Pada dermatofitosis, atau infeksi jamur kulit, penggunaan kortikosteroid tidak disarankan dan bahkan dapat memperparah kondisi. Kortikosteroid dapat menutupi gejala khas tinea, menyulitkan diagnosis, dan menghambat penyembuhan. Lebih lanjut, kortikosteroid dapat membuat kulit menjadi lebih tipis dan rapuh, sehingga meningkatkan risiko infeksi bakteri sekunder.[1]
Efek Buruk Kortikosteroid pada Dermatofitosis
Penggunaan kortikosteroid topikal pada kasus dermatofitosis perlu dihindari karena dapat menekan respons imun lokal kulit tanpa membasmi jamur penyebab infeksi. Sebuah studi in vitro menunjukkan bahwa kortikosteroid, seperti clobetasol propionate, menyebabkan atrofi kulit, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi (IL-6, IL-1β, IFN-γ, TLR-2), dan menghambat siklus sel keratinosit, sehingga mengganggu mekanisme pertahanan kulit terhadap dermatofita.
Selain itu, meskipun pertumbuhan jamur melambat secara sementara saat terpapar kortikosteroid, terjadi peningkatan ekspresi gen ssu1 yang terkait dengan virulensi jamur melalui produksi ion sulfit yang merusak keratin. Akibatnya, setelah penghentian kortikosteroid, dermatofita dapat tumbuh kembali lebih agresif, memicu infeksi ulang yang lebih luas dan resisten terhadap terapi.[2,3]
Timbulnya Tinea Incognito
Pada konteks dermatofitosis, penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan modifikasi klinis infeksi jamur menjadi kondisi yang dikenal sebagai tinea incognito. Dalam keadaan ini, manifestasi khas infeksi dermatofita menghilang, lesi menjadi lebih samar, dan tidak terdefinisi jelas.
Sebagai konsekuensinya, gambaran klinis tinea akan lebih menyerupai kondisi non-infeksius seperti dermatitis atopik atau manifestasi kulit dari lupus. Hal ini sering menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan yang sesuai, serta menyulitkan identifikasi klinis oleh dokter.[3]
Risiko Komplikasi Serius
Penggunaan kortikosteroid dapat memperburuk penyebaran infeksi jamur melalui mekanisme imunosupresi lokal. Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah Majocchi granuloma, yaitu infeksi jamur yang menembus ke dalam folikel rambut dan jaringan subkutan, menyebabkan folikulitis granulomatosa supuratif.[3]
Konsekuensi Jangka Panjang Penggunaan Kortikosteroid pada Dermatofitosis
Kortikosteroid, baik sistemik maupun topikal, meskipun digunakan dalam jangka pendek atau dalam bentuk burst therapy pada kasus dermatofitosis, telah terbukti memiliki risiko efek samping yang signifikan. Studi menunjukkan bahwa bahkan penggunaan intermiten atau dalam dosis rendah pun dapat menyebabkan gangguan jangka panjang.
Beberapa efek jangka panjang yang telah dikaitkan dengan penggunaan kortikosteroid pada dermatofitosis adalah gangguan perilaku, gangguan tidur, infeksi serius (hingga memerlukan ICU), osteoporosis, hiperglikemia, dan kelemahan otot. Efek ini bersifat kumulatif, dan dapat terjadi walaupun terapi dilakukan kurang dari 7 hari. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid untuk kondisi non-indikatif seperti dermatofitosis harus sangat dihindari.[4]
Peningkatan Risiko Resistensi dan Rekurensi
Kombinasi topikal yang menyatukan kortikosteroid dengan antijamur atau antibiotik (yang sering dijual bebas) telah dikaitkan dengan munculnya resistensi terhadap terapi standar seperti terbinafine. Penurunan respons terhadap obat antijamur ini disebabkan oleh mutasi genetik pada enzim target jamur, namun faktor pemicu utama yang diidentifikasi adalah penyalahgunaan sediaan kombinasi topikal tersebut, yang menyebabkan pengobatan subterapeutik dan infeksi berulang.[3]
Di India, Central Drugs and Standards Control Organization telah melarang penggunaan krim kombinasi kortikosteroid-antijamur sediaan jadi (FDC). Walaupun demikian, masih banyak terjadi penyalahgunaan. Padahal, larangan ini didasarkan pada fakta bahwa penyalahgunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan efek samping seperti atrofi kulit, striae, fotosensitivitas, hipertrikosis, rosacea, telangiectasis, dan berbagai efek lain yang telah disebutkan sebelumnya.[7]
Selain itu, telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi kortikosteroid dan agen antijamur tidak lebih efektif dibandingkan penggunaan agen antijamur secara tunggal. Lalu, telah dilaporkan juga bahwa campuran kortikosteroid dan antijamur memiliki angka kekambuhan 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan penggunaan antijamur saja.[8]
Adakah Kondisi Khusus Kortikosteroid Boleh Digunakan Untuk Dermatofitosis?
Penggunaan kortikosteroid oral bisa dipertimbangkan secara selektif untuk pasien dengan tinea kapitis inflamasi, seperti kerion, untuk mengurangi respon inflamasi dan risiko alopecia permanen. Meski begitu, perlu dicatat bahwa kortikosteroid sistemik harus digunakan sebagai terapi penunjang antijamur oral, bukan sebagai terapi utama atau tunggal.
Dalam praktiknya, obat antijamur topikal bisa tidak cocok untuk beberapa kasus dermatofitosis. Misalnya, pada tinea kapitis, yang mana penggunaan antijamur topikal justru bisa memperparah inflamasi. Dalam kasus ini, antijamur oral atau sistemik merupakan tata laksana utama, sementara kortikosteroid oral dapat diberikan dalam jangka pendek dan dengan pengawasan ketat sebagai adjuvan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kortikosteroid topikal tetap tidak disarankan.[5,6]
Kesimpulan
Penggunaan kortikosteroid pada dermatofitosis tidak direkomendasikan karena terbukti dapat menimbulkan berbagai efek merugikan, termasuk menutupi gejala klinis, menekan respons imun kulit, meningkatkan risiko komplikasi seperti tinea incognito dan Majocchi granuloma, serta memperburuk rekurensi dan resistensi terhadap terapi antijamur.
Kortikosteroid juga berisiko menimbulkan efek samping jangka panjang, bahkan bila hanya digunakan jangka pendek, termasuk risiko osteoporosis dan hiperglikemia. Selain itu, penggunaan kombinasi kortikosteroid dengan antijamur tidak hanya tidak lebih efektif, tetapi juga dikaitkan dengan angka kekambuhan yang lebih tinggi. Meski demikian, kortikosteroid sistemik masih dapat dipertimbangkan secara hati-hati sebagai terapi adjuvan jangka pendek pada kasus tinea kapitis tipe inflamasi, seperti kerion, dengan tetap mengedepankan antijamur sistemik sebagai lini utama pengobatan.