma derajat berat yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan LABA. Kelompok eksperimen diberikan benralizumab 30 mg setiap empat minggu atau delapan minggu. Durasi studi ini berlangsung hingga 18 bulan. Kelompok benralizumab, baik yang mendapat dosis setiap empat minggu maupun setiap delapan minggu, memperlihatkan penurunan annual asthma exacerbation rate yang signifikan termasuk perbaikan terhadap FEV1 prebronkodilator jika dibandingkan dengan grup plasebo. Perbaikan pada gejala asthma secara keseluruhan hanya dijumpai pada regimen benralizumab setiap delapan minggu. Efek samping yang banyak dilaporkan di kelompok eksperimen adalah perburukan asthma dan nasofaringitis.[14]

Hasil serupa ditemukan pada percobaan CALIMA. Studi ini merupakan uji klinis acak, buta-ganda, grup-paralel, kontrol-plasebo pada 1306 pasien asthma eosinofilik derajat berat yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan LABA. Kelompok eksperimen mendapatkan benralizumab 30 mg setiap empat minggu atau setiap delapan minggu. Studi ini berlangsung hingga 19 bulan. Kelompok benralizumab memperlihatkan penurunan annual asthma exacerbation rate yang signifikan, termasuk perbaikan FEV1 prebronkodilator jika dibandingkan dengan plasebo. Perbaikan skor gejala asthma hanya dijumpai pada regimen benralizumab setiap delapan minggu.[15]

Dupilumab

Dupilumab merupakan fully humanized antibodi monoklonal IgG4 yang berikatan dengan subunit α reseptor IL-4, sehingga menginhibisi IL-4 dan IL-13. [16-18] Dua interleukin ini terutama disekresikan oleh sel T helper tipe 2 CD4 yang bertanggung jawab terhadap class switching IgM ke IgE yang mengaktivasi kaskade inflamasi sel mast dan eosinofil, stimulasi Janus Kinase dan protein tirosin kinase, remodelling jalan napas, peningkatan kontraksi sel otot polos jalan napas, serta peningkatan produksi mukus.[16]

Bukti Ilmiah

Sebuah uji klinis dilakukan pada 104 pasien asthma persisten derajat sedang hingga berat dengan hitung eosinofil sedikitnya 300 sel/mcl atau kadar eosinofil sputum 3% yang sudah menggunakan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan LABA.  52 pasien mendapatkan dupilumab 300 mg subkutan setiap minggu dan 52 pasien lainnya diberikan plasebo. Studi ini berlangsung hingga 12 minggu. Hasil studi menunjukkan penurunan eksaserbasi sebesar 87% pada grup dupilumab jika dibandingkan dengan grup plasebo. Penanda inflamasi yang berkaitan dengan Th2 seperti fraction of exhaled nitric oxide (FENO), serum biomarka, plasma eksotoksin-3, dan  kadar eosinofil darah perifer mengalami penurunan pada grup dupilumab. Efek samping yang dilaporkan pada studi ini meliputi reaksi lokal pada tempat injeksi, faringitis, mual, dan nyeri kepala.[17]

Hasil penelitian awal tersebut dilanjutkan ke penelitian fase 2b. Studi ini melibatkan 769 pasien dengan asthma persisten derajat sedang hingga berat, 611 grup dupilumab dan 158 grup placebo, yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dan LABA. Ada 4 regimen dosis dupilumab yang diteliti:

  • 200 mg subkutan setiap dua minggu
  • 200 mg subkutan setiap empat minggu
  • 300 mg subkutan setiap dua minggu
  • 300 mg subkutan setiap empat minggu

Studi ini turut melakukan stratifikasi pasien menurut hitung eosinofil darahnya, yakni kurang dari 300 sel/mcl dan yang lebih dari 300 sel/mcl. Penelitian berlangsung selama 12 minggu. Hasil studi menunjukkan bahwa pada kelompok dengan hitung eosinofil > 300 sel/mcl, peningkatan tertinggi FEV1 terjadi pada subjek yang mendapat dupilumab dengan dosis 200 mg setiap dua minggu dan yang mendapat dupilumab 300 mg setiap dua minggu. Hasil serupa ditemukan pula pada kelompok dengan hitung eosinofil < 300 sel/mcl, dimana FEV1 meningkat bermakna pada pasien yang mendapat regimen dupilumab 200 mg setiap 2 minggu dan 300 mg setiap dua minggu. Semua pasien di kelompok dupilumab juga menunjukan perbaikan signifikan rate eksaserbasi, namun penurunan terbesar ada pada regimen 200 mg setiap 2 minggu dan 300 mg setiap 2 minggu. Adapun efek samping yang dilaporkan pada studi ini adalah infeksi saluran napas atas, eritema pada tempat injeksi, dan nyeri kepala. Ada dua pasien yang meninggal pada grup regimen dupilumab 300 mg setiap empat minggu, yang disebabkan oleh gagal jantung akut dan komorbiditas berat lainnya seperti kanker lambung dengan metastasis.[19]

Penggunaan Agen Biologis Menurut Pedoman Global Initiative for Asthma (GINA)

Secara keseluruhan pedoman GINA 2020 telah merekomendasikan penggunaan agen biologis pada step 5 atau sebagai add-on controller therapy untuk asthma derajat berat yang masih tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi plus LABA. Namun, ada beberapa ketentuan khusus:

  • Add-on antiimmunoglobulin E (omalizumab) hanya diberikan untuk pasien berusia 6 tahun ke atas dengan diagnosis asthma alergi derajat sedang hingga berat, yang tidak terkontrol dengan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi dan LABA

  • Add-on antiinterleukin-5/5R (mepolizumab untuk pasien usia 6 tahun ke atas, reslizumab untuk pasien 18 tahun ke atas, dan benralizumab untuk pasien 12 tahun ke atas) hanya diberikan untuk pasien asthma eosinofilik derajat berat yang tidak terkontrol dengan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi dan LABA

  • Add-on antiinterleukin-4Rα (dupilumab) dikhususkan untuk pasien usia 12 tahun ke atas dengan asthma derajat berat tipe 2 atau kontrol yang belum adekuat meskipun sudah menggunakan kortikosteroid oral[3]

Kesimpulan

Bukti ilmiah yang ada menunjukkan bahwa agen biologis, seperti omalizumab, reslizumab, mepolizumab, benralizumab, dan dupilumab, efektif dalam tata laksana asthma eosinofilik derajat berat. Secara umum, agen biologis digunakan sebagai terapi add-on kontroler rumatan pada kasus asthma yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid dosis tinggi dan agonis ß2 kerja panjang.

Referensi