Efikasi Cognitive Behavioral Therapy secara Daring pada Depresi Postpartum

Oleh :
dr. Zuhrotun Ulya, Sp.KJ, M.H.

Pelaksanaan cognitive behavioral therapy (CBT) secara daring pada kasus depresi postpartum semakin marak. CBT daring dapat bermanfaat pada kasus dimana pasien terhalang jarak geografis dengan layanan terapi ataupun jika pasien mengkhawatirkan stigma yang melekat dengan tempat layanan terapi. Meski demikian, banyak praktisi yang meragukan efikasi dari CBT daring.

Depresi postpartum dapat muncul akibat perpanjangan respon gangguan psikis ibu sejak masa hamil hingga pasca persalinan. Depresi postpartum didefinisikan sebagai timbulnya gejala depresi dalam 6 minggu postpartum dan dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun; berbeda dengan baby blues yang hanya terjadi selama beberapa minggu. Istilah lain dari depresi postpartum adalah postnatal depression (PND) yang ditandai dengan labilitas emosi, rasa bersalah, disforia, putus asa, tidak menikmati peran sebagai ibu, sulit konsentrasi, ketakutan menyakiti diri sendiri dan bayi, menangis tanpa sebab, gelisah, memiliki pikiran menjadi ibu yang buruk, kebingungan, hingga dorongan melakukan perilaku bunuh diri.[1]

Efikasi Cognitive Behavioral Therapy secara Daring pada Depresi Postpartum-min

Tidak jarang ibu dengan depresi postpartum kesulitan merawat anak yang baru dilahirkan, tidak mampu mengkomunikasikan pikiran serta perasaan yang dimiliki pada orang sekitar, dan cenderung sulit menunjukkan perilaku positif akibat gangguan depresinya. Depresi postpartum dialami sekitar 20% populasi ibu, dimana hanya 1 dari 10 perempuan yang mengalaminya mendapatkan terapi. Pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan risiko depresi postpartum, serta menurunkan kesempatan dan akses terhadap terapi.[3]

Distorsi Kognitif pada Depresi Postpartum

Masa nifas merupakan masa yang sangat menantang bagi wanita karena perubahan fisik, keluarga, keuangan, pekerjaan, dan bidang lainnya. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi sumber daya psikososial dan fisik wanita, yang mengakibatkan stres, kecemasan, dan gejala depresi.

Kondisi depresi postpartum seringkali memunculkan beberapa kekeliruan dalam proses pikir seorang ibu. Hal ini disebut sebagai distorsi kognitif. Contoh distorsi kognitif pada depresi postpartum adalah rasa bersalah karena membenci suara tangisan bayinya, ataupun perasaan menjadi ibu yang buruk karena tidak mampu merawat anak sendiri. Tabel 1 memaparkan beberapa contoh distorsi kognitif dan pola pikir yang dapat ditanamkan ketika melakukan cognitive behavioral therapy (CBT) pada pasien dengan depresi postpartum.[1-3]

Tabel 1. Contoh Distorsi Kognitif Pada Depresi Postpartum

Bentuk Distorsi Kognitif Pendekatan Pola Pikir yang Dapat Dimanfaatkan dalam CBT
Saya tidak suka suara tangis bayi, saya bukan ibu yang baik, mendengarkan tangisannya saja membuat saya menderita. Wajar apabila kita merasa sedih ketika mendengarkan bayi menangis, namun akan lebih baik kita bisa memahami tangisan tersebut sebagai upaya bayi memanggil bantuan kita untuk kesulitan yang dihadapi.
Mereka semua tidak paham yang saya alami dan rasakan, saya terjebak dalam situasi buruk menjadi ibu, mereka hanya ingin saya menderita namun jika saya menyampaikan kesedihan ini, mereka akan memisahkan saya dengan bayi. Mencoba menjelaskan situasi dan perasaan yang dialami akan meringankan keluhan yang dirasakan, belum tentu orang lain memahami jika belum pernah tersampaikan. Ibu masih diperkenankan bersama bayi untuk menciptakan keterikatan hubungan ibu dengan anak.
Jika yang saya rasakan ini berat dan sangat menggelisahkan, saya adalah ibu yang sangat buruk di dunia ini hingga tidak mampu merawat anak sendiri. Menjadi seorang ibu tentu memiliki peran, fungsi dan tanggung jawab yang berbeda. Terkait apa yang dirasakan saat ini lebih kepada gangguan dari apa yang dipikirkan dan dirasakan sehingga harusnya tidak mengarahkan pada penentuan seorang ibu yang buruk atau baik.
Saya seperti ingin mati, saya tahu tidak ada terapi yang aman pada ibu hamil dan menyusui, jadi untuk apa saya harus repot mencari bantuan? Pikiran tentang kematian seharusnya membawa kita pada perbaikan kondisi, selagi kita hidup apa yang masih bisa kita upayakan untuk perbaikan ini. Terapi obat memang membutuhkan pertimbangan khusus pada kondisi depresi ibu hamil dan menyusui, namun terapi tidak hanya menggunakan obat, kita bisa memilih psikoterapi untuk membantu meredakan keluhan kita. Bagaimana jika kita memulainya saat ini?

