Sindrom Takikardia Setelah COVID-19

Oleh :
dr. Ashfahani Imanadhia

Sindrom takikardia setelah COVID-19 adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gejala palpitasi yang dialami oleh sebagian pasien setelah sembuh dari COVID-19. Sindrom takikardia ini diduga merupakan bagian dari long COVID, yang dilaporkan dapat bermanifestasi sebagai postural orthostatic tachycardia syndrome atau sebagai inappropriate sinus tachycardia.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Long COVID atau post-acute COVID-19 syndrome (PACS) sebenarnya belum memiliki definisi maupun mekanisme patofisiologi yang jelas hingga saat ini. Beberapa literatur mendefinisikan PACS sebagai gejala yang menetap selama 4–12 minggu atau bahkan >12 minggu setelah infeksi COVID-19.[1-4]

Beberapa gejala yang sering dilaporkan adalah nyeri kepala, kelelahan, sesak napas, dan gangguan kognitif. Variasi gejala yang lebih luas juga telah dilaporkan. Gejala bisa berbeda-beda pada tiap pasien dan mungkin menunjukkan keterlibatan banyak organ. Sindrom takikardia setelah COVID-19 dianggap sebagai salah satu sub-sindrom atau fenotipe dari PACS.[1-4]

Sindrom Takikardia Setelah COVID-19-min

Jenis Sindrom Takikardia Setelah COVID-19

Gejala kardiovaskular yang umum dari PACS adalah nyeri dada, sesak napas, dan takikardia. Gejala dapat terjadi pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit maupun pasien rawat jalan. Takikardia yang merupakan bagian dari PACS ini dapat muncul sebagai postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) atau inappropriate sinus tachycardia (IST).[3,4]

Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome

Postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) didefinisikan sebagai peningkatan denyut jantung yang tidak sesuai dengan tekanan darah atau tanpa perubahan tekanan darah, yang terjadi saat ada perubahan posisi dari berbaring ke berdiri.[5]

Diagnosis POTS ditegakkan berdasarkan adanya peningkatan denyut jantung >30 kali/menit pada orang berusia >19 tahun atau >40 kali/menit pada orang berusia <19 tahun, yang terjadi dalam rentang waktu 10 menit sejak perubahan posisi dari berbaring ke berdiri. Peningkatan denyut jantung ini tidak disertai hipotensi ortostatik, yang berarti tidak ada penurunan tekanan sistolik >20 mmHg maupun penurunan tekanan diastolik >10 mmHg.[6]

Data prevalensi POTS pada pasien COVID-19 masih terbatas karena hanya berasal dari studi retrospektif berjumlah sampel kecil. Data yang ada saat ini memperkirakan bahwa 2–14% pasien yang telah sembuh dari COVID-19 mengalami POTS. Namun, kualitas studi-studi yang melaporkan prevalensi ini masih sangat variatif.[7]

Kanjwal, et al. melaporkan kasus seorang wanita berusia 36 tahun yang mengalami nyeri kepala, kelelahan, pusing, nyeri dada, dan palpitasi saat bergerak untuk berdiri. Pemeriksaan fisik menemukan peningkatan denyut jantung. Pasien terinfeksi COVID-19 ringan sekitar 3–4 minggu sebelumnya tetapi tes serologi ulang menunjukkan hasil negatif. Hasil EKG dan echocardiography tidak menemukan abnormalitas selain sinus takikardia.[8]

Suatu studi mempelajari 20 pasien COVID-19 yang sebelumnya tidak memiliki riwayat intoleransi ortostatik. Setelah COVID-19, sebanyak 15 pasien didiagnosis mengalami POTS berdasarkan tes berdiri 10 menit atau table tilt test (TTT). Namun, sepertiga pasien dalam studi ini memang sudah memiliki riwayat gejala otonom seperti pusing, sinkop, dan palpitasi sebelum COVID-19.[9]

Inappropriate Sinus Tachycardia

Inappropriate sinus tachycardia (IST) didefinisikan sebagai denyut sinus ≥100 kali/menit saat istirahat dengan rata-rata denyut jantung 24 jam >90 kali/menit yang terjadi tanpa adanya tuntutan fisiologis atau kondisi yang umum menyebabkan sinus takikardia.[10]

