Penyuntikan Obat Tuberkulosis oleh Pengasuh Nonmedis – Telaah Jurnal

Oleh :
dr.Vania Kusnaidi

Delivery of Long-term-injectable Agents for TB by Lay Carers: Pragmatic Randomised Trial

Cohen DB, Mbendera K, Maheswaran H, et al. Thorax, 2019. 0:1-8. doi:10.1136/thoraxjnl-2018-212675

Abstrak

Latar Belakang: Pasien dengan tuberkulosis (TB) rekuren atau resisten obat membutuhkan terapi injeksi intramuskular jangka panjang. Penelitian ini mengevaluasi sistem baru dimana pengasuh awam dilatih untuk memberikan injeksi intramuskular pada pasien di rumah masing-masing.

Metode: Sebuah uji pragmatik noninferior acak individu dilakukan di dua rumah sakit di Malawi. Pasien dewasa yang akan menerima terapi TB ulangan direkrut. Pasien diacak untuk mendapat intervensi di rumah dari pengasuh awam yang dipilihnya, yang telah dilatih untuk menyuntikkan streptomycin secara intramuskular. Pasien yang menerima pelayanan standar dirawat selama 2 bulan di rumah sakit. Luaran utama adalah keberhasilan terapi (hidup dan menjalani pengobatan) hingga akhir intervensi.

Hasil: Dari 456 pasien yang diskrining, 204 pasien berpartisipasi dalam uji acak. Studi dihentikan lebih awal karena ketidakmampuan (futility). Pada akhir intervensi, 97/101 pasien (96,0%) yang menjalani terapi di rumah sakit masih hidup dan menjalani pengobatan dibandingkan dengan 96/103 pasien (93,2%) yang menjalani terapi di rumah (perbedaan risiko – 0,03 dengan 95% CI –0,09 hingga 0,03, nilai p 0,538). Tidak ditemukan perbedaan pada proporsi pencapaian pengobatan antituberkulosis hingga 8 bulan, atau proporsi perubahan kultur sputum pada bulan ke-2. Rata-rata biaya yang diperlukan untuk pengobatan TB selama 2 bulan di rumah sakit adalah USD 1546,3 per orang, dibandingkan USD 729,2 USD per orang untuk pengobatan TB di rumah. Pengobatan TB di rumah dapat mengurangi biaya pengobatan hingga 84%.

Kesimpulan: Walaupun studi ini gagal mencapai target rekrutmen, data yang tersedia menunjukkan bahwa pengasuh awam yang dipilih sendiri oleh pasien memiliki potensi untuk menjadi solusi yang layak dicoba untuk masalah operasional terkait pemberian obat suntik TB jangka panjang pada penderita TB relaps atau resisten ketika sumber daya terbatas, serta mampu mengurangi biaya pengobatan yang diperlukan. Diperlukan data lebih lanjut dalam keadaan operasional.

shutterstock_1678064593-min

Ulasan Alomedika

Setiap tahun, banyak individu terinfeksi tuberkulosis di seluruh dunia. Data WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2018, 1,5 juta orang meninggal karena tuberkulosis.[1] Di Indonesia, insidensi tuberkulosis mencapai 316 per 100.000 populasi pada tahun 2018. Dari jumlah ini, insidensi kasus resisten adalah 8,8 per 100.000 populasi.[2]

Terapi tuberkulosis rekuren dan resisten obat melibatkan injeksi obat antituberkulosis, seperti streptomycin, setidaknya selama 60 hari. Namun, cara ini menyulitkan pasien, membutuhkan biaya yang besar, dan meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Studi ini mencoba meneliti apakah pemberian injeksi obat antituberkulosis di rumah, oleh pengasuh awam yang dipilih pasien dan telah dilatih, memungkinkan sebagai alternatif cara konservatif.

Pemberian obat parenteral pada rawat jalan sesungguhnya telah dipraktekkan selama bertahun-tahun di negara-negara maju, serta telah terbukti aman dan efektif. Contohnya saja pada pasien diabetes mellitus, telah sangat lumrah dilakukan injeksi insulin secara subkutan di rumah.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan uji acak pragmatik untuk membandingkan efikasi pemberian obat injeksi berbasis rumah sakit dengan berbasis rumah pada fase intensif pengobatan penderita tuberkulosis relaps atau resisten obat. Studi dilakukan di dua rumah sakit besar di Malawi, yaitu Queen Elizabeth Central Hospital dan Bwaila Hospital. Pasien dapat mengikuti penelitian apabila telah berumur minimal 16 tahun, memiliki wali, dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

Wali yang bersedia menjadi pengasuh nonmedis (awam) dari pasien yang terdiagnosis menderita tuberkulosis relaps akan dilatih untuk memberikan obat injeksi intramuskular secara. Pasien tetap berada di rumah sakit hingga pengasuh awam dianggap kompeten untuk memberikan obat injeksi intramuskular di rumah.

