Patofisiologi Dyshidrotic Eczema
Patofisiologi dyshidrotic eczema belum diketahui dengan pasti, namun terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dyshidrotic eczema sebenarnya merupakan salah satu spektrum klinis dari dermatitis atopik pada tangan. Ada pula yang membantah hal ini, karena terdapat beberapa responden dari berbagai studi yang tidak memiliki riwayat dermatitis atopik.[7,13]
Vesikel pada dyshidrotic eczema tumbuh dari bawah stratum korneum pada epidermis dan dipenuhi oleh cairan yang jernih, semakin besar ukurannya maka nyeri yang dirasakan akan semakin berat. Infeksi sekunder terjadi apabila vesikel ini digaruk. Vesikel kemudian dapat mengering dan menghilang dalam 2-3 minggu. Semakin sering relaps, maka kulit akan semakin menebal dan membentuk plak yang berfisura (tapioca-like).[14,15]
Gangguan Ekspresi Aquaporin 3 dan 10 pada Kulit
Studi Soler et al. memaparkan mengenai kemungkinan adanya peran aquaporin pada patogenesis dyshidrotic eczema. Aquaporin adalah kanal protein yang berfungsi untuk meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap air, gliserol, dan urea. Normalnya, aquaporin (AQP)-3 dan AQP10 hanya terdapat di stratum basale. Pada dyshidrotic eczema, AQP3 juga ditemukan di stratum spinosum, bahkan pada beberapa kasus AQP3 dan AQP10 ditemukan pada seluruh lapisan epidermis telapak tangan.
Adanya AQP3 dan AQP10 pada seluruh lapisan kulit menyebabkan dermis dan seluruh lapisan kulit lain terhubung dengan lingkungan luar. Hal ini menyebabkan mekanisme transport air meningkat, sehingga jumlah air yang mengalami evaporasi secara pasif lewat permukaan ke udara luar (transepidermal water loss/TEWL) juga meningkat. Dampak dari hal tersebut adalah terjadinya dehidrasi epitel yang merupakan salah satu mekanisme yang memperparah gejala klinis pada dyshidrotic eczema.[16]
Systemic Contact Dermatitis dan Dyshidrotic eczema
Systemic contact dermatitis adalah manifestasi kulit yang terbentuk pada seorang individu setelah sebelumnya tersensitisasi dengan alergen tertentu lewat kulit, kemudian selanjutnya akan memiliki reaksi yang sama terhadap alergen tersebut apabila alergen masuk kembali ke sirkulasi sistemik walaupun melewati rute selain kulit. Contoh alergen adalah metal, obat-obatan, dan berbagai substansi makanan.
Patofisiologi systemic contact dermatitis adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed-type), yang melibatkan fase sensitisasi dan elisitasi. Fase sensitisasi terjadi pada paparan pertama dengan alergen, kemudian alergen terdistribusi pada kulit dan bereaksi dengan Antigen Presenting Cell (APC) yang mengikat antigen dengan limfosit T. Hal ini menyebabkan terbentuknya sel T memori yang selanjutnya akan diproduksi dalam jumlah banyak dan dilepaskan ke pembuluh darah.
Suatu saat ketika tubuh terpapar kembali dengan alergen tersebut, sel T memori tadi akan tersensitisasi dan kembali ke kulit, lalu beraksi pada sel target dan menghasilkan manifestasi kulit, yang salah satunya adalah dyshidrotic eczema. Systemic contact dermatitis juga melibatkan reaksi sensitivitas tipe III, sebagai kompleks antigen-antibodi yang ditemukan pada kulit dan pembuluh darah pada reaksi tersebut. Teori mengenai peran systemic contact dermatitis pada dyshidrotic eczema masih menjadi perdebatan.[17,18]