Autoamputasi vs Operasi Amputasi pada Kaki Diabetik dengan Gangren Kering

Oleh :
dr. Sonny Seputra, Sp.B, M.Ked.Klin, FINACS

Menunggu terjadinya autoamputasi umum dipilih dibandingkan operasi amputasi pada pasien kaki diabetik dengan gangren kering, terutama akibat pertimbangan aspek ekonomi atau ketakutan terhadap pembedahan. Walau demikian, terdapat peningkatan risiko perburukan kondisi hingga sepsis yang perlu diwaspadai jika prosedur autoamputasi dipilih. Sebaliknya, operasi amputasi akan meningkatkan kualitas hidup dan mobilitas pasien, serta menurunkan risiko amputasi organ yang lebih luas.

Gangren terjadi karena berkurangnya pasokan darah di jaringan tubuh yang mengarah ke nekrosis. Kondisi ini dapat timbul karena cedera, infeksi, atau kondisi kesehatan lainnya, terutama diabetes. Gangren diklasifikasikan sebagai gangren kering, basah, dan gas. Gangren kering adalah suatu kondisi yang melibatkan kematian jaringan dan menyebabkan jaringan menjadi kering, gelap, dan mumifikasi karena oklusi arteri. Gangren kering terjadi secara bertahap, berkembang perlahan, dan mempengaruhi ekstremitas bawah tubuh (jari kaki dan kaki) karena pasokan darah yang tidak mencukupi ke jaringan.[1]

shutterstock_1034259550-min

Gangren kering sangat umum pada individu yang menderita arteriosklerosis, dislipidemiadiabetes mellitus, dan merokok. Sesuai laporan global International Diabetes Federation pada tahun 2015, 9,1-26,1 juta orang dengan diabetes mengidap ulkus diabetikum di kaki, yang selanjutnya dapat menyebabkan gangren. Pada kaki diabetik dengan gangren kering, karena nekrosis, jaringan menjadi menyusut, menghitam dan kemudian terlepas dengan sendirinya. Hal ini dikenal sebagai autoamputasi yang biasanya dilakukan karena adanya garis demarkasi yang jelas. Namun, autoamputasi ini perlu dipertimbangkan secara matang karena dapat menyebabkan infeksi dan memperparah kondisi.[2]

Autoamputasi pada Kaki Diabetik dengan Gangren Kering

Autoamputasi adalah pelepasan jaringan yang tidak viabel dari jaringan yang viabel yang terjadi secara sendirinya tanpa pembedahan. Autoamputasi terjadi karena kerusakan saraf dan berkurangnya sirkulasi darah ke ekstremitas, muncul ulkus di kaki dan penyembuhan terjadi secara lambat. Hal ini selanjutnya menyebabkan pelepasan anggota tubuh secara sendirinya. Pada gangren kering, autoamputasi dapat menjadi pilihan pada pasien yang bukan kandidat operasi yang baik.

Autoamputasi biasanya dilakukan untuk bagian distal anggota tubuh yang terkena dengan meninggalkan eschar jaringan yang utuh. Proses autoamputasi mungkin memakan waktu beberapa bulan dan merupakan fase yang sangat tidak nyaman akibat rasa nyeri yang dirasakan pasien.[5,6,7]

Pada gangren kering, sering kali pasien menunggu terjadinya autoamputasi, baik karena kepercayaan budaya atau karena pasien menolak untuk dilakukan pembedahan.[8] Walau demikian, gangren kering yang menunggu autoamputasi tetap memiliki potensi terinfeksi karena penyerapan kelembaban dari lingkungan. Dengan demikian, menunggu autoamputasi dapat menyebabkan risiko berkembangnya bakteri dan memburuknya kondisi hingga sepsis. Juga, rasa nyeri yang muncul saat durasi menunggu autoamputasi yang panjang juga akan meningkatkan ketidaknyamanan dan mengurangi kualitas hidup pasien.[2,9]

Operasi Amputasi pada Kaki Diabetik dengan Gangren Kering

Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, pasien gangren kering harus dilakukan pemeriksaan vaskular terlebih dahulu. Ahli bedah vaskular melakukan berbagai pemeriksaan vaskular yang meliputi angiogram, tes indeks pergelangan kaki-brakialis (ankle–brachial index test), dupleks karotis, computed tomography angiography/magnetic resonance angiography, dan ultrasonografi dupleks.