Pengacakan dilakukan dengan rasio 1:1 menggunakan komputer. Hasilnya akan diberikan oleh orang yang tidak tergabung dalam penelitian dalam amplop tertutup kepada pasien dan pengasuh awam. Peserta penelitian dipantau pada minggu ke-1, 3, 5 dan 7 setelah uji acak dimulai. Pada minggu pertama, pengasuh awam akan kembali dinilai kompetensinya dalam pemberian obat injeksi intramuskular. Kepatuhan berobat dinilai dari laporan pribadi dan penghitungan vial streptomycin

Luaran utama yang dinilai adalah keberhasilan terapi fase intensif yang didefinisikan sebagai pasien hidup dan mendapat injeksi streptomycin selama 2 bulan. Luaran sekunder adalah konversi kultur sputum, hasil pengobatan tuberkulosis relaps setelah 8 bulan terapi, Nilai Karnofsky, dan status kesehatan mental pada akhir bulan kedua.

Analisis dilakukan untuk mendeteksi noninferioritas intervensi. Besar sampel dikalkulasi berdasarkan intervensi noninferior dengan batasan 6%, menggunakan alfa 0,05 untuk mencapai kekuatan 80%, diperkirakan diperlukan 268 sampel.

Dilakukan juga analisis biaya dari sudut pandang sosial keluarga penderita dan penyedia sarana kesehatan. Biaya katastropik didefinisikan sebagai biaya pengobatan setara 10% dari penghasilan tahunan rumah tangga.

Ulasan Hasil Penelitian

Pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis relaps, 97 pasien (96%) yang menjalani pengobatan di rumah sakit dan 96 pasien (93,2%) yang menjalani pengobatan di rumah masih hidup dan mendapat injeksi streptomycin selama 2 bulan. Terdapat 7 kematian pada terapi berbasis rumah dan 2 kematian pada terapi berbasis rumah sakit. Dari jumlah ini, dinyatakan tidak ada kematian yang berhubungan dengan intervensi.

Hasil terkait luaran sekunder menunjukkan 80,7% pasien yang mendapat terapi berbasis rumah dan 77,2% yang mendapat terapi berbasis rumah sakit berhasil menyelesaikan terapi fase intensif. Sebanyak 21/23 (91,3%) pasien pada terapi berbasis rumah dan 15/20 (75%) pasien pada terapi berbasis rumah sakit menjalani kultur sputum dengan hasil konversi kultur sputum menjadi negatif setelah 2 bulan terapi fase intensif. Angka Karnofsky 100 dicapai oleh 84,4% pasien pada terapi berbasis rumah dan 79,2% pada terapi berbasis rumah sakit. Terdapat 56 kejadian efek samping pada 36 pasien dengan terapi berbasis rumah sakit, dan 34 kejadian pada 20 pasien dengan terapi berbasis rumah. Dari data 65 pasien (32 pasien berbasis rumah dan 33 pasien berbasis rumah sakit) didapatkan risiko biaya katastropik adalah 34,1% untuk pasien dengan terapi berbasis rumah dan 85,9% untuk pasien dengan terapi berbasis rumah sakit.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini diadakan untuk mencoba mencari sebuah solusi praktis bagi sebuah masalah terkait pengobatan tuberkulosis relaps dan resisten obat. Cara intervensi lama, di mana pasien harus dirawat inap atau datang bolak-balik ke fasilitas kesehatan untuk mendapat injeksi obat, sangatlah menyulitkan, menghabiskan biaya, dan meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Desain studi pragmatik memungkinkan peneliti untuk mengevaluasi apakah intervensi akan adekuat dilaksanakan pada kehidupan nyata. Pada desain studi pragmatik, kriteria luaran yang dinilai cukup banyak dan sifatnya berpusat pada pasien.

Penelitian ini juga melakukan analisis dari segi finansial. Sehingga, tidak hanya menilai keberhasilan terapi secara klinis, tapi juga dampak sosial yang terjadi dan mengikuti. Analisis dari segi finansial diperlukan untuk menilai keberhasilan metode intervensi secara holistik pada kehidupan nyata.

Limitasi Penelitian

Salah satu keterbatasan studi ini adalah penghentian sebelum saatnya sehingga besar sampel tidak mencukupi jumlah sampel minimal. Hal ini mempengaruhi kekuatan bukti ilmiah yang ditunjukkan oleh hasil studi.

Hasil dari studi juga tidak dapat diaplikasikan pada seluruh penderita tuberkulosis yang membutuhkan terapi injeksi muskular. Pasien yang tidak dalam kondisi stabil untuk melanjutkan pengobatan di rumah dan tidak memiliki wali yang bersedia menjadi pengasuh awam, tidak dapat mendapat perawatan di rumah.

Lokasi studi juga dapat berpengaruh pada hasil penelitian. Studi serupa sebaiknya diulang di masing-masing negara atau daerah, karena karakteristik tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan geografis bisa berbeda-beda.

Aplikasi Penelitian di Indonesia

Angka penderita tuberkulosis di Indonesia masih sangat tinggi, begitu pula pasien yang mengalami relaps dan resistensi obat.

Di Indonesia, praktik pemberian injeksi streptomycin dilakukan di Puskesmas oleh petugas kesehatan dan masih banyak mengalami kendala. Salah satunya adalah kepatuhan pasien berobat yang rendah. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa pemberian injeksi intramuskular di rumah memungkinkan untuk dilakukan dan tidak inferior dibandingkan pemberian oleh petugas kesehatan. Apabila hasil studi diterapkan di Indonesia, diharapkan kepatuhan berobat akan meningkat karena pasien tidak perlu menghabiskan waktu dan biaya untuk pergi ke pusat kesehatan untuk mendapat perawatan.

Referensi