Antibiotik Profilaksis Tidak Diperlukan Pada Pemasangan Tampon Anterior Hidung

Oleh :
dr.Dhaniel Abdi Wicaksana, Sp.T.H.T.K.L., FICS

Antibiotik sering diberikan pada pasien epistaksis yang memerlukan pemasangan tampon anterior hidung untuk mencegah infeksi sementara tampon berada di dalam hidung (in situ). Epistaksis atau mimisan merupakan keluhan yang sering ditemukan, dimana diperkirakan 60% penduduk dunia setidaknya mengalami satu episode epistaksis selama hidupnya. Dari jumlah tersebut, diperkirakan hanya 6% yang memeriksakan diri untuk mendapatkan bantuan medis.

Dari berbagai opsi tata laksana epistaksis yang tersedia, pemasangan tampon anterior merupakan modalitas terapi yang sering digunakan untuk mengatasi perdarahan yang terjadi. Tindakan pemasangan tampon anterior tersebut berisiko menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah infeksi yang berat  dan sering menjadi alasan pemberian antibiotik untuk tujuan profilaksis. Meski demikian, hingga saat ini belum terdapat pedoman tata laksana epistaksis yang disepakati bersama di Indonesia yang mengatur pemberian antibiotik ini.[1-3]

Antibiotik Profilaksis Tidak Diperlukan Pada Pemasangan Tampon Anterior Hidung-min

Risiko Pemasangan Tampon Anterior Hidung

Tampon anterior hidung merupakan kemampuan dasar yang tidak hanya dikerjakan oleh seorang dokter spesialis, namun juga seorang dokter umum. Pemasangan tampon anterior digunakan tidak hanya untuk penanganan epistaksis, namun juga untuk mengatasi atau mencegah perdarahan pasca pembedahan hidung dan sinus paranasal. Tampon anterior tersebut dapat berupa gulungan kassa, gelatin spongesballon, atau bahkan Foley’s catheter.[2,4]

Komplikasi yang bisa terjadi akibat penggunaan tampon anterior hidung adalah nyeri, laserasi mukosa, sinekia, perforasi septum, perburukan perdarahan yang sulit ditangani, infeksi, serta berbagai kelainan lainnya.

Infeksi yang terjadi akibat pemasangan tampon anterior hidung dapat berupa rhinosinusitis, otitis media, hingga komplikasi berat seperti toxic shock syndrome, Staphylococcal endocarditis, dan meningitis. Atas dasar inilah, tidak jarang pasien yang mendapatkan penanganan dengan tampon anterior hidung diberikan antibiotik, baik secara topikal pada permukaan tampon maupun secara sistemik.[1-3]

Mikroorganisme pada Pemasangan Tampon Anterior Hidung

Shresta et al mengevaluasi 51 pasien pasca pembedahan hidung yang memperoleh tampon anterior hidung. Pada 31 kasus, tampon dipertahankan selama lebih dari 48 jam, sementara 20 kasus lainnya selama kurang dari 48 jam. Pada studi ini ditemukan bahwa 64,7% pasien menunjukan pertumbuhan kuman pada kultur bakteri, yaitu Staphylococcus aureus (11,8%), Staphylococcus epidermidis koagulase negatif (23,5%), dan Pseudomonas aeruginosa (15,7%), Escherichia coli (7,8%).

Dari jumlah tersebut, 28 kasus diberikan antibiotik framisetin atau neomisin pada tampon anterior, dan sisanya hanya memperoleh tampon polos (hanya dengan parafin, tanpa kandungan antibiotik). Namun, penulis tidak merinci berapa kasus yang memperoleh tampon anterior antibiotik yang menghasilkan kultur bakteri positif. Perlu diketahui bahwa dari seluruh spesies bakteri yang teridentifikasi, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang diketahui paling sering terkait dengan kejadian toxic shock syndrome.[2]

Pemberian Antibiotik pada Pemasangan Tampon Anterior Hidung

Secara historis, penggunaan profilaksis sistemik untuk pasien epistaksis yang memerlukan tampon anterior hidung adalah untuk mencegah infeksi bakteri, khususnya toxic shock syndrome (TSS). Akan tetapi, kasus TSS tersebut didasarkan pada literatur yang sangat jarang sekali dijumpai. TSS dilaporkan pada sekitar tahun 1980-an dimana Thomas et al dan Toback et al, seperti dikutip oleh Lange et al, memberikan laporan kasus TSS pasca rinoplasti dan septoplasti.

Survey oleh American Rhinologic Society pada tahun 2001 melaporkan bahwa 66% anggotanya memberikan antibiotik pada pasien yang menjalani septoplasti. Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah pasien yang menggunakan tampon hidung atau splint.[4,5]

Pada tahun 2009, algoritma manajemen epistaksis mulai meninggalkan penggunaan tampon anterior karena telah ditemukan metode lain yang dinilai lebih baik dalam mengontrol perdarahan. Hal tersebut secara tidak langsung juga berdampak terhadap berkurangnya penggunaan antibiotik pada kasus epistaksis. Selain itu, mulai timbul perhatian terhadap kejadian infeksi Clostridium difficile karena disrupsi flora normal, resistensi antibiotik, serta risiko sindrom Stevens Johnson atau anafilaksis akibat pemberian antibiotik sistemik yang tidak perlu.