Studi prospektif oleh Aranyo, et al. yang mengamati IST pada pasien COVID-19 melaporkan bahwa IST lebih sering terjadi pada wanita muda tanpa komorbiditas yang mengalami infeksi COVID-19 ringan. Gejala yang sering dilaporkan adalah kelelahan, gangguan kapasitas latihan, dan palpitasi yang membatasi kemampuan beraktivitas secara normal.[10]

Hipotesis tentang Mekanisme Terjadinya Sindrom Takikardia Setelah COVID-19

Sejauh ini belum ada bukti yang adekuat tentang patofisiologi takikardia pada pasien post-acute COVID-19 syndrome (PACS). Disfungsi otonomik bisa menyebabkan variasi gejala, termasuk takikardia yang terjadi setelah perubahan posisi.[3,11]

Dugaan patofisiologi yang ada saat ini adalah gangguan regulasi otonom pada sistem kardiovaskular berupa peningkatan aktivitas simpatetik yang abnormal, pelepasan katekolamin berlebih, dan denervasi simpatetik perifer yang mengarah ke hipovolemia sentral. Studi belum mengetahui dengan jelas apakah disfungsi otonomik yang terjadi terkait dengan kondisi herediter atau didapat secara alami.[3,11]

Studi lain menyebutkan kaitan dengan autoimunitas, yakni adanya autoantibodi yang mengaktivasi reseptor adrenergik dan muskarinik serta menyebabkan denervasi saraf perifer, yang menyebabkan terkumpulnya darah di ekstremitas bawah. Hal ini kemudian mencetuskan refleks takikardia.[3,11-13]

Dugaan keterlibatan autoimunitas dalam patofisiologi POTS juga dilaporkan dalam studi Blitshteyn dan Whitelaw. Dari 20 pasien COVID-19 yang dianalisis (15 mengalami POTS setelah COVID-19), sebanyak 20% memiliki markers autoimunitas dan inflamasi yang abnormal. Namun, hal ini belum tentu menunjukkan hubungan kausatif.[9]

Keterlibatan proses autoimun juga dilaporkan dalam suatu studi di mana pasien dengan POTS mengalami peningkatan kadar autoantibodi yang bereaksi silang dengan reseptor beta dan muskarinik yang mengakibatkan takikardia.[8]

Mekanisme penyebab IST dalam konteks PACS belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Penyebab IST sendiri terdiri dari beberapa faktor, seperti mutasi pada fungsi kanal HCN4 pacu jantung, abnormalitas nodus sinus intrinsik jantung, autoimunitas, aktivasi simpatetik yang berlebihan, atau vagal withdrawal.[3]

Manajemen Sindrom Takikardia Setelah COVID-19

Walaupun POTS dalam konteks COVID-19 mungkin berbeda dengan POTS secara umum (pre-COVID-19), beberapa literatur menyarankan pemberian obat penurun denyut jantung serta penerapan program rehabilitasi pada pasien POTS yang berkaitan dengan PACS. Terapi POTS dapat berupa inhibitor nodus sinus selektif (ivabradine), beta-blockers, dan pakaian kompresi.[3,12]

Blitshteyn dan Whitelaw dalam studinya menganjurkan terapi nonfarmakologis untuk disfungsi otonom, yang terdiri dari peningkatan asupan natrium klorida dan cairan, penggunaan stocking kompresi setinggi pinggang dan pengikat perut, dan olahraga duduk atau terlentang. Farmakoterapi seperti ivabradine maupun beta-blockers dapat diberikan jika diperlukan.[9]

Kesimpulan

Sindrom takikardia setelah COVID-19 diduga merupakan bagian dari long COVID atau post-acute COVID-19 syndrome (PACS). Sindrom takikardia ini dapat muncul sebagai postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) atau inappropriate sinus tachycardia (IST) pada pasien yang telah sembuh dari COVID-19.

Mekanisme pasti yang menyebabkan terjadinya sindrom takikardia setelah COVID-19 ini belum diketahui dengan jelas. Beberapa literatur menduga bahwa disregulasi sistem otonom atau kondisi autoimun mungkin berperan dalam patofisiologinya. Namun, bukti yang ada masih sangat terbatas.

Untuk saat ini, literatur menyarankan manajemen seperti pada POTS secara umum, yaitu pemberian inhibitor nodus sinus selektif (ivabradine), beta-blockers, dan pakaian kompresi. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui apakah POTS yang berkaitan dengan COVID-19 memiliki patofisiologi spesifik dan membutuhkan terapi yang berbeda.

Referensi