Pendahuluan Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa merupakan penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan gatal dan terbentuknya lepuhan atau bula tegang akibat kerusakan pada pertemuan dermoepidermal yang dimediasi oleh autoantibodi. Patofisiologinya belum sepenuhnya dipahami, namun erat kaitannya dengan interaksi kompleks antara autoantibodi dan respons inflamasi tipe 2 yang berujung pada kerusakan jaringan, pembentukan bula, serta pruritus kronis.[1,2]
Faktor risiko pemfigoid bulosa dapat berupa reaksi akibat obat, predisposisi genetik, dan faktor lingkungan (trauma, paparan UV, radioterapi). Faktor risiko lain meliputi usia lanjut, penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antibiotik seperti amoxicillin, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), atau inhibitor DPP-4 seperti sitigliptin, adanya penyakit neurologis penyerta, serta penyakit autoimun atau inflamasi lain.[1–3]
Pemfigoid bulosa tergolong jarang namun memiliki dampak klinis signifikan, terutama pada usia lanjut. Secara global, insidensinya diperkirakan 34,2 kasus per 1 juta orang per tahun, dengan angka lebih tinggi di Eropa (10,3 per juta) dibandingkan Asia (5,6 per juta). Risiko meningkat pada individu usia di atas 70 tahun.[1,5,6]
Secara klinis, pemfigoid bulosa ditandai dengan bula besar dan tegang yang sering timbul di atas dasar eritema atau urtikaria, terutama pada pasien lansia. Pruritus kronis sering mendahului pembentukan bula selama beberapa minggu hingga bulan. Lesi dapat terbatas pada ekstremitas bawah, area fleksural, telapak tangan, telapak kaki, genital, atau abdomen, namun juga dapat menyebar luas.[1–3]
Terapi utama pemfigoid bulosa adalah kortikosteroid topikal potensi tinggi untuk kasus terbatas, sedangkan kortikosteroid sistemik atau agen imunosupresif digunakan pada penyakit luas. Terapi biologis seperti rituximab, omalizumab, dan dupilumab bisa dipilih pada kasus refrakter. Perawatan suportif berupa manajemen luka, kebersihan kulit, dan pencegahan infeksi tetap penting bagi semua pasien.[1–3]