Penggunaan antibiotik tersebut juga dinilai terlalu membebani biaya medis bagi pasien, dengan estimasi memakan biaya sebesar US$ 4,8 miliar/tahun di Amerika Serikat dan diperkirakan biaya yang dibutuhkan akibat resistensi antibiotik adalah sebesar US$ 10 triliun/tahun pada tahun 2050 di seluruh dunia.[4-6]

Bukti Ilmiah Peran Antibiotik Profilaksis pada Tampon Anterior Hidung

Terdapat beberapa penelitian yang mengevaluasi perlu tidaknya penggunaan antibiotik profilaksis pada pemasangan tampon anterior hidung. Suatu tinjauan sistematik menganalisis 5 studi dan melibatkan 383 pasien, 42% pasien tidak mendapat antibiotik profilaksis dan sisanya menerima antibiotik. Angka kejadian infeksi pada penggunaan tampon anterior adalah sebesar 0,8%. Berdasarkan data yang ada, absolute risk terjadinya infeksi pada pasien yang mendapat antibiotik adalah 0,45%, sementara yang tidak menerima antibiotik sebesar 0,625%. Absolute risk reduction antara grup penerima dan tanpa antibiotik profilaksis adalah sebesar 0,00175, dengan kecenderungan terjadinya infeksi pada yang tidak menerima antibiotik tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang menerima antibiotik profilaksis.[6]

Tinjauan sistematik lain oleh Lange et al melibatkan 990 pasien penerima tampon anterior hidung, baik karena kasus epistaksis (254 kasus) maupun pasca pembedahan septoplasti (736 kasus). Pada tinjauan ini, 522 pasien menerima antibiotik profilaksis (423 pasien pasca pembedahan dan 99 pasien dengan epistaksis), serta 411 pasien tidak mendapat antibiotik profilaksis (313 pasien pasca pembedahan dan 98 pasien epistaksis). Antibiotik yang digunakan adalah amoxicilin clavulanate, clarithromycin, serta cefazolin sebagai antibiotik preoperatif yang kemudian dilanjutkan amoxicilin oral.

Dalam tinjauan Lange et al, tidak ditemukan kejadian toxic shock syndrome (TSS) pada seluruh penelitian yang dievaluasi. Begitu pula tidak ditemukan tanda infeksi lokal maupun sekret purulen pada kelompok pasien epistaksis. Namun, didapatkan sekret purulen pada 11,2% pasien pasca pembedahan yang tidak mendapat antibiotik, sementara 9,9% pada kelompok yang menerima antibiotik profilaksis. Tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada kedua kelompok tersebut dan angka kemungkinan terjadi infeksi akibat pemasangan tampon anterior adalah sebesar 8,2% dengan mengesampingkan penggunaan antibiotik.[4]

Studi lain adalah studi prospektif yang melibatkan 149 pasien, dimana 78 pasien mendapat antibiotik profilaksis dan 71 pasien tidak mendapat antibiotik. Pada studi ini, 14 pasien mengalami otalgia, namun tidak terbukti karena otitis media dan tidak didapatkan pasien yang mengalami tanda infeksi lain sebagai komplikasi. Dari hasil ini, peneliti menilai tidak diperlukan penggunaan antibiotik profilaksis. Otalgia yang terjadi diduga adalah akibat nyeri alih atau disfungsi tuba eustachius karena adanya tampon.[3,7]

Hasil serupa diperoleh dari penelitian Murano et al yang melakukan studi retrospektif selama 5 tahun yang melibatkan 106 pasien, dengan 53,7% di antaranya mendapatkan antibiotik profilaksis. Tidak ada pasien pada kedua kelompok yang mengalami infeksi.[5]

Kasus Khusus yang Dipertimbangkan Mendapat Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Tampon Anterior Hidung

Sebagian besar penelitian yang ada menunjukan bahwa antibiotik profilaksis tidak diperlukan pada pemasangan tampon anterior hidung karena tidak ditemukan adanya toxic shock syndrome (TSS). Meski begitu, perlu diingat juga bahwa studi yang tersedia tidak mengevaluasi pemberian antibiotik profilaksis pada keadaan khusus yang memiliki risiko infeksi lebih tinggi. Kondisi ini mencakup pasien imunokompromais, pasien yang sedang menjalani pengobatan yang menyebabkan imunosupresi, pasien yang menderita valvular heart disease, pasien yang menjalani pembedahan nasal ekstensif, ataupun pasien yang memerlukan tampon hidung dalam jangka waktu lama (>48 jam). Pada kasus-kasus khusus tersebut, pertimbangan klinis yang matang sangat diperlukan dalam menentukan untung-rugi dan perlu-tidaknya pemberian antibiotik profilaksis.[5-8]

KESIMPULAN

Prosedur pemasangan tampon anterior hidung merupakan salah satu tindakan yang sering dilakukan, misalnya untuk tata laksana epistaksis. Adanya tampon anterior hidung tersebut menyebabkan perubahan fisiologis dan telah dilaporkan pada laporan kasus terdahulu (sebelum tahun 1980) dapat menyebabkan infeksi, termasuk infeksi derajat berat seperti toxic shock syndrome (TSS). Atas dasar tersebut, beberapa dokter secara rutin memberikan antibiotik sebagai profilaksis pada pemasangan tampon anterior hidung.

Akan tetapi, berbagai bukti ilmiah yang ada telah menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan risiko infeksi bermakna antara pasien yang mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak dan tidak ditemukan kasus TSS pada kelompok yang tidak mendapat antibiotik profilaksis. Pemberian antibiotik profilaksis tidak diperlukan secara rutin pada pasien yang mendapat pemasangan tampon anterior hidung. Pemberian antibiotik profilaksis dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus khusus, seperti pasien imunokompromais, pasien penerima obat imunosupresi, dan pasien dengan valvular heart disease.

Referensi