Prognosis Gangguan Makan
Prognosis gangguan makan tergantung pada derajat dan kecepatan perubahan berat badan, indeks massa tubuh (IMT) saat ini, durasi sakit, intensitas gejala, dan usia pasien.
Komplikasi
Salah satu komplikasi gangguan maka adalah sindrom re-feeding yang disebabkan karena tubuh tidak mampu beradaptasi dengan perubahan fungsi metabolik yang ekstrim. Pasien dengan gangguan makan akan bergantung pada lemak untuk metabolismenya. Pada masa terapi, metabolisme akan kembali ke glukosa dan hal ini yang menjadi pemicu sindrom re-feeding. [3] Tanda kardinal sindrom re-feeding adalah :
- Hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia
- Gagal jantung
- Retensi garam dan air
- Deplesi vitamin
Pasien dengan gangguan makan juga bisa mengalami berbagai komplikasi di berbagai sistem organ, seperti :
- Muskuloskeletal : osteopenia, osteoporosis
- Kardiovaskular : bradikardia, hipotensi
- Endokrin : gangguan perkembangan, amenorrhea, hipoglikemia, gangguan fungsi tiroid
- Renal : dehidrasi, insufisiensi renal
- Hematologi : hipoplasia sumsum tulang, leukopenia, anemia
- Neurologi : pengurangan jaringan otak, penurunan fungsi neuropsikologis. [4]
Pasien yang mengalami anorexia berisiko mengalami osteoporosis akibat berat badan yang kurang (karena asupan yang kurang) dan penurunan estrogen. [3,4]
Pasien gangguan makan yang sering memuntahkan makanannya bisa mengalami penurunan sensitivitas indra perasa, terutama reseptor pada palatumnya. Sering muntah juga bisa menyebabkan gangguan oral hygiene. [3]
Gangguan makan juga bisa menimbulkan komplikasi psikiatri, seperti depresi, gangguan cemas, gangguan obsesif kompulsif, dan penyalahgunaan zat. [4]
Prognosis
Mortalitas pada pasien dengan gangguan makan lebih tinggi dari populasi normal, bahkan hampir enam kali lipat pada pasien dengan anorexia nervosa. Pasien-pasien yang mengalami bulimia nervosa atau binge eating disorder juga berisiko mengalami obesitas dan berbagai komplikasi lain yang berhubungan dengan obesitas. [8]
Prognosis gangguan makan tergantung pada derajat dan kecepatan perubahan berat badan, indeks massa tubuh (IMT), durasi sakit, intensitas gejala (puasa, muntah, olah raga berlebihan), dan usia pasien. [4] Usia muda, durasi sakit yang pendek, dan hubungan orang tua-anak yang baik merupakan prediktor luaran yang lebih baik. [11]