Kortikosteroid Inhalasi dan Risiko Reaktivasi TB

Oleh :
dr. Reren Ramanda

Kortikosteroid inhalasi adalah obat yang sangat efektif dalam menekan proses inflamasi dan reaksi hiperresponsif imunitas pada tubuh manusia. Penggunaan kortikosteroid inhalasi umum diberikan untuk meredakan reaksi inflamasi pada penyakit saluran napas kronik, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis.[1-3]

Pemberian kortikosteroid inhalasi pada kasus asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) terutama sebagai modalitas preventif kejadian eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi dan kombinasi dengan long acting beta agonist (LABA) sudah menjadi tata laksana rutin sesuai dengan GINA 2021. Penggunaan kortikosteroid inhalasi terbukti secara signifikan menurunkan kebutuhan steroid peroral pada pasien penyakit saluran napas kronik.[3-6]

Kortikosteroid Inhalasi dan Risiko Reaktivasi TB-min

Efek Samping Kortikosteroid Inhalasi

Bersamaan dengan berkembangnya studi mengenai efek samping kortikosteroid inhalasi, ditemukan adanya hubungan antara kejadian reaktivasi tuberkulosis paru (TB Paru) pada pasien TB laten yang menderita penyakit saluran napas kronik yang menerima terapi kortikosteroid inhalasi. Sebelumnya, efek ini hanya diketahui terjadi pada pemberian kortikosteroid peroral.[4]

Efek samping ini terutama ditemukan pada pemberian kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dalam jangka waktu panjang. Efek kortikosteroid yang berperan dalam peningkatan kasus TB melalui mekanisme reaktivasi TB laten amat penting di negara dengan beban kasus TB yang tinggi, contohnya Indonesia.[7]

WHO sendiri telah menetapkan target global, yaitu memberikan terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) kepada setidaknya 30.000.000 orang yang menderita TB laten dalam kurun waktu 5 tahun. Sebelumnya, program ini dikenal dengan pengobatan pencegahan INH (PP INH).[7]

Mekanisme Kerja Kortikosteroid Inhalasi dan Supresi Sistem Imun

Kortikosteroid berperan dalam menekan sistem imunitas tubuh melalui mekanisme penghambat fungsi monosit, antara lain fungsi kemotaksis, aktivitas bakterisidal, produksi interleukin IL-1 dan TNF-α monosit. Kortikosteroid juga diduga dapat menyebabkan kondisi monositopenia.[1]

Selain menghambat fungsi monosit, kortikosteroid juga menghambat aktivasi sel T, sehingga respon proliferasi dan produksi sitokin menjadi menurun. Selanjutnya, kortikosteroid menginduksi redistribusi limfosit T keluar sirkulasi sehingga menyebabkan limfositopenia perifer. Walaupun lebih kecil, kortikosteroid inhalasi juga memiliki efek sistemik sama seperti kortikosteroid peroral, terutama bila diberikan dengan dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama.[1,8]

Faktor yang paling penting dalam perkembangan infeksi TB pada pasien yang sedang mengonsumsi kortikosteroid inhalasi adalah riwayat infeksi TB sebelumnya. Sehingga insidensi kasus TB pada pasien penyakit paru kronik yang menerima terapi inhalasi kortikosteroid sangat bergantung pada area geografi tempat tinggal pasien. Apakah masuk ke area dengan tingkat beban kasus TB yang tinggi atau tidak.[1,4]

Supresi sistem imun akibat pemakaian kortikosteroid akan meningkatkan risiko infeksi. Pada pasien penderita yang sudah terinfeksi TB sebelumnya, risiko reaktivasi TB menjadi TB aktif akan meningkat hingga 8,5 kali lipat dengan pemberian kortikosteroid bila dibandingkan dengan pasien penderita TB laten yang tidak mengonsumsi kortikosteroid.[9]

Kortikosteroid Inhalasi dan Reaktivasi TB Laten

Risiko reaktivasi TB laten berkorelasi dengan lamanya pemakaian kortikosteroid inhalasi. Semakin lama pemakaian kortikosteroid inhalasi, maka risiko reaktivasi TB akan semakin meningkat. Selain itu, dosis pemberian kortikosteroid inhalasi juga berperan. Semakin tinggi dosis yang diperlukan oleh pasien, maka risiko reaktivasi TB laten juga akan meningkat.

Korelasi Dosis Kortikosteroid Inhalasi dan Reaktivasi TB Laten

Studi oleh Castellana et al menemukan bahwa paparan kortikosteroid inhalasi dengan dosis rendah sudah berhubungan dengan kejadian peningkatan risiko reaktivasi TB laten. Risiko reaktivasi infeksi TB laten ini akan terus meningkat pada pasien yang menerima kortikosteroid dosis tinggi.[4,8,10]

Semakin tinggi dosisnya maka risiko infeksi TB akan semakin meningkat. Kortikosteroid inhalasi dinyatakan sebagai dosis tinggi apabila pemberian dosis harian >500 µg/hari fluticasone atau kortikosteroid lain dengan dosis setara. Berdasarkan studi Lee et al, dosis kortikosteroid inhalasi setara dengan dosis kumulatif lebih dari 75.000 μg sangat berperan dalam infeksi TB.[4,8,11,12]

Korelasi Lama Pemberian Kortikosteroid Inhalasi dan Reaktivasi TB Laten

Selain faktor dosis, semakin lama pemakaian kortikosteroid inhalasi juga berbanding lurus dengan peningkatan risiko infeksi TB. Studi oleh Miravitlles et al menemukan bahwa pemakaian kortikosteroid inhalasi selama 1 tahun sangat berkorelasi dengan peningkatan risiko infeksi tuberkulosis.[4,8,11]

