Epidemiologi Prolaps Tali Pusat
Epidemiologi prolaps tali pusat tidak diketahui secara pasti karena merupakan kegawatdaruratan obstetrik yang jarang terjadi. Secara global insidensi prolaps tali pusat sekitar 0,1-0,6% dari seluruh persalinan.[1]
Global
Secara keseluruhan insidensi prolaps tali pusat dilaporkan 0,1-0,6% dari persalinan, yang semakin meningkat dengan berbagai faktor risiko. Diperkirakan bahwa 77% kasus terjadi pada kehamilan tunggal, 9% terjadi pada anak pertama pada kehamilan kembar, dan 14% pada anak kedua. Namun, insidensi kejadian prolaps tali pusat dilaporkan semakin berkurang setiap tahunnya, yaitu 0,6% pada tahun 1932, 0,2% pada tahun 1990, dan 0,018% pada tahun 2016.[1,5]
Indonesia
Prevalensi kasus prolaps tali pusat di Indonesia tidak diketahui secara khusus. Berdasarkan data di RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek tahun 2012, sebanyak 105 ibu bersalin dengan ekstraksi vakum, dimana 7 kasus (6,7%) disebabkan oleh prolaps tali pusat. Di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2017–2018, dari 3584 persalinan, terjadi 125 kasus intrauterine fetal death (IUFD) dengan 1,2% kasus disebabkan oleh prolaps tali pusat.[10,11]
Mortalitas
Prolaps tali pusat merupakan kegawatdaruratan obstetrik akut yang dapat menyebabkan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas perinatal. Kematian fetus pada prolaps tali pusat disebabkan karena asfiksia akut. Pada tahun 1950, diperkirakan kematian janin karena prolaps tali pusat sebesar 32-47%, tetapi saat ini telah berkurang, menjadi sebanyak 10%. Berdasarkan penelitian di Dublin, pada 156.130 persalinan dengan 307 mengalami prolaps tali pusat, terjadi kematian perinatal sebanyak 21 (6,8%), yang menunjukkan risiko kematian pada bayi dengan prolaps tali pusat sebesar 1 dari 14 kejadian. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa lebih dari 50% kematian janin karena prolaps tali pusat yang terjadi saat pecahnya ketuban. Kematian janin oleh karena prolaps tali pusat iatrogenik kurang dari 15%.[2,4,5,12]