Tinea atau dermatofitosis superfisial merupakan infeksi jamur pada kulit yang sering dijumpai, dengan prevalensi lebih dari 20% di seluruh dunia. Gejala klinis tinea berupa plak eritem yang seringkali menimbulkan gatal. Tatalaksana standar tinea adalah antifungal topikal.[1-3]
Namun, salep kombinasi yang mengandung kortikosteroid sering digunakan untuk berbagai kondisi kulit dengan keluhan gatal tanpa indikasi yang jelas. Salep kombinasi yang mengandung kortikosteroid, antifungal, dan antibiotik umumnya digunakan pasien hingga eritema dan gatal menghilang, lalu digunakan lagi ketika keluhan kembali muncul.[1,4]
Padahal, penggunaan kortikosteroid pada tinea dapat menyebabkan tinea incognito. Komplikasi ini bersifat kronis, atipikal, rekuren, dan resisten terhadap terapi.[1,4]
Penyalahgunaan Kortikosteroid Topikal Untuk Kelainan Kulit
Kortikosteroid topikal berperan penting untuk mengatasi kelainan kulit, khususnya kelainan yang ditandai oleh hiperproliferasi, inflamasi, dan reaksi imunologi. Beberapa indikasi penggunaan kortikosteroid topikal adalah psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, intertrigo, eksem, dan lichen simplex chronicus.[5,6]
Pada kondisi-kondisi tersebut, efek antiinflamasi, imunosupresif, dan antimitogenic dari kortikosteroid topikal dapat membantu mengatasi penyakit. Karena itu, kortikosteroid topikal merupakan salah satu obat yang paling sering diresepkan untuk mengatasi berbagai kelainan kulit.[5,6]
Namun, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, khususnya di mana pasien mengobati keluhannya sendiri, dapat menyebabkan berbagai efek samping, baik lokal maupun sistemik. Beberapa efek samping lokal meliputi striae, telangiektasis, pseudoscars, hipopigmentasi, ulserasi, purpura, gangguan penyembuhan luka, hipertrikosis wajah, dan lebih rentannya kulit pada infeksi bakteri, jamur, dan virus.[5,6]
Kortikosteroid topikal sering disalahgunakan untuk mengatasi infeksi kulit, jerawat, dan untuk memutihkan wajah. Beberapa faktor yang mendorong penyalahgunaan antara lain ketersediaan obat over the counter, pasien mengobati keluhannya sendiri, harga obat yang terjangkau, dan infrastruktur kesehatan yang lemah. Di India, penyalahgunaan kortikosteroid topikal di begitu masif sehingga dibentuk tim nasional khusus untuk mengurangi penyalahgunaan kortikosteroid topikal.[1,6]
Hasil Studi Terkait Penyalahgunaan Salep Kortikosteroid
Beberapa studi terbaru telah menyelidiki penyalahgunaan kortikosteroid topikal. Temuan utama oleh beberapa studi tersebut memberikan pemahaman terkait prevalensi, penyebab, dan efek samping penggunaan kortikosteroid topikal yang tidak tepat.
Studi oleh Mahar et al.
Studi oleh Mahar et al. melibatkan 2.174 pasien yang mendatangi klinik kulit rumah sakit tersier di New Delhi pada periode Juni–November 2015 untuk mengevaluasi dan menganalisis prevalensi penyalahgunaan kortikosteroid topikal dan penyebabnya. Hasil studi menunjukkan bahwa 11,77% pasien memiliki riwayat penyalahgunaan kortikosteroid topikal, di mana 60% adalah wanita dan 38% dari seluruh kasus berusia 20–29 tahun.[5]
Penyebab tersering penyalahgunaan kortikosteroid topikal adalah tinea (38%), jerawat (29%), dan ingin memutihkan kulit (8,4%). Preparat kortikosteroid yang tersering disalahgunakan adalah betametason, sedangkan efek samping yang paling sering dijumpai adalah tinea incognito (26,4%) dan jerawat (25,6%).[5]
Studi oleh Meena et al.
Studi lain oleh Meena et al. melibatkan 85.280 pasien yang mendatangi klinik kulit salah satu rumah sakit di South Rajasthan pada periode September 2015–Agustus 2016. Hasil studi menunjukkan 370 pasien (0,43%) datang dengan keluhan efek samping penyalahgunaan kortikosteroid topikal. Sebanyak 74,05% pasien berusia 11–30 tahun, dan 62,7% pasien adalah pria.[7]
Preparat kortikosteroid yang tersering disalahgunakan adalah clobetasol propionate (44,32%). Senada dengan studi oleh Mahar et al., penyebab tersering penyalahgunaan kortikosteroid topikal adalah tinea (52,4%), dengan efek samping tersering adalah tinea incognito (49,46%) dan jerawat (30,27%).[5,7]
Insidensi efek samping penyalahgunaan kortikosteroid topikal pada studi oleh Meena et al. relatif rendah dibandingkan studi lainnya. Hal ini kemungkinan karena studi tersebut tidak mencakup pasien yang menunjukkan gejala klinis yang mengarah pada penyalahgunaan steroid, tetapi tidak memberikan informasi rinci mengenai produk yang digunakan oleh pasien-pasien tersebut. Selain itu, banyak orang yang menggunakan kortikosteroid topikal tidak berkonsultasi pada dokter spesialis kulit atau tidak berobat ke klinik kulit untuk mengatasi efek sampingnya.[7]
Studi oleh Verma et al
Sebuah laporan kasus oleh Verma et al. di India mendokumentasikan empat kasus ulkus striae pasca penyalahgunaan krim kombinasi yang mengandung clobetasol propionate, antibiotik, dan antifungal. Selain ulkus striae, keempat pasien juga menderita tinea incognito. Para penulis meyakini bahwa fenomena tersebut merupakan efek samping penggunaan krim kombinasi yang jarang dilaporkan, dan berperan pada situasi tinea corporis yang menyerupai epidemi di India.[8]
Kesimpulan
Kortikosteroid topikal memiliki indikasi yang jelas dalam tatalaksana berbagai kelainan kulit. Akan tetapi, penggunaan yang tidak tepat, terlebih lagi dalam jangka panjang, dapat menyebabkan efek samping lokal maupun sistemik. Penggunaan salep kombinasi yang mengandung kortikosteroid untuk mengatasi keluhan gatal pada kulit yang disebabkan oleh tinea dapat memiliki konsekuensi serius.
Penyalahgunaan kortikosteroid topikal untuk tinea dapat menyebabkan tinea incognito yang bersifat kronis, atipikal, rekuren, dan resisten terhadap terapi. Terdapat juga laporan kasus yang mendokumentasikan efek samping yang lebih serius, yakni striae yang mengalami ulserasi.
Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk memahami indikasi pemberian kortikosteroid topikal yang tepat dan tidak meresepkan hanya berdasarkan gejala gatal atau kemerahan. Sebagai tambahan, dokter juga perlu mengedukasi pasien agar menghindari penggunaan kortikosteroid topikal tanpa resep dokter. Ketika meresepkan kortikosteroid topikal sesuai indikasi, pasien perlu diberikan edukasi secara jelas terkait indikasi, durasi pengobatan, dan penggunaannya agar pasien tidak menggunakannya di kemudian hari untuk kondisi lain, seperti tinea.