Hasil pemeriksaan vaskular bermanfaat untuk menentukan apakah reperfusi dapat dilakukan pada pasien. Namun, untuk area gangren kering sendiri, bila sudah terjadi nekrosis, tindakan revaskularisasi tidak memberikan manfaat sehingga perlu dilakukan operasi amputasi.[10]

Operasi amputasi sangat membantu dalam pemulihan cepat dan dalam mengurangi ketidaknyamanan dan komplikasi yang terkait dengan gangren kering. Setelah operasi pengangkatan gangren kaki, antibiotik selama penyembuhan luka harus diberikan.

Bukti Ilmiah terkait Manfaat Operasi Amputasi untuk Kaki Diabetik dengan Gangren Kering

Dalam suatu laporan kasus serial oleh Issa, et al. pada tahun 2014, seorang pasien wanita berusia 82 tahun lebih memilih operasi amputasi daripada autoamputasi untuk mencapai pemulihan yang cepat. Kemudian, pasien menerima fisioterapi dan berhasil berjalan dengan bantuan sepatu prostetik. Pada kasus lain, pasien pria dengan diabetes dan komplikasi osteomielitis dan nekrosis pada jari kaki diamputasi dengan pembedahan. Pasien kemudian mendapat terapi antibiotik dan sembuh. Pada laporan kasus serial yang sama, dilaporkan kasus seorang pasien wanita diabetes berusia 45 tahun dengan gangren kering di jari kaki, yang dipaksa menjalani amputasi transmetatarsal. Setelah operasi, pasien berhasil disembuhkan dan berjalan dengan sepatu khusus.[5]

Proses amputasi ekstremitas elektif harus dilakukan secara individual tergantung pada kondisi penyakit. Sesuai dengan studi prospektif yang dilakukan oleh Elsharawy et al. di Arab Saudi, amputasi transtarsal elektif dapat mengurangi risiko amputasi ekstremitas total dan meningkatkan tingkat ambulasi. Amputasi transtarsal dikenal untuk meningkatkan mobilitas pada 94% -98% pasien dibandingkan dengan pasien  menjalani amputasi di bawah lutut (50% -55%). Dalam studi ini, ambulasi fungsional keseluruhan meningkat pada 67% (20 dari 30) pasien dalam rentang waktu 6 bulan tanpa deformitas equinus lebih lanjut.[12]

Petkov et al juga menyoroti manfaat dari amputasi bedah dalam mengelola gangren kaki diabetik. Perawatan bedah yang direncanakan dilaporkan berbanding lurus dengan penurunan total amputasi kaki. Sesuai penelitian mereka, operasi pengangkatan jari kaki yang terkena gangren mengurangi amputasi kaki total sebesar 5,7%.[13]

Kesimpulan

Autoamputasi tidak disarankan karena risiko memperburuk perkembangan gangren kering dan rasa nyeri yang dirasakan selama menunggu terjadinya autoamputasi. Namun, autoamputasi tetap dapat menjadi pilihan, khususnya pada pasien yang tidak dapat dilakukan pembedahan atau pasien yang menolak untuk dilakukan pembedahan. Pada kasus demikian, dokter harus mewaspadai risiko terjadinya perburukan kondisi dan sepsis, serta mengedukasi pasien mengenai perawatan luka yang baik dan pentingnya kontrol secara rutin.

Sebaliknya, operasi amputasi elektif lebih disarankan dibandingkan autoamputasi karena durasi fase nyeri yang lebih singkat dan hasil setelah operasi yang lebih baik. Operasi amputasi juga berdampak positif pada ambulasi fungsional pasien, serta menurunkan risiko amputasi anggota tubuh yang lebih luas.

Referensi