Sedangkan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lee et al, setidaknya penggunaan kortikosteroid inhalasi selama 3 bulan dapat meningkatkan risiko reaktivasi TB laten pada pasien. Bahkan risiko reaktivasi TB laten tetap bertahan sampai 3 tahun setelah pasien berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi.[12]

Walaupun sangat mengkhawatirkan, tetapi perlu menjadi pertimbangan bahwa risiko infeksi TB tidak boleh menjadi kontraindikasi pemberian kortikosteroid inhalasi bagi pasien, selama manfaat yang diterima pasien jauh lebih besar daripada kemungkinan risiko yang ada.[4,9,13]

Anjuran WHO untuk Mengurangi Beban TB Laten

Sebaiknya pada pasien berisiko, seperti memiliki riwayat infeksi TB aktif sebelumnya, berada di daerah atau negara dengan prevalensi kasus TB yang tinggi, dilakukan skrining dan penatalaksanaan TB laten terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memulai pengobatan dengan kortikosteroid inhalasi pada pasien. Saat memulai terapi, pasien juga diberikan dosis kortikosteroid terkecil dan seminimal mungkin.[1,4,9,13]

Saat ini di Indonesia belum diketahui secara pasti jumlah penderita TB laten yang sedang menerima terapi kortikosteroid inhalasi, tetapi Indonesia juga turut menyatakan komitmennya bersama WHO untuk memberikan TPT pada 1,5 juta penduduk Indonesia hingga tahun 2022 sebagai bagian dari target SDG global dalam pemberantasan TB.[7]

Dengan target pasien yang serumah dengan kontak TB aktif (2.922.056 orang), ODHA (258.960 orang), dan kelompok risiko lainnya (290.966 orang).[7]

Kortikosteroid Inhalasi VS Oral

Kortikosteroid oral adalah faktor risiko yang memang diketahui dapat meningkatkan risiko aktivasi TB laten. Penggunaan kortikosteroid oral, terutama dalam jangka panjang, terbukti memberikan berbagai efek samping buruk dan tidak terbukti bermanfaat dalam penatalaksanaan penyakit obstruksi paru kronik.  Tidak sama halnya dengan kortikosteroid inhalasi. Karena masih sedikitnya studi mengenai hal ini.[1,2,10]

Namun, berdasarkan studi terbaru, sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Lee et al. di negara Korea Selatan yang merupakan negara dengan beban TB menengah, penggunaan kortikosteroid inhalasi ternyata juga berpengaruh dalam meningkatkan angka penderita TB aktif pada pengguna kortikosteroid inhalasi pada pasien dengan penyakit saluran napas kronik, seperti asma dan PPOK.[1,10]

Kortikosteroid inhalasi diketahui juga dapat memberikan efek samping sistemik seperti kortikosteroid oral, walaupun dengan kadar yang lebih kecil. Oleh karena itu, kemungkinan kortikosteroid inhalasi juga dapat meningkatkan risiko reaktivasi TB laten seperti kortikosteroid oral.[8]

Studi lainnya menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid oral memiliki risiko reaktivasi TB laten yang lebih tinggi dibanding pengguna kortikosteroid inhalasi, dengan perbandingan peningkatan risiko reaktivasi mencapai 3 kali lipat pada kortikosteroid oral berbanding peningkatan risiko 2 kali lipat pada pasien yang menggunakan kortikosteroid inhalasi.[1,4,9]

Kesimpulan

Kortikosteroid inhalasi dapat meningkatkan risiko reaktivasi TB laten pada pasien yang rutin mengonsumsi kortikosteroid inhalasi, contohnya pada pasien asma dan PPOK. Studi yang ada menunjukkan korelasi yang jelas antara kejadian TB dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi. Di negara dengan beban kasus TB yang tinggi seperti Indonesia, perlu adanya perhatian khusus mengenai risiko ini.

Risiko aktivasi TB pada penggunaan kortikosteroid inhalasi sangat berkaitan dengan dosis dan lamanya pemakaian. Semakin tinggi dosis yang dipakai (>500 µg/hari fluticasone atau setara) dan semakin lama pasien menggunakan kortikosteroid inhalasi maka risiko terjadinya reaktivasi TB laten akan semakin meningkat. Namun perlu diperhatikan bahwa pemberian kortikosteroid inhalasi selama 3 bulan berturut-turut saja sudah terbukti meningkatkan risiko reaktivasi TB laten.

Sebelum pemberian terapi kortikosteroid inhalasi jangka panjang, sebaiknya dilakukan penapisan dengan melakukan skrining faktor risiko TB laten pada pasien di negara dengan beban TB yang tinggi, seperti Indonesia. Penapisan di antaranya dengan mengetahui riwayat menderita TB sebelumnya, adanya pasien TB aktif yang tinggal serumah, dan pasien ODHA (orang dengan HIV-AIDS).

Pada pasien dengan risiko TB laten sebaiknya dilakukan penatalaksanaan TB laten terlebih dahulu untuk mengurangi risiko peningkatan kasus TB pasca penggunaan kortikosteroid inhalasi.

Terakhir, pemberian kortikosteroid inhalasi memiliki kemungkinan kecil reaktivasi TB dibandingkan dengan steroid sistemik, sehingga pasien dengan asma dan PPOK harus memiliki informasi terkait rencana pengobatan, edukasi, dan rencana pengobatan tertulis (written plan pada asma) yang memadai. Hal ini guna mengontrol gejala dan meminimalkan kejadian eksaserbasi yang membutuhkan pengobatan secara sistemik, baik peroral maupun intravena.

Referensi