Sumber: dr. Zuhrotun Ulya, Sp.KJ, M.H, 2021.

Cognitive Behavioral Therapy Berbasis Daring

Dengan perkembangan pesat teknologi daring, cara pemberian psikoterapi yang memanfaatkan teknologi ini pun ikut dikembangkan. Cognitive behavioral therapy (CBT) secara daring diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam penatalaksanaan (treatment barrier) dan meningkatkan akses terhadap terapi.

Psikoterapi berbasis daring dapat dilakukan dalam bentuk mandiri atau self-help format, maupun dengan bantuan terapis. CBT secara daring dengan terapis dapat dilakukan menggunakan telepon, email, pesan singkat, atau antarmuka komputer interaktif. Bukti ilmiah yang tersedia saat ini telah mendukung penggunaan CBT berbasis daring untuk terapi gangguan cemas dan gangguan somatik.[2]

Dalam melakukan CBT, pasien diajak untuk membenahi kembali fungsi pikirnya sehingga diharapkan mampu memberikan perilaku yang lebih positif dan konstruktif.[4,5]

Bukti Ilmiah Manfaat Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Berbasis Daring pada Depresi Postpartum

Sebuah meta analisis mengevaluasi hasil dari 8 uji klinis acak terkontrol yang melibatkan 1523 partisipan dari 6 negara berbeda. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efikasi dari cognitive behavioral therapy (CBT) berbasis daring terhadap gejala cemas, stres, dan depresi pada masa postpartum. 65% dari uji klinis yang dievaluasi memiliki risiko bias yang rendah dan tidak ada heterogenitas antar studi. Hasil meta analisis menunjukkan bahwa CBT berbasis daring efektif dalam memperbaiki gejala cemas, stres, dan depresi di masa postpartum. Meski demikian, kelompok pembanding yang digunakan bukanlah CBT tatap muka, melainkan pasien dalam daftar tunggu (waitlist) ataupun pasien yang mendapat terapi depresi umum (therapy as usual).[2]

Dalam sebuah uji klinis lain di Kanada (2021) yang melibatkan 403 ibu dengan depresi postpartum, dilakukan evaluasi efikasi CBT berbasis daring dengan media lokakarya 1 hari sebagai adjuvan terapi biasa (usual care) dibandingkan terapi biasa saja. Penelitian tersebut dilakukan dalam masa pandemi COVID-19 (20 April hingga 4 Oktober 2020) yang melibatkan ibu pasca melahirkan usia di atas 18 tahun yang memiliki anak bayi hingga usia 12 bulan. Partisipan dalam studi ini memiliki skor Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) sekurangnya 10.

Dalam studi ini, didapatkan penurunan skor EPDS yang signifikan secara klinis pada pasien yang menjalani CBT berbasis daring. Pasien juga dilaporkan mengalami perbaikan gejala cemas dan kondisi klinis secara umum yang bermakna. CBT berbasis daring pada ibu dengan depresi postpartum dalam studi ini juga dilaporkan bermanfaat dalam meningkatkan dukungan sosial, hubungan ibu dan bayi, serta temperamen dari infant.[3]

Kesimpulan

Cognitive behavioral therapy (CBT) berbasis daring diharapkan dapat mengatasi berbagai hendaya dalam manajemen depresi postpartum. Misalnya saja adanya pandemi COVID-19 maupun keterbatasan geografis antara tempat tinggal pasien dengan lokasi layanan rawat.

Studi yang tersedia saat ini mengindikasikan bahwa CBT berbasis daring efektif dalam memperbaiki gejala depresi postpartum. Meski demikian, studi lebih lanjut masih diperlukan. Bukti ilmiah yang tersedia saat ini belum membandingkan CBT berbasis daring dengan CBT tatap muka. Selain itu, metode CBT berbasis daring yang digunakan masih variatif antar studi yang ada.

Referensi